Melihat Singapura dari Sisi yang Berbeda

Hari itu, di pertengahan bulan November 2017, saya menyantap makan malam di sebuah pujasera di kawasan Marina Bay, Singapura. Saat kami asyik menyantap hidangan seraya mengobrol, datang seorang nenek. Wajahnya keriput dan ia mengenakan kacamata. Ia mendekati meja kami.

Would you like to buy drinks?” Ia menjajakan aneka minuman yang diletakkan di atas troli dorong.

Saya menggeleng. Di dalam tas, ada sebotol minuman yang sudah saya siapkan dari kantor untuk menghemat uang saku. Kalau harus beli minuman di luar, saya emoh. Air sebotol harganya bisa di atas 1 dolar. Rajin keluar tanpa bawa minum sendiri sama saja membuat bangkrut isi dompet.

Nenek itu membalas gelengan saya dengan senyum, lalu kembali beranjak, mengelilingi pujasera sambil mendorong trolinya. Mia, rekan saya yang adalah orang Singapura tampak acuh tak acuh, ia tetap asyik makan. Sementara saya jadi terdiam. Kejadian sepintas itu membuat ayam goreng tepung yang lezat di mulut jadi kurang berasa. Saya membatin, mengapa orang setua itu masih bekerja? Kalau kelak orangtua saya seperti itu, bagaimana perasaan saya sebagai anak? Pertanyaan lain pun muncul di pikiran.

“Hey Ary, why? What are you thinking?” tanya Mia. Ia heran melihat saya yang mendadak bengong seperti orang yang tiba-tiba kesambet.

“Ouw, nothing serious. Just wondering why that nanny still working. She is old, and should be stay in home and living joyfuly with her family.”

“Hahaha. Its common here, Ary” jawabnya.

Jawaban Mia ada benarnya. Its common, itu lumrah melihat para lansia masih berjerih lelah di usia senja. Di hari-hari selanjutnya, saya selalu menjumpai para lansia ini. Mereka biasanya bekerja sebagai petugas kebersihan, kasir, atau penjaja minuman di pusat-pusat perbelanjaan. Buat warga Singapura, hal ini bukanlah fenomena baru. Namun, buat saya yang datang dan mengenakan kacamata Indonesia, seketika saya teringat tentang imaji anak yang berbakti; anak yang berbakti harus merawat kedua orangtuanya saat mereka sudah tua nanti. Nah, apakah mereka punya anak? Atau, apakah anak mereka tidak berbakti?

Pertanyaan itu tidak terjawab hingga suatu ketika saya menemukan sebuah artikel dari The Guardian. Artikel ini berjudul: Singapore’s Silver Tsunami, How The City-State Depends on Its Elderly Workforce. Artikel yang berupa liputan tentang potret kehidupan lansia Singapura ini sedikit banyak memberikan gambaran mengenai peristiwa sepintas yang terjadi hampir setahun lalu di negeri jiran.

Singapura didaulat sebagai negara dengan angka harapan hidup ketiga tertinggi di dunia. Rata-rata warganya dapat bertahan hidup hingga usia 82.7 tahun. Kalau dibandingkan dengan Indonesia, posisinya tidak jauh-jauh amat. Rata-rata orang di Indonesia sanggup bertahan hidup sampai usia 73 tahun, meski mungkin banyak dari kita yang sering mendengar kabar duka dari mereka yang meninggal muda karena banyak sebab: diabetes, sakit jantung, kanker, bunuh diri, dan sebagainya.

Pada tahun 2012, Pemerintah Singapura membuat kebijakan “Re-employment” yang mendorong para warga lansia untuk kembali bekerja setelah mereka melampaui usia batas pensiun, 62 tahun. Pada tahun 2017, usia ini direvisi. Mereka bisa kembali bekerja setelah melampaui usia 67 tahun.

Kita, Indonesia patut berbangga diri. Di tahun 2025-2035, negara ini diprediksi akan mengalami bonus demografi, yaitu kondisi di mana orang-orang usia produktif jumlahnya akan melampaui orang-orang lansia dan anak-anak. Sementara itu, jiran kita, Singapura, pada tahun 2030 nanti diprediksi akan mengalami silver tsunami, suatu kondisi di mana satu di antara lima warganya berusia di atas 60 tahun.

Meningkatnya jumlah lansia yang secara produktivitas menurun bisa jadi beban tersendiri buat negara. Johannes Tschauner, rekan saya di Jerman pernah berkata kalau di negaranya pun serupa. Jumlah orang tua semakin banyak, maka negara butuh biaya lebih untuk mengurusi mereka. Sementara itu, jumlah penduduk produktif dan muda lebih sedikit dari mereka. Akibatnya, pajak dinaikkan. Buat yang bekerja, pajak naik bisa jadi berita buruk. Kata Johannes, banyak pula anak muda di negaranya yang frustrasi akibat beban pajak itu sampai-sampai mereka bercita-cita kabur ke negara lain.

Melalui kebijakan re-employment, Pemerintah Singapura memberi kesempatan kepada para lansia untuk kembali bekerja. Dari bekerja, mereka mendapat uang. Tapi, uang bukan semata-mata faktor utama dari kembalinya mereka berpeluh. Di negeri yang time dianggap money, tak banyak anak muda yang sedang gencar-gencarnya mengejar kegemilangan karier mau meluangkan waktunya untuk merawat orang tua. Mereka sibuk. Lalu, kalau orang tua tinggal di rumah, dengan siapa mereka mau berinteraksi? Tak banyak dari orang-orang produktif di Singapura yang kepikiran ingin beranak. Tahun 2018 ini angka fertilitas Singapura tercatat paling rendah dalam 7 tahun belakangan, 1.16. Orang dewasa di usia 20-30an tahun harus menanggung biaya hidup tinggi untuk membesarkan anak, sehingga urusan reproduksi mesti dipikirkan matang-matang.

Sampai di sini, saya mulai bisa mencerna fenomena di balik gemerlap dan menjulangnya gedung-gedung di Singapura. Kehidupan selalu menyajikan dua sisi. Ada gelap, ada terang. Ada siang, ada malam. Ada tua, ada muda. Di balik negara yang tampaknya sukses luar biasa, ada orang-orang yang kesepian dalam pengejaran mereka menuju kemakmuran. Ada para lansia yang bergumul mengatasi kesepian dan biaya hidup yang tinggi dengan kembali bekerja di usia senja mereka. Fenomena ini menarik. Saya belajar melihat Singapura tidak hanya dari milestone-nya saja yang terkesan gemilang, tapi juga bagaimana warganya berjibaku untuk hidup di negara yang sejarah modernnya baru terjadi di sekitaran abad 19 lalu.

Saya tidak tahu bagaimana perasaan para kakek-nenek yang bekerja di Singapura itu. Mungkin mereka sedih karena masa tuanya tidak seperti yang digambarkan dalam film-film yang mempertontonkan imaji hidup yang ideal: tua, istirahat, main sama cucu, ongkang-ongkang kaki. Tapi, mungkin pula mereka malah bahagia. Alih-alih diam tidak ngapa-ngapain, mending kerja. Dapat uang, dan tentu pula dapat teman. Mereka bisa ketemu dengan sesama lansia dan menghidupi naluri mereka sebagai makhluk sosial, makhluk yang dicipta untuk berinteraksi lewat tawa, canda, senyuman, makian, bahkan air mata.

11 pemikiran pada “Melihat Singapura dari Sisi yang Berbeda

  1. Kenapa orang sudah tua masih bekerja? Nah, tidak semua orang bekerja karena mereka butuh banget uang lho. (Penekanan pada kata “banget” bukan kata “butuh”.) Bekerja di usia tua membuat mereka bersosialisasi dan merasa dibutuhkan. Orang tua di Indonesia, juga bekerja di masa tua lho: mengasuh cucu, berkebun (kalau ada lahan), jadi aktivis arisan atau kegiatan keagamaan. Dan kecuali mengasuh cucu, bisa ada uangnya. Kalau cuma ongkang-ongkang kaki dan menggantungkan diri pada anak, bukannya mereka malah jadi merasa tidak berguna dan post-power syndrome ya?

  2. Jadi teringat saat tugas di jepang dulu, ada oma opa berusia sekitar 70 tahun-an dengan cekatan dan penuh semangat mengarahkan mobil saat parkir. Persis seperti mas Ary, saya pun terkesima sekaligus berpikir banyak hal tentang fenomena itu. Namun, ternyata bagi orang Jepang, bekerja itu semacam harga diri. Makanya sampai tua mereka tetap produktif, tetap bekerja sebisa mereka. Dan, kalau di Singapura ternyata sedikit berbeda ya alasan kenapa lansia nya masih kerja. Wawasan baru. Nice info. 😁

          1. Iya betul. Sepertinya begitu. Karena rata-rata lansia di Singapura atau di Jepang hidup sendiri ya, tanpa anak yang menemani mereka. Beda dengan Indonesia yang masih banyak lansia berkumpul dengan anak-anaknya.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s