Akhir pekan di awal Desember, saya pergi ke Yogyakarta lagi. Kali ini saya berangkat di pagi hari naik kereta api Gajahwong. Kereta berangkat dari Pasar Senen pukul 06:45. Saya duduk di kursi nomor 8D. Di depan saya, duduk empat orang yang adalah satu keluarga. Mereka terdiri dari ayah, ibu, dan dua anak. Sang ayah rupanya salah perhitungan saat memesan tiket. Dia kira kursi nomor 6 dan 7 adalah kursi yang saling berhadapan. Tapi, nyatanya itu adalah kursi yang saling memunggungi.
Sedari awal saya duduk, saya melihat raut kecewa dan gelisah di wajah sang ayah. Tapi, dia tidak meminta saya untuk tukar posisi. Dia menenangkan anak dan istrinya yang duduk di belakangnya. “Ayah salah pesan. Nggak apa-apa ya, kan kita tetap satu kereta,” katanya.
Kereta pun melaju, saya membuka pembicaraan dengan bapak itu. “Sering naik ekonomi Gajahwong pak?” Ia menggelengkan kepala. “Jarang mas. Saya gak terlalu paham kereta ini, jadinya pas pesen kursi, salah posisi.”
“Oalahh…” Saya lalu bertanya ke seorang ibu yang duduk di 8C, sebelah saya. “Bu, bapaknya kepisah kursi sama anak istrinya. Kita mau nggak pindah ke 6D dan 6C? Biar mereka bisa duduk bareng.”
Ibu itu setuju. Toh dia juga naik sendirian, jadi tidak masalah. Kami pindah kursi, dan keluarga itu dapat menikmati perjalanan ke Jogja dengan gembira. Bisa mengobrol tatap muka, tak harus saling membelakangi.
Pindah lagi
Senin malamnya saya kembali lagi ke Jakarta. Kali ini saya naik KA Eksekutif Taksaka karena dapat tarif promo. Saya duduk di Eksekutif 7 nomor 10D. Waktu saya naik, di kursi 10C (sebelah saya) sudah duduk seorang pria. Dari penampilannya, saya bisa menebak usianya yang sudah sepuh. Karena capek, saya tidak berniat berbasa-basi. Saya mengambil bantal, mengatur sandaran kursi, dan mendengarkan lagu lewat ponsel.
Di kursi 9C, belakang bapak itu, duduk seorang wanita. Rupanya mereka adalah suami isteri. Kala mengobrol dengannya, sang bapak yang duduk di sebelah saya harus membalikkan badannya. Saya lepas earphone dan menguping sedikit pembicaraan mereka.
“Abi gak enak kalau minta orang sebelah pindah. Kan itu kursi dia.”
“Ya sudah, tunggu penumpang yang naik sebelahku aja.”
Tak lama kemudian, datang seorang wanita yang duduk di kursi 9D. Sang ibu menyapanya dan menanyakan apakah wanita itu mau pindah kursi ke 10C agar ia dan suaminya bisa duduk bareng. Wanita itu menolak. “Maaf bu, saya mau duduk di kursi saya sendiri yang di samping kaca.”
“Oh, makasih ya mbak,” kata sang ibu.
Suasana hening. Dalam hati saya menebak, mungkin sang ibu kecewa. Saya lalu merasa tidak enak. Saya membayangkan, jika kelak saya sudah tua dan bepergian bersama isteri, tentu saya ingin duduk bersama dengannya. Saya lalu membuka obrolan dengan sang bapak.
“Turun di mana pak?”
“Jatinegara, mas. Masnya?”
Saya jawab kalau saya akan turun di Gambir. “Ibunya kok duduk di belakang pak? Kemarin waktu pesan ndak ada kursi yang bersebelahan ya?”
“Iya, habis semua mas.”
“Oh gitu. Ibu mau pindah ke tempat saya? Biar bapak sama ibu bisa duduk berdua.”
“Wah, bener nih masnya nggak apa-apa?”
“Gapapa pak, biar bapak ibu bisa duduk bareng.”
Sang bapak lalu membalikkan badannya, memberitahu istrinya kalau saya bersedia tukar tempat duduk. Mereka tersenyum. Bapak menjabat tangan saya erat sambil mengucapkan terima kasih.
Perjalanan hari itu—perjalanan ke-81 naik kereta api dalam dua tahun terakhir—adalah pengalaman yang berkesan. Biasanya, setiap kali naik kereta, saya selalu memesan kursi di samping jendela. Saya suka melihat pemandangan kalau siang, dan tidur bersandar di kaca kalau malam. Jika kursi di samping jendela ludes, saya urung naik kereta, mencari jadwal lain atau moda transportasi yang lain.
Saya paling sebal apabila harus pindah kursi. Tapi, hari itu saya belajar bahwa mengorbankan sedikit kenyamanan diri demi kepentingan orang lain bisa jadi memberikan saya kepuasan yang lebih. Ada rasa senang di dalam hati ketika saya dapat melihat orang lain berbahagia, apalagi jika di dalam kebahagiaan itu ada setitik kecil kontribusi yang saya berikan.
Dan, ndilalah ada berkah tersendiri yang disiapkan buat saya. Tak lama setelah kereta berangkat, saya pergi membeli makanan ke kereta restorasi. Karena saya duduk di Eksekutif-7 dan kereta restorasi ada setelah Eksekutif-4, jadi saya harus berjalan cukup jauh. Saat tiba di Eksekutif-4, rupanya ada seorang kawan lama yang kebetulan melihat saya. Ia ragu menegur langsung karena takut salah orang, ia lalu mengirimi saya pesan di Instagram, dan sejurus kemudian kami duduk bersama, mengobrol tentang banyak hal sejak kereta tiba di Kutoarjo hingga Purwokerto.
Saya memanggil kawan saya ini “Mas Simon”. Kami pertama kali bertemu di Bandar Lampung pada tahun 2014. Waktu itu kami berdua mewakili dua perguruan tinggi swasta yang berbeda di kota Yogyakarta.
Jelang tengah malam, saya kembali lagi ke kursi. Besok paginya saya langsung masuk kerja, jadi harus berusaha tidur agak nanti badan tetap fit. Sekitar lima jam tertidur, saya terbangun saat kereta api tiba di Jatinegara. Bapak yang isterinya bertukar kursi dengan saya kembali menjabat tangan saya dengan erat lalu pamit turun kereta api duluan.
Jika waktu itu saya tidak berpindah kursi, mungkin saya tidak akan pergi ke kereta restorasi. Dan, jika saya tidak pergi ke kereta restorasi, mungkin saya tidak akan menjumpai teman lama saya. Perjalanan delapan jam lebih ke Jakarta hanya akan diisi dengan tidur. Namun, bersyukur atas kesempatan pindah kursi ini, saya jadi bisa bertemu kawan lama, yang dari obrolan panjang dengannya semangat saya kembali berkobar.
Hidup ini memang terkadang menyajikan kejutan yang hadir dari pengalaman-pengalaman yang awalnya tidak terasa menyenangkan sekalipun.
Enjoy the journey…
Hoe te beleggen in de cannabisindustrie: https://hideuri.com/a5lYbm
Hoe te beleggen in de cannabisindustrie: https://hideuri.com/a5lYbm
Hoe te beleggen in de cannabisindustrie: https://hideuri.com/a5lYbm
Hoe te beleggen in de cannabisindustrie: https://hideuri.com/a5lYbm
Hoe te beleggen in de cannabisindustrie: https://hideuri.com/a5lYbm
Asyik ini, jadi seperti ‘serendipity kecil’ ketemu teman. Eh BTW, itu yang pertama gambar kereta apa ya? (kepo) 🙂
Halo mas/mbak, featured image di artikel ini diambil dari Unsplash, penyedia gambar berlisensi gratis. Gambar itu adalah foto suasana kereta komuter di Jepang.
kalo saya mau pindah kursi juga lihat” dulu lah
kalo ibu sama anaknya ya mau gak mau harus pindah
tapi kalo orang pacaran, ih gak lah ya
🤣🤣 iya banget. Kalau orang pacaran mah sih ogahh