“Aduh Ry, itu GM gua ngeselin banget. Seenaknya banget dia pakai jam kerja buat urusan pribadinya!
Kalimat ini jadi pembuka obrolan jelang tengah malam. Joseph, sahabat saya, sudah setahun ini bekerja di Bali. Alih-alih bicara soal keindahan alam Pulau Dewata, malam itu pikiran dan hatinya mendung, tertutup oleh rasa kesal akibat berbagai drama yang terjadi di tempat kerjanya. Waktu awal kerja dulu dia begitu antusias. Impiannya bekerja di dunia pariwisata terwujud dengan profesinya sekarang, menjadi seorang staf di sebuah resor mewah. Tapi, antusiasme itu pelan-pelan luntur, seiring dia melihat adegan demi adegan drama di antara koleganya.
Drama yang paling membuatnya kesal adalah sikap atasannya yang menurutnya sangat tidak profesional. Si Ibu General Manager, sebut saja namanya Bunga, meminta dia dan seorang koleganya untuk menemani facial ke salon saat jam kerja berlangsung. Joseph menolak permintaan itu. Dia tahu kalau ada pekerjaan rutinnya yang tidak bisa ditinggal. Tapi, koleganya itu tipe orang yang gak enakan. Alih-alih menolak, dia malah pasrah mengiyakan sembari hatinya gusar. Singkat cerita, masalah pun berkembang dan merembet ke hal-hal lainnya.
“Pusing gua. Harus gimana coba?” tanya Joseph, mengharap ada solusi yang bisa saya berikan buatnya.
Tapi, saya sendiri bingung mau menjawab apa. Biasanya, posisi saya dan Joseph kalau sedang curhat itu saling berkebalikan. Kalau dia lagi down karena kerjaan, saya sedang on fire, jadi otomatis dari mulut ini bisa keluar kata-kata bijak penuh motivasi. Tapi, malam itu kami berdua sama-sama down. Seminggu terakhir saya stres. Di akhir minggu ada pertemuan kontributor, lalu dua minggu setelahnya saya harus pergi dinas ke luar kota selama 17 hari. Pusing tujuh keliling, banyak persiapan yang harus diselesaikan sebelumnya. Belum lagi sebulan kemarin tidak kena target, saya pun harus rapat dadakan bersama atasan untuk memberi klarifikasi.
“Haduhhhh….salah timing lu curhat. Gua juga lagi hampir gila. Lagi stres, asam lambung juga naik.” Alhasil, karena sama-sama down, isi curhatan kami cuma tentang beban kerja masing-masing. Sampai di satu momen, dari kumpulan cerita negatif tentang pekerjaan itu kami tiba pada satu pemahaman: tidak ada pekerjaan yang benar-benar enak.
Dulu, saya mengira bahwa pekerjaan Joseph itu nikmat sekali. Di Bali, dia bisa tiap hari melihat pantai yang bagus-bagus, menonton sunset yang syahdu. Pokoknya kerja di Bali itu nuansanya holiday everyday! Coba di Jakarta, mana ada pantai yang sedap dipandang. Mau sunset yang syahdu? Yang ada itu jelang sunset jalanan berubah jadi neraka. Jutaan kendaraan tumpah ruah, ingin cepat-cepat pulang ke rumah.
Joseph pun senada, dia sempat bilang kalau kerjaan saya itu enak. Tinggal duduk, mata melotot ke layar laptop, jari goyang-goyang di atas keyboard, lalu dapat duit. Tapi, baik saya dan Joseph tidak tahu, atau malah tidak mau tahu bahwa di balik apa yang kami lihat dan anggap itu, ada sesuatu yang sejatinya sama-sama kami alami: tidak puas dengan pekerjaan masing-masing.
Lewat curhatan itu saya jadi paham bahwa di balik pekerjaan Joseph yang tampaknya begitu nikmat itu ada pil-pil pahit yang perlu dia telan. Atasannya menyebalkan. Gajinya pas-pasan karena harus bayar kreditan motor. Biaya hidup di Bali juga mahal ternyata, mirip-mirip lah dengan Jakarta. Dan, koleganya pun tidak kooperatif. Joseph juga akhirnya memahami bahwa di balik duduk manis di kantor ber-ac, ada beban stres karena sakit pencernaan yang diakibatkan duduk kelamaan, target yang tidak tercapai, dan kesepian yang tiap malam menghantui karena sehabis jam kantor usai, teman-teman menghilang di dunianya sendiri-sendiri.
Saya jadi ingat pelajaran matematika dulu. Kalau negatif dikali negatif, hasilnya positif. Nampaknya rumus itu secara kebetulan berlaku di pembicaraan kami. Cerita negatif dari Bali, dikali dengan cerita negatif dari Jakarta, menghasilkan hasil yang positif: kesadaran bahwa di balik pekerjaan yang tampaknya enak, ada bagian tidak enaknya. Kerja itu bukan soal enak atau tidak, karena kalau tujuannya ini pasti banyak orang di luar sana yang baru masuk langsung resign. Tak akan mungkin kita temukan orang yang berkarier puluhan tahun di tempat yang sama.
Kerja itu lebih soal pilihan hati. Ketika kami sepakat untuk menekuni bidang dan tempat pekerjaan kami sekarang, tentu itu adalah pilihan yang kami buat secara sadar, bukan dalam keadaan mabuk. Jadi, kalau begitu, kami pun belajar untuk bertanggung jawab untuk pilihan hati yang sudah kami ambil ini kendati ada hal-hal tidak menyenangkan yang membuat kami merasa stres dan kadang ingin menyerah.
Filosofi kerja yang saya anut adalah: kita itu tanaman, tempat kerja itu pot, dan Tuhan adalah tukang kebunnya. Saat kali pertama ditanam di pot, tanaman itu mungil, maka ia butuh pot yang ukurannya kecil. Dengan tekun, si tukang kebun menyirami, memupuk, dan merawat si tanaman itu dengan telaten. Hari lepas hari, tanaman itu tumbuh membesar hingga akhirnya pot itu tak muat lagi untuk menampung akar-akar yang makin panjang dan gemuk. Si tukang kebun segera berinisiatif untuk mencarikan pot baru yang lebih besar, di mana tanaman itu bisa melanjutkan pertumbuhannya.
Seperti tanaman itu, saya pikir pekerjaan pun sama. Ketika kita menekuni pekerjaan dengan bertanggung jawab, pastilah kita bertumbuh. Entah itu karakter kita, kemampuan berpikir kita, atau kebijaksanaan kita. Dan, kalau kapasitas diri kita sudah lebih besar, Tuhan tentu akan menyiapkan tempat baru untuk kita. Bisa jadi kita akan naik jabatan atau tempat kerja baru. Tapi, tempat baru itu tidak melulu berupa perusahaan baru atau naik jabatan semata. Bisa jadi kita tetap ada di posisi yang sama, tapi mendapatkan kepercayaan lebih atau tanggung jawab yang lebih. Yang perlu dilakukan hanyalah teruslah bertumbuh dan beriman bahwa Si Tukang Kebun punya rancangan yang terbaik buat kita.
Dua paragraf di atas adalah filosofi yang saya anut sendiri, tentu orang lain punya filosofi kerjanya masing-masing, yang tak perlu kita saling debatkan. Yang paling penting adalah kita paham bahwa pekerjaan itu selalu punya dua sisi: enak dan tidak enak. Terlepas dari enak atau tidaknya, apapun pekerjaannya, bagian kita adalah mengusahakan yang terbaik yang kita bisa.
Jam setengah dua belas malam, obrolan kami terhenti. Saya dan Joseph belajar untuk tidak melihat pekerjaan dari satu sisi saja. Kami percaya, ibarat adonan kue yang terdiri dari berbagai macam komposisi, demikian juga pekerjaan kami. Kiranya segala drama, stres, sakit, senang, tawa, dan dukanya dapat kami kelola sedemikian rupa hingga menghasilkan karakter diri kami yang terbaik.
kenapa ya ibu-ibu kalo di tempat kerja iramanya kayak begitu? aku juga ngalamin. Besok aku kalo jadi ibu-ibu kayak gitu gak yaa? duhhh berattttt…..
Setuju, tidak ada pekerjaan yang benar-benar enak. Kecuali pas gajian aja sih. Itupun kadang-kadang cuma beberapa jam atau hari saja, setelah bayar ini inu ya balik lagi ke asal 😀
Iyap 😀
Butuh proses juga untuk menyadari hal ini ya mas.
Pastinyaa 🙂
setuju banget dengan philosofinya … kalau karakter, skill, knowledge berkembang … dan kantor tidak menghargainya .. ada tempat lain menanti yang akan menghargai kita
Pas lagi jenuh2nya dg rutinitas kerja eh nemu tulisan ini.. Bisa di jadiin mood booster .
Halo mas Ampuh,
Terima kasih. Semangat mas kerjanya 🙂
Benar! Dibalik manisnya pekerjaan, selalu ada hal yang tidak enak untuk dilewatkan. Intinya, nikmati saja :’)
Inspiratif. Satu lagi yang selalu saya tanamkan dalam pikiran saya manakala sedang jenuh dan down dalam pekerjaan ‘selalu ingat, bahwa ada banyak orang yang dalam doanya ingin seperti kita’ Kalau mikir gitu, semangat lagi. Bersyukur lagi. Hehe
Betul mbak.
Sy jg bersyukur krna saat down dan curhat ke beberapa orang, mereka tidak mendengar untuk sekadar membenarkan situasi yg lg sy hadapi, tp mereka sllu ngjak untuk lihat dri sisi yg lain :))
Beruntung ya jika kita punya teman, saudara atau orang dekat yang seperti itu. Pada intinya, syukuri apa yang ada~ Hidup adalah anugerah~ *nyanyi 😄
Cerita yg common emang begitu ya pak. Memang sih, itu semua ttg cara kita bersikap, keadaan sekitar tidak bisa kita kendalikan sepenuhnya, yg bisa dilakukan adalah adaptasi dan terus mengambil hikmah dari setiap kejadian.
Betul 🙂
Ada hal baik, tp ad jg yg kurang baik terjadi. Yg baik kita syukuri, yg tidak baik kita jadikan pelajaran
filosofinya indah sekali, akan saya catat baik-baik buat bekal energi kalau sewaktu-waktu lagi down 😀
Terima kasih mbak 🙂
Filosofi ini sy terapkan sejak 2014 dulu hehehe
ya benar saya setuju sekali, hidup itu sawang-sinawang atau kalau melihat rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau, banyak orang bilang kerjaan saya enak, terbilang cukup santai, target tidak terlalu membebani, hubungan dengan sesama karyawan & atasan juga enak, gaji ya sudah lebih dari cukup untuk tinggal di daerah Purwakarta, daerahnya lumayan bebas macet, bisa manfaatin fasilitas internet dikantor, tapi ya tetep aja saya iri melihat orang yang punya usaha sendiri karena punya banyak kebebasan terutama waktu 😀
Iya mas. Jadi inget kutipan di IG: “Rumput tetangga lebih hijau karena mereka kerja lebih keras” hihi
bener, bisa jadi tetangga sedang menikmati hasil kerja kerasnya hehehe