Semangat saya membuncah kala seorang kawan mengajak pergi jelajah akhir pekan ke Rangkasbitung. Kota ini belum pernah saya sambangi sebelumnya. Tapi, saya mendapat bocoran dari tulisan beberapa blogger, katanya kota kecil di barat Jakarta ini punya sebuah museum yang terlalu sayang untuk tidak disinggahi.
Perjalanan menuju barat
Kota Rangkasbitung terhubung dengan jaringan kereta listrik Commuter Line per 1 April 2017. Sebelum masa itu, untuk menyambangi Rangkasbitung kita perlu menaiki layanan kereta api lokal Rangkas Jaya yang jam berangkatnya tidak lebih dari sepuluh kali dalam sehari. Sekarang, dengan layanan Commuter Line, Rangkasbitung lebih mudah diraih dari Jakarta. Setiap jamnya ada kereta yang berangkat, dengan titik pemberangkatan di Stasiun Tanahabang, dan titik terminus di Stasiun Rangkasbitung.

Saya dan Advent tiba di Stasiun Rangkasbitung sekitar jam sebelas, setelah sebelumnya transit terlebih dulu di Stasiun Parungpanjang dan Tigaraksa. Agak berbeda dengan stasiun-stasiun kereta komuter lainnya yang berdesain modern, Stasiun Rangkasbitung masih menyimpan dan menunjukkan wajah kekunoannya. Ada menara air, pun atap stasiun dibuat dari kayu, bernuansa jadul. Layanan kereta komuter di sini baru berusia setahun. Belum ada peron tinggi permanen seperti di stasiun-stasiun lainnya di Jabodetabek.
Keluar dari stasiun, kami disambut oleh teriakan para penarik becak, tukang ojek, dan supir angkot. Sementara mereka berjibaku mencari penumpang, para pedagang aneka jenis dagangan juga tak mau kalah. Mereka ikut berteriak. “Cilok, cilok. Batagor, batagor. Minumanna, minuman,” mengharap ada penumpang yang mau singgah dan membeli.

Saya dan Advent sepakat untuk tidak menaiki angkutan umum sama sekali di Rangkasbitung. Kami sudah cek di peta, jarak dari stasiun ke destinasi utama kami cuma terpaut sekitar satu kilometer. Jalan kaki adalah pilihan yang tepat, hitung-hitung sekalian olahraga.
Menyusuri jalanan di pinggir rel Rangkasbitung mengingatkan saya akan nuansa Kota Bogor. Sama seperti Bogor, Rangkasbitung punya banyak angkot. Lalu, orang-orangnya pun sama-sama bicara dalam bahasa Sunda. Dan, baik Rangkasbitung maupun Bogor adalah dua kota sub-urban Jakarta yang terhubung oleh layanan Commuter Line. Bedanya, Rangkasbitung masih lebih sepi daripada Bogor. Mungkin di tahun-tahun mendatang, kalau pembangunan sudah lebih gencar, Rangkasbitung akan jadi Bogor kedua.
Destinasi utama kami hari itu adalah Museum Multatuli. Pernah dengar nama itu? Kalau kita mengingat kembali buku pelajaran sewaktu di bangku sekolah dulu, Multatuli adalah nama yang tidak asing. Ia tertulis dalam lembaran buku sejarah dan disebut-sebut sebagai orang yang berjasa kepada perjuangan bangsa Indonesia.
Multatuli adalah seorang Belanda yang memilki nama asli sebagai Eduard Douwes Dekker. Ia lahir di Amsterdam pada tanggal 2 Maret 1820 dan wafat di Ingelheim am Rhein, Jerman pada 19 Februari 1887. Semasa hidupnya, ia pernah menjabat sebagai seorang Asisten Residen di Lebak pada Januari 1856. Ia lalu melihat ketidakadilan yang dilakukan oleh bangsanya, serta para pejabat lokal kepada warga Lebak. Kala itu warga Lebak menderita karena melakukan sistem rodi melampaui apa yang dapat mereka lakukan. Warga diperas dan kemiskinan menjerat.
Tidak tahan dengan kondisi seperti itu, Eduard lalu menuliskan surat kepada Gubernur C.P Brest van Kempen. Tapi respons yang didapat adalah pemecatan. Eduard kemudian dipindahtugaskan ke Ngawi, sebelum akhirnya kembali ke Belanda.
Di negeri asalnya, Eduard lalu menuliskan buku Max Havelaar. Di sinilah dia mulai menggunakan nama samarannya, Multatuli, yang diambil dari bahasa Latin yang berarti “aku sudah cukup banyak menderita.” Max Havelaar tidak menjadi sekadar novel, tapi di dalamnya terkandung gagasannya terkait etika, politik, dan filsafat. Kelak, buah dari pena Multatuli adalah menguatnya protes dari kalangan warga Belanda atas perlakuan tidak adil pemerintahannya kepada warga jajahan. Hingga akhirnya, pada tahun 1901 lahirlah Politik Etis, sebuah kebijakan balas budi untuk memberikan sesuatu yang baik kepada warga jajahan di Hindia Belanda.
Sekelumit kehidupan dan perjuangan Eduard Douwes Dekker itu kini dapat kita saksikan di Museum Multatuli, sebuah museum mungil yang tidak lain dan tidak bukan adalah tempat tinggalnya sewaktu bertugas sebagai Asisten Residen Lebak dulu.
Letak museum ini begitu strategis, persis di depan alun-alun. Dan, saat kami berkunjung ke sana, sedang berlangsung Festival Seni Multatuli. Jalanan di depan museum ditutup untuk kendaraan bermotor. Tiang-tiang bambu dan gerai-gerai pameran digelar. Tapi, tak banyak pengunjung yang hadir. Mungkin karena hari sedang terik-teriknya.
Memasuki museum, sebuah pendopo menyambut kami. Di ujungnya terdapat sebuah meja loket pendaftaran. Dua orang perempuan menyapa dan mempersilakan kami. Tidak dikenakan biaya apa pun untuk berkunjung ke dalam. Cukup mengisi identitas diri di dalam buku tamu.
Museum Multatuli terdiri dari tujuh bagian yang masing-masingnya menceritakan kepingan sejarah Nusantara. Di bagian pertama, kami disambut dengan potret mozaik kepala Multatuli. Di sisi kirinya tertulis sebuah kutipan, “Tugas manusia adalah menjadi manusia.” Spot ini termasuk salah satu spot yang paling digemari pengunjung. Mereka berfoto ria di sini, sebagai bukti sudah berhasil menyambangi salah satu loka bernilai sejarah di Rangkasbitung.
Masuk lebih ke dalam, kami diajak menyelami bagaimana linimasa sejarah dulu terjadi. Ada replika kapal-kapal layar yang menceritakan bagaimana proses kedatangan orang-orang Eropa ke Kepulauan Nusantara. Lalu, melangkah lebih ke dalam, tersaji aneka jenis rempah dan komoditas hasil bumi yang kala itu memiliki harga jual tinggi di pasar Eropa.
Di ruangan-ruangan lainnya, setiap informasi kepingan sejarah disajikan secara menarik. Tidak membosankan dan kering. Garis linimasa sejarah dicat rapi di dinding, memberikan informasi tentang momen-momen penting terkait perjuangan bangsa Indonesia. Menariknya, meskipun nama museum ini adalah Multatuli, dan letaknya di kediaman Douwes Dekker sendiri, tapi museum ini bukan museum yang secara eksklusif bertutur tentang dirinya. Museum Multatuli berbicara kuat tentang perjuangan melawan kolonialisme.
Meskipun untuk ukuran museum tempat ini dikatakan kecil, tetapi saya dan Advent melewatkan lebih dari satu jam di sini. Advent banyak mengambil foto, sementara saya membaca berulang-ulang tiap informasi sejarah yang tersaji di sini, berusaha mencocokkannya dengan ingatan yang menempel dari buku-buku pelajaran sekolah dulu.
Sejatinya, ada banyak hal lain yang bisa ditulis tentang Museum Multatuli. Tapi, saya tak ingin menuliskannya terlalu banyak. Saya ingin, supaya teman-teman yang membaca tulisan ini bisa meluangkan waktunya untuk datang langsung ke sana, mengecap setitik nuansa sejarah, sebab masa lalu selalu aktual. Dan, pemahaman kita yang dalam akan masa lalu dapat memberi kita pijakan yang lebih solid dan pandangan yang lebih luas untuk menyikapi setiap isu yang terjadi di masa kini.
Jelang pukul dua, saya dan Advent undur diri dari museum. Tepat di sebelah museum terdapat perpustakaan yang arsitekturnya unik, ada bambu-bambu yang disusun rapi sebagai eksterior bangunan. Tapi waktu sudah cukup mepet. Kami ingin mengejar kereta yang berangkat pukul tiga.
Kami kembali berjalan kaki ke stasiun, menapaki langkah di ruas-ruas jalan yang sepi. Sesekali kami berhenti sejenak untuk memotret bangunan tua, atau sekadar mengabadikan momen suasana jalanan kota.
Terima kasih Rangkasbitung! Kelak kita berjumpa lagi ya.
kota kecil yang rupanya penuh sejarah 😉
Iyap mas, sejarahnya banyak. Cuma belum banyak terekspose 🙂
saya belum pernah ke Rangkas .. jadi penasaran pengen jalan2 kesana juga. baru tahu kalau disana ada museum Multatuli … dan ternyata dari bahasa latin .. saya kira nama dari daerah Indonesia timur
Sama kang, saya juga kira Multatuli nama asli sini, tahunya bahasa Latin.
Sok coba kang gowes ke rangkas hehe, kan sepeda lipat bisa dibawa pake KRL ya 😀 Nanti sy tunggu liputan dan foto-fotonya