Di kamar kos yang pengap dan sering dimasuki tikus, sebuah buku tulis terbuka di atas meja. Halaman-halamannya masih polos, belum ada setitik pun coretan. Buku itu diberikan oleh sepasang suami istri dari Boyolali sebagai hadiah di bulan Januari tahun 2017. Saya lalu berkomitmen untuk menjadikan buku itu sebagai diary yang mencatat hari lepas hari. Tapi, sampai di bulan ketiga di tahun yang sama, tak ada bolpoin yang menggores lembaran-lembaran kertas di buku itu.
Niatan untuk menulis diary akhirnya benar-benar terlaksana pada suatu malam di bulan Maret, saat paket data Internet habis, ibu kos memutar musik dangdut keras-keras, dan saya tak tahu mau berbuat apa lagi. Saya sendiri sebenarnya tidak terbiasa menulis diary. Rasanya bertele-tele dan sepertinya itu adalah aktivitas untuk perempuan saja. Tapi, berhubung keseharian di Jakarta setelah pulang kerja adalah dikoyak-koyak sepi, jadi saya pikir tidak ada salahnya mencoba menulis diary. Saya ingin menemukan sesuatu yang berarti dari keseharian yang terasa membosankan ini.
Sehari dua hari, menulis ini terasa menyenangkan, berasa masih kuliah, mencatat omongan dosen di atas kertas binder. Tapi, jelang hari ketujuh, tatkala pekerjaan dan kesibukan lain menyita waktu, menulis diary ini pun tersisih. Kalau saya sadar sudah lama tidak menulis, saya buru-buru membuka diary itu, menuliskan cerita-cerita sepanjang hari itu dalam beberapa paragraf. Kadang kalau hari sudah terlewat terlalu lama, saya rapel tulisannya.
Hingga akhirnya, di bulan Agustus 2017, hanya lima bulan sejak komitmen pertama menulis diary itu terwujud, buku itu tutup usia. Sampai tahun berganti, saya tidak lagi menulis diary.
Seperti kata orang yang bilang: mempertahankan lebih sulit daripada membangun. Kira-kira itulah saya. Baru jalanin komitmen lima bulan, lalu gagal.
Dari yang sedikit, ada banyak cerita
Ketika 2017 berganti 2018, saya berada di Lasem, Jawa Tengah. Di malam tahun baru yang seharusnya semarak dan gempita itu, saya menghabiskan waktu di sebuah rumah tua yang dibangun tahun 1920. Tak ada kembang api. Tak ada bakar-bakar jagung dan sosis. Tak ada pesta kumpul-kumpul sama teman. Yang ada cuma hening ditemani suara kodok dan cahaya temaram dari bohlam lima watt.
Malam itu, saya merenung dan menyusun strategi tentang apa yang mau dicapai dan dibuang di tahun 2018 ini. Saya lalu ingat diary yang dulu pernah saya tulis. Meski sudah tidak pernah mencatat, tapi buku itu selalu saya masukkan di dalam ransel setiap kali saya ke luar kota.
Saya buka lembaran pertamanya, membaca pelan-pelan tulisan sendiri yang kadang huruf-hurufnya tidak jelas dilihat. Waw! Saya lalu tertawa. Halaman-halaman di kertas itu seolah memutar kembali peristiwa-peristiwa yang dulu pernah terjadi, ada garis linimasa yang terwujud dalam benak saya. Di situ tertulis suatu peristiwa di bulan Maret, saya pernah merasa takut kepada seorang kepala keuangan di kantor karena waktu awal masuk pernah diomeli olehnya. Jangankan bicara, melihat wajahnya saja saya gugup. Tapi, hari itu kami malah berpapasan di tangga. Kami saling melihat, krikk….krikk, lalu saya buru-buru lari ke ruangan kerja sembari tertunduk.
Masih tentang kepala keuangan itu, di bulan Mei saya menemukan lagi tulisan tentangnya. Tapi, kali ini ceritanya berubah drastis. Si ibu kepala keuangan yang saya anggap mengerikan ternyata menunjukkan sisi yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Di tanggal 14 Mei, di hari ulang tahun saya, dia membawakan saya sekotak mie goreng. “Nih buat kamu, selamat ulang tahun ya,” katanya sambil melemparkan senyum. Saya seperti tidak percaya. Tapi, sejak saat itulah cerita berubah. Seiring saya makin mengenalnya, akhirnya saya tahu bahwa memang itulah cara dia berelasi dengan orang baru. Saya pun belajar untuk tidak melihat orang dari kulitnya saja.
Ada pula cerita lain, ketika saya merasa sangat tidak betah tinggal di Jakarta tapi terpaksa bertahan karena butuh uang. Untuk membunuh rasa tidak betah itu, saya pergi ke Tegal pulang pergi naik kereta. Dan, di atas kereta itu saya bertemu seorang perempuan bernama Dewi, yang usianya sepantar saya tapi sudah menjanda. Sepanjang perjalanan dari Cirebon sampai Tegal, Dewi curhat sambil menangis sesenggukan. Duh, di situ saya ditegur untuk sekali lagi belajar mengucap syukur. Seberat-beratnya pekerjaan saya, tidak lebih berat dari Dewi yang harus bekerja dari pagi-pagi buta dan mengurus anaknya seorang diri.
Sungguh menarik. Diary itu menunjukkan kepada saya bahwa banyak peristiwa berharga yang sejatinya terjadi dalam keseharian. Pun ada perubahan-perubahan yang terjadi seiring waktu yang berjalan. Perubahan itu bisa apa saja. Bisa seperti ibu kepala keuangan yang awalnya jutek lalu menjadi ramah. Selain itu, diary singkat yang cuma lima bulan ini juga menunjukkan dinamika perjalanan hidup; tentang kisah cinta yang kandas, semangat yang jatuh bangun, hati yang kadang iri kadang bersyukur, mulut yang kadang tertawa kadang mengumpat, juga tentang dosa apa yang sudah saya lakukan dan berkat apa yang sudah saya terima. Semuanya berpadu jadi satu, jadi kalis, ibarat adonan kue yang terdiri dari banyak komposisi yang dicampur dan diolah hingga jadi sebuah kue yang nikmat.
6 Januari 2018, diary yang dulu mati, akhirnya bangkit lagi. Saya kembali belajar untuk menuliskan perjalanan di tiap-tiap hari. Kadang berupa tulisan panjang, kadang pendek. Kadang isinya keluhan. Kadang pula isinya doa. Dan, meski sekarang saya menuliskannya tidak lagi dengan goresan bolpen di atas kertas, tapi dengan tarian jari di atas papan ketik, diary itu tetaplah diary, sebuah catatan yang mengajari saya bahwa hidup ini dipenuhi oleh banyak momen berharga jika saya mau mengingat dan menyadarinya.
Semoga komitmen ini tetap lestari. Saya membayangkan kelak di usia 60, membuka kembali tiap-tiap catatan itu dan menjadi tua bersama kenangan.
dulu waktu SMP pernah mencoba nulis diary hadiah ultah dari kakak tapi cuma beberapa lembar dilanjut lagi waktu SMA di buku yang sama tapi tetep ga konsisten, terakhir sekitar 10 tahun yang lalu bukunya malah saya kasih ke mantan pacar (sekarang sudah jadi istri) hehehe….
Dulu terakhir Smp nulis rutin di Diary but… seseorang telah mebecanya. sejak itu berhenti nulis.
nulis di blog, tapi ya gitu… nggak semua tertuliskan. kata hati terlihat di rem. hehehe
Hehehe. Iya, kalau sampai ada yang iseng baca nah itu jd problem
konsistensi memang susah ya … saya pernah nulis dairy sudah lama banget, itu juga sebentar, terus beberapa tahun lalu saya menulis buku syukur … menulis semua hal yang ingin saya syukuri setiap hari dari hal kecil sampai besar .. tapi hanya bertahan 2 bulanan .. hehe
Tulisan mas bagus, rapi banget. Kalah rapi sama aku hehe
Sebenarnya dulu pernah nulis jurnal (saya lebih suka pakai kata ini, biar gak terkesan terlalu perempuan :D), tapi kemudian saya musnahkan, karena saya takut terbaca oleh orang lain. Sebenarnya sekarang juga masih ada keinginan untuk itu, tapi lagi-lagi kekhawatiran itu menghalangi saya. Sampai-sampai saya pernah menulis jurnal dengan menggunakan huruf pegon (aksara arab jawa) dan aksara jawa hanacaraka, supaya lebih aman. Dan terakhir sih sekarang saya menulis jurnal pakai software. Cuma ya itu, gak enaknya, harus selalu buka laptop. Dan gak bisa iseng-iseng dibaca.
Kalau dirimu punya kekhawatiran soal itu gak?
Ngomong-ngomong itu rapi banget jurnalnya (yg difoto dalam kereta).
Hahaha.
Iya mas, kadang agak ngeri juga kalau kebaca. Aku sih nulisnya di Google Docs, jadi bisa nulis kapanpun di manapun, dan bisa lewat hape juga. Sejauh ini sih aman, ndak ada yang kepo banget hahaha.
Ooo kalau di Google Docs atau aplikasi yang disimpan di gawai dan laptop sih, insya Allah aman 🙂