Merengkuh Jakarta Butuh Perjuangan

Nafasnya sedikit tersengal dan bulir-bulir keringat muncul di atas keningnya. Kaka baru saja berjalan sekitar satu kilometer, dari halte busway Pesakih menuju kantor. Setelah beristirahat barang semenit dua menit untuk mendinginkan badan, ia bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri lalu mulai bekerja.

Itulah sekelumit aktivitas Kaka, rekan kantor saya, di pagi hari sebelum jam kerja dimulai. Sewaktu saya masih berstatus sebagai staf probation, saya heran melihat Kaka yang saban pagi selalu ritual dulu di kamar mandi. Saya pikir keran air di rumahnya tidak ngocor, jadi dia mandi di kantor. Tapi kok tiap hari ya mandinya? Hingga suatu ketika, saya pun mengobrol dengannya.

“Kok mandinya di kantor, Ka?”

“Iya, kalau mandi di rumah, gak keburu,” jawabnya sambil menyunggingkan senyum.

“Emang rumahnya mana?”

“Depok.”

Bulan demi bulan, saya semakin mengenal Kaka. Kalau saya baru bekerja kurang dari setahun, ia sudah bekerja di kantor ini selama 6 tahun. Usianya kala itu 29. Dari durasinya yang jauh lebih lama, Kaka sudah menelan asam garam segudang. Ia tinggal di bilangan Bojong Gede, Kabupaten Bogor. Sebentar, bukannya tadi ia bilang tinggal di Depok? Kata Kaka, kalau sebut Bojong Gede, banyak orang tidak tahu. Kalau sebut tinggal di Bogor, kejauhan. Bogor – Jakarta jaraknya 60 kilometeran. Jadi, supaya tidak ribet, Kaka akan bilang kalau rumahnya di Depok. Toh dari Depok ke Bojong cuma terpaut dua stasiun.

Kantor kami lokasinya di Kalideres, Jakarta Barat. Kalau dihitung kasaran, jarak dari rumah Kaka ke kantor lebih dari 50 kilometer dan waktu tempuhnya paling cepat 2 jam. Buat saya yang kos di belakang kantor, jarak bukan masalah. Kantor masuk jam 8, saya masih bisa bangun jam setengah 8. Sepuluh menit di WC, lima menit siap-siap plus cek hape, lima belas menit lainnya jalan kaki, selesai! Tapi, Kaka lain cerita. Dengan jarak sejauh itu, perjalanan dari rumah ke kantor adalah petualangan yang menguras tenaga.

Suatu ketika, di bulan Mei 2017 saya penasaran dengan kehidupan yang Kaka jalani tiap hari. Kalau cuma dengar penuturan tentang nestapanya berdesak-desakan di KRL sih saya sudah sering, bagaimana kalau dicoba langsung? Sekali saja pergi ke Bojong, menjajal hidup ala Kaka, si warga komuter yang saban hari berjuang untuk merengkuh Ibu kota.

Satu malam menjadi warga Bojong Gede

Setelah bersepakat tentang teknisnya, saya berangkat menuju Bojong Gede sepulang kerja. Jam lima sore, saya segera teng go. Jam lima teng, langsung go. Dari kantor, butuh berjalan kaki 15 menit sampai ke halte Transjakarta Pesakih. Bus tidak langsung datang, butuh 10 menit bengong di halte. Bus pun datang, saya masuk dan berdiri ntul-ntulan. Dari Pesakih sampai Juanda, paling cepat 30 menit. Tapi, karena itu sore, busway terjebak macet di perempatan neraka sebelum Harmoni, perempatan Cideng sebelah Dunkin Donut. Mengapa perempatan neraka? Karena pengemudinya kehilangan naluri kemanusiaan untuk mengalah. Mau lampu merah kek, hijau kek, mereka tancap gas. Stuck. Mobil terjebak, motor nyempal-nyempil dan malah bikin lebih parah. Klakson-klakson bersahutan, tanpa membuat kemacetan lebih terurai.

Jam setengah tujuh, barulah saya sampai di Halte Busway Juanda. Jalan kaki menuju peron stasiun butuh 10 menitan, lengkap dengan antre dan drama kartu flazz tidak terdeteksi di pintu tap. Bersama ratusan calon penumpang, saya berdiri di depan peron nomor dua. Kereta komuter datang, rangkaiannya 12 kereta. Syukurlah kereta tidak terlalu penuh, tapi tetap tidak dapat duduk.

Di Juanda, kereta tertahan 5 menit karena menanti giliran melintas Gambir. Di Manggarai, penumpang yang naik lebih banyak dari yang turun. Rute komuter ke Bogor memang paling laris. Berdasar statistik dari PT. KCJ, dari 315,8 juta total penumpang KRL tahun 2017, porsi paling besarnya (sekitar 60 persen) adalah penumpang tujuan Bogor. Tak heran, per lima menitan ada KRL yang berangkat ke kota di selatan Jakarta ini.

Puji Gusti, kereta tidak tertahan di Manggarai, karena biasanya saat lintasan kereta sedang sibuk-sibuknya, komuter pun bisa kena macet! Sebelas dua belaslah sama jalan raya. Selepas Stasiun Depok, kereta sedikit lebih lowong.

Saat komuter tiba di Stasiun Bojong Gede, jam sudah menujukkan pukul 20:45, nyaris jam 9! Dari Stasiun, perjalanan masih harus dilanjut. Kaka memarkirkan motornya di tempat penitipan. Biayanya 4 ribu per hari, dari subuh sampai gelap malam. Motor-motor disusun amat mepet. Ada yang ditaruh di lantai 1, ada yang di lantai atas.

Dari stasiun, kami berkendara melewati jalanan Bojong Gede yang berlubang. Karena baru turun hujan, lubang itu menjelma menjadi kubangan. Kalau pernah nonton tayangan Discovery Channel, lubang-lubang itu mirip kubangan buaya dan kudanil. Airnya coklat seperti bajigur, dan dalamnya walahualam. Motor kami berjalan pelan, mencari-cari jalan yang tidak tergenang air. Tapi, susah. Jalanan sempit, mobil ada di dua arah. Mau tak mau motor ikut tercebur ke dalam kubangan itu. Kaka meringis, bebek matiknya yang baru ia cuci pun kembali ternodai.

Jalanan baru bagus saat sudah tiba di dalam komplek. Pukul 21:30, barulah saya tiba di rumah Kaka. Empat jam lebih, hanya untuk perjalanan pulang. Betapa beruntungnya saya, yang walaupun kala itu kosnya suram, cuma butuh kurang dari seperempat jam untuk rebahan di kasur.

“Gila Ka, luar biasa!” saya menepuk pundak Kaka, menyadari betapa tangguhnya ia berjibaku dengan hal ini setiap hari.

“Kamu lagi lambat aja ni. Kalau cepat ya perjalanan dari kantor ke sini bisa 2,5 jaman lah.”

“Hih. Tapi emoh. Tetep aja, lama!”

Kaka tertawa. Mungkin dalam hatinya dia merasa jadi pria yang amat tangguh. Di hadapannya ada bocah pendatang yang ingin menjajal kehidupan ala warga komuter. Tapi, sejurus kemudian ada raut sedih di wajahnya, meski diselingi tawa kecil.

“Ya, beginilah kehidupan, Ry,” tukasnya. Singkat namun dalam. Kehidupan tidak melulu indah. Untuk hidup harus berjuang. Dan, perjuangan kadang tidak mengizinkan kita bercanda.

Malam itu, setelah membersihkan diri, saya dan Kaka jajan nasi goreng di depan komplek. Hmmm. Baru sekali perjalanan, saya sudah capek duluan. Apa kabar orang-orang seperti Kaka yang kala langit masih gelap sudah berjibaku dalam kereta? Untunglah besok adalah hari Minggu, kantor libur. Jadi saya tidak perlu buru-buru balik Jakarta dan mengulangi perjuangan yang sama.

“Kalau hari biasa, kamu jam berapa berangkat dari rumah Ka?”

“Jam lima, supaya bisa naik kereta yang 5.20.”

“Pagi amat, emang dapat duduk?”

“Gak. Dari Bogor udah banyak yang naik. Makin hari makin penuh, mungkin penduduk Bogor nambah kali ya?”

Saya menggeleng. Entahlah. Kalau mau dilihat di statistik, pasti angkanya jutaan dan bikin pusing. Secara de facto, memang pertumbuhan penduduk tidak terelakkan. Jawa, khususnya Jabodetabek makin padat. Mereka yang bekerja di Jakarta, khususnya para kelas menengah umumnya akan membeli rumah di pinggiran Jakarta. Harga rumah lebih miring, tapi risikonya adalah perjalanan ke tempat kerja yang lebih jauh dan butuh waktu lebih.

Jakarta bukan sekadar Ibu kota republik. Bagi banyak orang, ia adalah ladang penghasilan. Selain 10,2 juta penduduk Jakarta, ada tambahan 14,5 juta warga komuter di kota-kota satelit yang kalau siang bekerja di Ibu kota. Angka ini tidak akan mengecil, malah bertambah besar selama pembangunan di negeri ini tidak merata. Ketika penduduk di lahan sempit semakin banyak, maka akan terjadi kelangkaan sumber daya. Manusia butuh lahan, maka ruang hijau akan semakin kurang. Ruang hijau kurang, polusi bertambah hebat, lalu serentetan faktor-faktor dan akibat buruk lainnya pun bermunculan.

Sepiring nasi goreng habis disantap Kaka. Perjalanan yang diisi perjuangan itu adalah petualangan hidupnya sehari-hari.

“Ya disyukur aja. Lama-lama jadi nikmat kok,” tukas Kaka seraya menumpahkan seteguk teh tawar ke kerongkongannya.

Kaka hanyalah salah satu dari sekian juta warga komuter yang berjuang untuk merengkuh Jakarta. Berangkat saat hari gelap, kembali saat langit sudah redup. Tetap semangat untuk Kaka dan jutaan warga komuter lainnya! Kalianlah penggerak ekonomi kehidupan megapolitan Jakarta.

 

11 pemikiran pada “Merengkuh Jakarta Butuh Perjuangan

  1. jakarta memang “keras” ya … makanya slogan yang tepat … siapa suruh datang jakarta .. 😀
    selama tinggal di jakarta banyak ketemu pelaju yang “gila” .. ada teman yang tinggal ke arah jonggol … pergi jam 4 .. harus sholat shubuh dijalan .. dan nanti balik ngantor sampe rumah jam 9 – 10 …. setiap hari begitu …
    bahkan ada lagi yang lebih gila .. tiap hari berangkat pp Sukabumi Jakarta pakai kendaraan umum … top .. hehe

  2. Saya bisa bayangin kerasnya jkt..
    Pernah naik bus dr pamulang ke hotel dkt halim..jm 16 sore smp hotel jam 21..

    Selama perjalanan sy mengamati mereka2 yg naik kend umum pulang kerja penuh perjuangan

  3. udah pernah ngerasain satu tahun jadi komuter Bekasi – Jakarta PP….dan memutuskan untuk kembali tinggal di kos karena gak mau waktu habis cuma buat di jalan, tau-tau udah tua 😀

  4. saya selalu salut dengan perjuangan orang di Jabodetabek, karena saya orangnya paling males ketemu yang namanya kemacetan, tahun 2010 saya pernah bekerja di daerah Cipinang Muara hanya kuat 1,5 bulan, setelah itu pindah ke Cikarang (yang juga macet) cuma kuat 7 bulan, hingga akhirnya sekarang kerja di dekat rumah aja di Purwakarta dari rumah ke kantor itu sekitar 15 km bisa ditempuh sekitar 30 menit tanpa kemacetan

    1. Iyes mas.
      Saya pun sejenis itu, ndak kuat kalau harus berjibaku dengan kemacetan saban hari.

      macet di depan kos saja kadang sudah bikin pusing. Apalagi kalau tiap hari kejebak macet antara Jakarta-Bekasi. Haha.

      Salut dan hormat kepada para komuter dan mereka yang ngelaju antarkota untuk mencari nafkah 🙂

  5. Baca nya bkn hati terenyuh … beginilah hdp ada yg tll enak hgg bisa sampai tdk menghargai org n tdk bersyukur , ada yg berjuang begitu keras tp ttp bljr bersyukur

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s