Hampir lima tahun pernah tinggal di Jogja, tapi belum pernah sekalipun saya menyambangi kompleks Imogiri. Barulah di bulan kemarin, kesempatan berkunjung ke sana akhirnya terwujud.
Saya berangkat bersama Tegar, seorang kawan jelajah sejak semester satu kuliah. Berkendara dari kota Jogja ke Imogiri cuma butuh waktu kurang dari satu jam. Kami tiba jam sebelas siang dan saat itu pengunjungnya cuma kami, mungkin karena hari itu adalah hari Selasa, bukan weekend. Setelah memarkirkan motor dan membayar biaya parkir sebesar dua ribu rupiah, kami berjalan masuk ke dalam kompleks Imogiri.
Imogiri merupakan kompleks pemakaman bagi para raja Mataram Islam beserta keturunan-keturunannya. Kasultanan Surakarta dan Yogyakarta termasuk di dalamnya. Pada tahun 1632, di bawah pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo makam Imogiri dibangun di atas pegunungan Girilaya. Pemilihan daerah yang tinggi sebagai makam ada alasannya. Ada kepercayaan bahwa tanah di tempat yang tinggi memiliki kesakralan yang lebih dibandingkan tempat yang rendah. Selain itu, penempatan makam di tempat yang tinggi juga untuk menunjukkan status kehormatan dari mereka yang telah meninggal dunia.
Sebelum kami tiba di kompleks pemakaman utama, kami harus menaiki anak tangga yang kalau dilihat dari bawah berasa tinggi sekali. Entah ada berapa anak tangga, kami tak ingin menghitungnya. Melangkahkan kaki saja rasanya sudah ngos-ngosan dan bikin semaput, apalagi kalau ditambah menghitung. Di kaki tangga itu terdapat Masjid Pajimatan yang dibangun dengan langgam Jawa. Kami tidak mendapati siapa-siapa di area itu, jadi kami memilih langsung naik meniti anak tangga.
Tangga menuju giri
Anak tangga yang kami naiki lebarnya kira-kira empat meteran dengan kemiringan 45 derajat. Kalau menilik di Wikipedia, jumlah persisnya ada 409 anak tangga. Di menit-menit pertama menaiki tangga ini rasanya mudah, tidak ada kesulitan berarti. Tapi jelang setengah perjalanan, nafas mulai tersengal. Keringat bercucuran. Dan, sialnya kami lupa membawa air minum. Kami beristirahat sejenak, lalu kembali meniti tanggal pelan-pelan sampai tiba di Gapura Supit Urang.

Ada kisah yang menarik di balik tangga-tangga ini. Sewaktu Kerajaan Mataram hendak menaklukan Jayakarta yang kala itu diduduki Belanda, ada seorang pengkhianat kerajaan yang bernama Tumenggung Endranata. Dia memberitahu posisi lumbung-lumbung pangan Mataram kepada pihak Belanda. Kita tahu akhir cerita dari penyerangan itu adalah kekalahan Mataram. Ketika Tumenggung Endranata akhirnya ketahuan telah berbuat khianat, dia ditangkap lalu dipenggal kepalanya. Jenazahnya dibagi menjadi tiga bagian dan dikubur di area Makam Imogiri secara terpisah. Kepalanya dikubur di tengah-tengah gapura, badannya dikubur di bawah tangga, dan kakinya dikubur di tengah kolam. Setiap orang yang berkunjung ke makam pasti akan menginjak salah satu dari bagian jasadnya. Tindakan ini dilakukan sebagai peringatan agar rakyat tidak melakukan pengkhianatan lagi.
Setelah keruntuhan Majapahit dan berakhirnya era Hindu-Buddha di Nusantara, Kerajaan Mataram Islam bisa dikatakan sebagai kerajaan yang besar. Kekuasaannya mencakup sebagian besar pulau Jawa. Hingga akhirnya kerajaan bersatu ini pecah setelah ditandatanganinya perjanjian Giyanti yang membagi kerajaan menjadi dua: Surakarta dan Yogyakarta.
Setibanya di ujung tangga, Gapura Supit Urang menyambut kami. Tidak ada orang di sekeliling kami, suasananya sangat sepi. Sebuah papan informasi menunjukkan waktu buka dan tutup makam. Karena kami datang di hari Selasa, kami tak bisa masuk ke dalam pemakaman. Tapi kami coba melangkah masuk ke dalam, dan di sinilah akhirnya kami bertemu dengan beberapa abdi dalem.
Saya bertanya apakah diperkenankan berjalan-jalan di kompleks makam dengan celana pendek selutut? Jika tidak boleh, saya akan menggantinya dengan celana panjang. Tapi mereka bilang tidak apa-apa, karena kami hanya berjalan-jalan di luarnya saja.
Di depan Gapura Supit urang ada tiga jalan. Jalan lurus menuju makam Sultan Agung, jalan ke kiri menuju makam Kerajaan Surakarta dan jalan ke kanan menuju makam Kerajaan Ngayogyakarta. Kami memilih belok kanan terlebih dulu. Makam di kompleks Ngayogyakarta dindingnya dicat berwarna putih. Pintu-pintunya dikunci karena hari itu bukan hari ziarah. Tapi di paling ujung, terdapat sebuah pintu yang terbuka. Kami coba masuk dan melangkah menaiki tangganya.
“Mas, mas, maaf, nggak boleh naik ke situ,” seru seorang bapak yang mengenakan kemeja batik.
Kami buru-buru turun dan berkata, “Maaf pak, kami nggak tahu kalau gak boleh naik. Soalnya pintunya dibuka dan tadi kami lihat ada pengunjung lain masuk situ.”
“Kalau masnya mau naik situ harus ganti pakaian, pakai pakaian Jawa,” tuturnya. Bapak itu mengaku dirinya bekerja di sini. Kami menuruti sarannya dan berjalan ke arah Gapura Supit urang. Di sana kami bertemu dengan abdi dalem dan bertanya soal aturan mengenakan baju Jawa.
Mereka bilang kami tidak perlu menggunakan baju Jawa kalau cuma sekadar jalan-jalan. Tapi kalau mau merasakan bagaimana rasanya berbusana Jawa seperti abdi dalem juga boleh. Untuk menyewa satu set baju, kami perlu membayar 15 ribu. Kami setuju. Sudah jauh-jauh dari Jakarta ke Imogiri, bolehlah sekalian menjajal berbusana seperti abdi dalem.


Menjajal sekelumit kesan berbusana Jawa tradisional
Seorang abdi dalem mengingatkan kain batik di pinggang kami. Baju kemeja berwarna biru kami kenakan sendiri. Aroma kain dari baju ini harum dupa. Lalu blangkon berwarna coklat diletakkan di atas kepala kami. Setelah baju ini terpasang sempurna, kami berjalan ke tempat pintu yang terbuka tadi dengan telanjang kaki. Telapak kaki kami terasa terbakar, panasnya bukan main. Tapi sulit juga berlari dengan mengenakan busana seperti ini. Mau tak mau kami coba berjalan sambil meringis panas. Lama-lama jadi terbiasa.
Meski sudah memakai pakaian Jawa, rupanya pintu yang tadi terbuka adalah area privat yang cuma boleh dimasuki oleh keluarga Keraton. Bapak yang tadi kami temui rupanya salah memberi info. Kami diminta turun kembali dan menghapus semua foto-foto di kamera oleh orang di atas sana. Mereka lalu memohon maaf karena tidak ada pemberitahuan kepada kami mengenai larangan itu.
Langit biru cerah dan matahari berada di atas kepala. Panas terik. Untungnya ada pepohonan yang daunnya rimbun, jadi kami tidak terlalu kepanasan. Kami lalu berjalan kaki mengelilingi area luar makam. Baju Jawa yang kami kenakan ini memberikan nuansa dan kesan yang lebih dalam mengenai Imogiri. Sedikit banyak kami merasa berada di tanah Jawa seabad lalu, di suatu masa ketika cara berbusana warga masih tradisional.
Tidak banyak yang kami lakukan di kompleks Imogiri selain berjalan-jalan dan mengambil beberapa foto. Tapi, meskipun kami tak bisa menyambangi pusara makam para raja lebih dekat, berdiam diri lama-lama di sini terasa menyenangkan. Suasananya tenang dan teduh. Benar-benar sebuah tetirah yang meneduhkan jiwa.
Puas sudah, akhirnya Imogiri telah berhasil disambangi.
pernah kesini waktu studi tour smp .. sudah lama bangett … yang keinget hanya naik tangga banyak bangett 😀
Saya ke Imogiri sekitar 10 tahun lalu. Terkesan dengan tangganya, ademnya, dan juga ramuan wedang uwuh 🙂
Tangga menuju puncak bukit sepertinya jadi spot yang paling menantang ya mbak. Yang pasti dikenang karena ngos-ngosan melewatinya hehe
Begitu liat tangganya setinggi itu aku lebih memilih untuk minum wedang uwuh di warung bawah aja mas kalo ke sini 🤣🤣🤣
Weeee rugi mas nggk naik mah. Ngos-ngosan sih. Tp kl ud d atas adem mas, berasa masuk ke abad lain 😙
duh jadi pengin kesana lagi, dulu ke Imogiri waktu masih SD sekitar tahun 90an 😀
Wah, jaman 90-an sepertinya Imogiri msh sepi dari wisatawan yo mas?
wah udah lupa soalnya udah lama banget, tapi sepertinya lumayan banyak pengunjung juga tapi ga ramai banget & ga sampai penuh sesak 😀