“Dulu waktu kamu belum lahir, Gunung Galunggung meletus. Bandung gelap gulita. Hujan abu, ke mana-mana jadi susah.” Saya ingat, perkataan ini diucapkan Mama di tahun 2006, sewaktu berita tentang letusan Gunung Merapi menghiasi layar kaca.
Meski tinggal di Bandung yang diapit dua gunung berapi—Tangkubanparahu di utara dan Patuhan di selatan—saya belum pernah merasakan dampak langsung letusan vulkanik. Waktu Galunggung meletus dahsyat pada tahun 1982-1983, saya belum lahir, dipikirkan untuk dibentuk pun belum. Kala itu letusan Galunggung berlangsung selama delapan bulan dan menjadi berita internasional karena abunya nyaris membuat satu pesawat celaka. Boeing 747 British Airways penerbangan 9 dari Changi menuju Sydney mendadak mati keempat mesinnya karena menghisap abu Galunggung. Syukurlah pesawat itu bisa mendarat darurat di Halim Perdana Kusuma dan semua penumpangnya selamat.
Tiga puluh enam tahun setelah letusan dahsyat itu, barulah saya singgah menginjakkan kaki di Galunggung. Rencana perjalanan ini sudah saya siapkan sejak liburan Paskah Maret lalu bersama Dionisius Dicky, rekan sekos di Jogja dulu yang sekarang sedang bekerja di Ciamis. Kami pun sepakat memilih 7 Juli sebagai hari untuk menjajal kelana akhir pekan ke Galunggung.
Kalau dari tempat Dicky ke Galunggung, cuma terbentang jarak 60 kilometeran. Tapi kalau dari Jakarta, saya harus menempuh 288 kilometer, nggak mungkin pakai motor. Saya memulai perjalanan pada hari Jumat. Menumpang KA Serayu Malam, perjalanan Jakarta Tasik memakan waktu kurang lebih 7 jam. Saat kereta tiba di Tasik sekitar jam empat pagi, saya menyempatkan diri tidur sejenak di kursi stasiun. Tenaga harus dikumpulkan supaya bisa kuat mencapai bibir kaldera Galunggung.
Jam enam pagi Dicky tiba di depan stasiun dengan mengendarai motor. Udara Tasik pagi itu lumayan dingin. Sebelum tancap gas menuju Galunggung kami mampir dulu di gerobak bubur pinggir jalan.
Dari ban besi pindah ke ban karet
Matahari masih enggan menampakkan sinarnya. Awan kelabu menggantung. Kami harap-harap cemas. Meski membawa jas hujan, kami tetap berharap cuaca bisa cerah sepanjang hari. Traveling naik motor sambil hujan-hujanan itu memang sih syahdu, tapi ribet.
Dari Tasikmalaya, kami melaju ke barat. Jalanannya sempit dan papan penunjuk arah menuju Galunggung tidak terlalu jelas. Kami mengikuti arahan dari Google Maps saja. Sekitar 30 menit kemudian, tibalah kami di pintu masuk pertama kawasan Gunung Galunggung.
Di pintu ini kami harus membayar retribusi. Kalau tidak salah harganya 15 ribu (lupa mencatatat) per motor. Di depan kami jalan bercabang dua. Kiri ke arah kawah Galunggung, kanan ke arah pemandian air panas. Jalan ke arah kawah menanjak curam dan sempit, bus tidak bisa naik ke sini. Dicky menancap gigi satu. Brrmmmmm. Yamaha R-15nya melaju perlahan melibas jalanan menanjak ini.
Agak berbeda dengan perjalanan ke Ijen yang ditumbuhi pohon-pohon tinggi menjulang, di kanan kiri kami terhampar semak-semak yang rimbun. Di beberapa lokasi ada hutan pinus, lalu berganti lagi menjadi hamparan semak yang tingginya mungkin sekitar dua meteran. Kalau menilik dari sejarahnya, mungkin hutan di sekitaran Galunggung dulu musnah akibat letusan, sehingga vegetasi yang tumbuh saat ini masih tergolong baru.
Kami tiba di gerbang kedua. Kali ini kami membayar retribusi lagi. Kalau tidak salah dua ribu rupiah. Di depan kami jalan terbagi dua lagi. Lurus ke arah kawah melalui tangga kuning, kiri ke arah Curug Agung, Galunggung Tunnel, dan akses kawah melalui tangga biru. Kami memilih jalan lurus, seperti kata pepatah yang mengatakan pilihlah selalu jalan yang lurus (#nggaknyambung).
Jam menunjukkan pukul 07:10. Kami tiba di parkiran motor dan ada lagi pos retribusi untuk naik ke bibir kawah.
“5000 a seorangnya,” kata petugas tiket di kaki tangga.
“Naha bayar lagi A? Asaan mah tadi udah bayar dua kali di bawah da,” saya protes sembari membatin, kenapa tidak dijadikan satu saja sih tiketnya. Mesti buka dompet lagi.
“Ini mah beda lagi A. Kalau mau naik ke atas, bayar di sini 5 ribu, terus Aa nanti bisa poto-poto di spot selpi a.”
Dicky menyodorkan uang 10 ribu yang ditukar dengan dua lembar karcis. Dituliskan di sana ada beberapa spot swafoto. Tinggal sedikit lagi perjalanan kami tiba di tujuan, bibir kawah. Tapi, etape inilah yang paling menantang. Di sini tubuh kami diuji, apakah usia itu sebanding dengan tenaga, atau usia kami cuma tipu-tipu; angka muda tapi staminanya orang tua.
Ada 620 anak tangga yang harus dinaiki untuk sampai ke puncak. Kalau dilihat dari bawah, tangga ini tinggi sekali, seperti stairway to heaven. Di kiri kanan tangga dipasangi lampu. Jadi ingat kata Aa penjual bubur di dekat stasiun tadi pagi, “Ke Galunggung mah bagusnya malem A, caang, bisa liat lampu-lampu.”
Di 25 pijakan pertama kami masih kuat. Semangat membara. Langkah konstan. Nafas diatur menggunakan pernapasan perut supaya tidak ngos-ngosan. Tapi, gaya potensial tetap terasa berat. Belum sampai seperempat jalan kami berdua sudah ngos-ngosan. Berhenti tiga menit, maju semenit. Begitu seterusnya. Barulah mendekati puncak semangat kami naik lagi. Hap..hap…hap, sampailah kami di bibir kaldera.
Di bibir kawah Galunggung
Warung-warung di bibir kawah masih banyak yang tutup. Ada beberapa monumen yang didirikan di bibir kawah, kami menyambangi satu monumen yang posisinya di sebelah kanan dari arah kami datang. Tapi sayang, di monumen itu tidak diceritakan bagaimana dahsyatnya letusan Galunggung kala itu. Monumen itu tidak bercerita, cuma jadi bangunan yang membisu. Di sekelilingnya, monyet-monyet berkerumun, mengernyitkan dahi dan matanya melotot saat kami berusaha mendekat.
Kawah Gunung Galunggung sekarang adalah sebuah danau yang airnya berwarna kehijauan. Kita bisa turun ke dasar kawah menggunakan tangga. Tapi, jika tidak pun, menikmati kawahnya dari atas terasa tenang dan teduh. Semilir angin gunung turun menerpa tubuh, dan keheningannya memanjakan pikiran.
Letusan terakhir Galunggung terjadi pada 5 Mei 1982 sampai 8 Januari 1983. Akibat letusan ini ada 18 orang yang meninggal karena dampak tidak langsung letusan sepert kecelakaan, usia senja, dan kekurangan logistik. Pasca letusan yang mengakibatkan Jawa Barat dihujani abu, peta mitigasi Galunggung berubah. Zona bahaya berkembang menjadi 20 kilometer dari kawah.

Di balik air danau yang terlihat tenang, sejatinya tersimpan bahaya yang mengancam. Galunggung saat ini tengah tertidur pulas, dan mungkin di masa depan dia bisa ‘bangun’ dan batuk kembali. Jika letusan terjadi dan air di danau kawah melimpah, maka bisa terjadi banjir bandang lahar. Pada letusan tahun 1822, letusan Galunggung menghasilkan hujan pasir kemerahan yang sangat panas, abu vulkanis halus, awan piroklastik panas, serta lahar. Aliran lahar inilah yang menjadi pembunuh mematikan. Ia mengalir mengikuti aliran sungai, menewaskan 4.011 jiwa dan menghancurkan 114 desa.
Belajar dari pengalaman itu, sekarang volume air di danau kawah terus dipantau dan dijaga. Kami berjalan turun ke dasar kawah melalui tangga biru. Di sini kami menemukan ada saluran yang sengaja dibuat untuk membuang air danau ke sungai. Kalau tidak salah, sekarang volume air di danau kawah dibatasi supaya tidak melebihi 700 ribu meter kubik. Sehingga, manakala Galunggung ‘batuk’, dampak buruk bencana bisa diminimalisir sekecil mungkin.
Menenangkan diri di tangga biru
Di sayap kiri kawah (dari arah tangga kuning), ada sederet warung yang menjual aneka makanan plus mendendangkan lagu dangdut. Perut kami lapar, tapi masih cukup kuat untuk berjalan-jalan. Di depan warung itu ada tangga biru yang menurun menuju dasar kawah. Tak ada pengunjung yang berjalan ke sana. Kami coba cek apakah ada larangan turun atau tidak. Karena tidak menemukan adanya larangan, kami pun turun.
Menuruni tangga biru ini menyenangkan tapi membuat kaki gemetar karena harus menahan berat tubuh. Ingat iklan produk susu Anlene? Katanya, saat kita berjalan menuruni tangga, tulang kaki harus menopang tekanan berat tubuh yang jumlah berlipat ganda. Wajarlah kalau kaki jadi gemetar.

Kami tidak sampai menyentuh air danau. Di penghujung tangga, kami menemukan spot yang nyaman dan tenang untuk beristirahat sejenak. Suasananya sungguh teduh. Di depan kami menghampar danau kehijauan dengan tebing-tebing perkasa di belakangnya. Di kanan kiri kami tumbuhan hijau mengalun anggun, mengikuti hembusan angin.
Kami mengobrol banyak di sini, tentang pengalaman kerja masing-masing. Dicky yang bekerja di proyek menuturkan bagaimana rasanya bekerja lapangan. “Bosku itu ry, bla, bla, bla.” Saya pun menanggapinya. “Kalo kantorku sih dik, bla bla bla.” Salah satu hal yang paling saya tidak suka dengan kerja kantoran adalah “duduk”. Karena duduk lebih dari 9 jam sehari inilah akhirnya penyakit pencernaan datang menghampiri. Sebenarnya bukan murni salah si duduk, tapi karena saya yang memang tidak mengatur waktu untuk bergerak.
“Asam lambungmu gimana tuh?” tanya Dicky.
Sebulan sebelumnya asam lambung saya naik. Mual tiap hari. Sampai sehari sebelum saya berangkat ke Galunggung pun mual itu masih terasa. Kata dokter, solusi dari penyakit ini adalah di samping menjaga pola makan dan gaya hidup, saya perlu membuang jauh-jauh rasa stres. Pikiran yang berpikir terlalu keras bisa memicu lambung untuk memproduksi asam lambung berlebih.
“Eh, iya ya. Hari ini nggak kembung nih!” saya menepuk-nepuk perut. Tidak ada suara kembung seperti gendang dipukul. Tidak dipungkiri, selain asupan obat dan selektif memilih makanan, perjalanan ke Galunggung ini meluruhkan stres yang selalu hinggap saat kepala ada di kantor. Saya jadi ingat kutipan yang pernah saya temukan di Instagram, “Alam selalu menjadi obat dan tempat pulang terbaik.”
Setelah satu jam menenangkan diri di bawah tangga biru, kami beranjak naik. Ngos-ngosan lagi. Tapi, semua itu terbayar lunas karena di bibir kawah ada mie rebus, gorengan, dan teh manis yang menyambut kami.
Sedap sekali!
Setelah makan puas di bibir kawah, kami turun kembali ke parkiran. Perjalanan di kawah Galunggung usai. Kami bertolak ke kota Tasik, beristirahat semalam, dan esok paginya kembali ke perantauan. Saya kembali lagi ke Jakarta, dan Dicky ke Ciamis.
Thanks for info, jangan lupa kunjungi website kami https://bit.ly/2CVElFd
Oh gunungnya masih aktif ya. Kalau beberapa danau lain seperti laut tawar sudah dijadikan wilayah tangkapan Ikan. Pantas di sini tidak ada aktivitas di Danaunya. Thanks gan!
Sama-sama gan!
Meski begitu ada satu dua warga sih yang turun ke bibir danau dan memancing. Cuma lokasi mereka terlalu jauh untuk saya sambangi waktu itu. Jadi tidak kelihatan ikan apa yang berhasil mereka dapat
kerenn ya … tapi tangganya bikin tepar hahaha ..
belum pernah saya ke galunggung dari dulu pengen tapi ga kesampeain …
Iya kang. 620 anak tangga lumayan, apalagi kalau anak kantoran hahahaaha
wowww enak banget tuhh makan mie di alamm..
nikmat yg haqiqi hahaaa
Iyo mas. Kenikmatan yang tiada bandingnya adalah menyantap indomie + gorengan anget di gunung. Aaaaa
Akhirnya ada tulisan baru yang rilis. *pembaca setia blog jalancerita 😆
Lihat foto sekeliling kawahnya kok kayak di Lombok ya? 😅
Saya jadi membayangkan dibonceng pake motor R-15 ga pegel itu mas? haha..
Waaaa, aku terhura hihihi
Makasih mbakkk :)))
Kawah galunggung sekilas mirip Rinjani versi Kw. Kalau ke Rinjani harus mendaki dan trekking, ke Galunggung cuma modal tangga dah sampai pucuk hahaha.
Naik R15nya gak pegel mbak, soalnya cuma bentar. Dari Tasik kota ke Galunggung gak sampai sejam, PP pun cuma 2 jaman aja. Jadi gk trllu pegel. Kalo lebih lama pasti bakal pegel
Mau trekkingnya beneran atau pake tangga, yang penting bisa menghirup udara diatas 2000 mdpl ya mas. Hati senang.. pikiran pun segar kembali..
Dekat juga ya dari pusat kota. Berarti Galunggung ini termasuk gunung yang masih aktif juga ya.. 😮
Yoi mbak. Duh, teduh banget suasana di atas. Asam lambungku aja turun hahahaha karena damai.
Galunggung masuknya aktif, tapi pasca letusan besar 36 tahun lalu, dia tidur panjang.
Gunung2 di Jabar lagi pada masuk fase tidur nyenyak nih. Ciremai, Salak, Tangkuban, Patuha, Papandayan, lagi pada bobookkk.
Haha.. Berarti kudu sering main ke dataran tinggi mas, biar sehat dan bugar! Hehe.
Semoga fasenya ga berubah ya, tetap tertidur nyenyak seperti itu.. 😊
Asik nih Galunggung buat treking tipis-tipis, ya walopun treknya tangga wkwkwk.
Setidaknya ada tiga gunung yg pengen aku kunjungi. Galunggung, Kelud, dan Kelimutu. Ketiganya ga perlu pendakian yang ‘serius’. 😂
Iyoi mas. 620 anak tangga yang bikin kaki gemeter. Pas abis turun kakiku gemeter lumayan lama haha
Kelud aku malah blm pernah. Pengen jg ke sana. Yukk yukkkk, sisan ke Pohsarang, terus Gunung Kawi.
Seru ya sepertinya gunung galunggung. Next bakal ke sana. Mumpung tahun depan ke Bandung kaka haha
Yoi, Galunggung menyenangkan. Saat sampai di bibir kawah rasanya megah sekali. Terus sebelum pulang cicip gorengan, seruput teh manis, dan makan mie rebus. Waaa mantap djiwa hahaha.
Tp jalan ke sananya sempit. Kalau bawa mobil kudu ati” :))
Seru! Beda ya kalo tulisan ada hasil risetnya.. Masukin datanya pun smooth, ga kasar, dan ga berasa baca Wikipedia.
O iya, Galunggung tuh ada jalur pendakiannya ga ya? Jalur bukan tangga gitu, nembus hutan. Nampak menarik euy, deket 😀
Wkwkwkwk, tp itu datanya sebagian aku baca dari Wikipedia nih mas, cuma kucocokin lagi sama pengamatan langsung di sana.
Awalnya berekspektasi kalau di monumen2 yg dibangun di sana ada banyak info yang bisa digali, taunya nggak 😦 cuma spot buat foto doang.
Kalau jalur pendakian setahuku (setahuku ya) nggak ada mas. Gunungnya pendek, 2.171 meter, beda seuprit sama Tangkuban Perahu yang 2.076 meter.
Tapi kita bisa turun ke kawah lewat jalur trekking. Saat aku di tangga biru itu, aku lihat ada dua warga mancing di sisi danau. Sepertinya mereka lewat jalur setapak, soalnya kalau lewat tangga tidak ada spot untuk benar-benar menyentuh air danau.
Ooo.. Baiklah, nanti saya cari tau soal jalur itu.
Haha bukan soal Wikipedianya, tapi pengemasan data dan informasinya rapi dan halus, ga kasar kaya baca beberapa blog lain 😀👍
Hehehehe.
Terima kasih mas. Sy sedang belajar nulis cerita yang bercerita hehehe, supaya pembaca bisa ‘ngikutin’ bagaimana rasanya perjalanan yg sy lalui itu.
Saya dukung hahahaha. Kalau suka gaya penulisan kaya gitu, mungkin travel blog efenerr atau thelostraveler bisa jadi referensi buat belajar.
Ntul banget! Mas Farchan di Efenerr panutanku itu mas. Oktober lalu aku sempat ikut acara sharing dari Efenerr dan jadi terinspirasi 😀
Mantap. Hahaha.