Mencari hiburan yang bernuansa alam di Jakarta itu sulit. Makanya, banyak orang Jakarta rela bejubel dan macet-macetan di jalan demi bisa menikmati angin gunung di Puncak atau Bandung. Tapi, pergi ke dua tempat itu lumayan jauh buat saya yang tidak (belum) punya mobil.
Syukurlah karena di selatan Jakarta ada Kebun Raya Bogor. Kebun botani seluas 87 hektare di Kota Bogor ini memang paling mudah untuk disinggahi. Hemat biaya pula. Ketika minggu lalu Tegar, rekan saya datang dari Temanggung, saya mengajaknya untuk singgah ke Kebun Raya Bogor. Lihat yang hijau-hijau setelah matanya suntuk memelototi belantara beton.
Perjalanan ke Selatan
Jumat, 1 Juni 2018. Hari itu tanggal merah dan bulan Ramadhan. Stasiun Kalideres sepi penumpang. Kami menumpang KRL yang cukup lowong hingga tiba di Duri, stasiun transit sebelum mengarah ke selatan. Jika sebelumnya bisa duduk di kereta, sekarang tidak. KRL yang menuju ke Bogor penuh manusia, padahal hari itu tanggal merah. Penumpangnya didominasi ibu-ibu. Bisa ditebak sepertinya ke mana tujuan mereka: Tanah Abang.
Satu stasiun selepas Duri, sebagian besar penumpang turun di Tanah Abang. Selepas Manggarai kereta penuh kembali dan kami tidak mendapat duduk sampai Stasiun Bogor.
Setibanya di Stasiun Bogor, ada tiga pilihan yang bisa diambil untuk menuju ke Kebun Raya Bogor (KRB), yaitu:
- Naik angkot
- Naik angkutan online
- Jalan kaki
Kalau naik angkot, ongkosnya tiga ribu. Cukup murah. Tapi, melihat kondisi jalanan Bogor yang menyemut macet, sepertinya naik angkot akan berasa seperti sauna on the road. Panas. Pilihan naik angkot pun kami coret.
Kalau naik angkutan online, sebelas dua belas dengan angkot. Sama-sama macet. Pilihan ini pun kami coret. Karena namanya juga jalan-jalan, maka kami sepakat memilih pilihan ketiga: jalan kaki.
Dari Stasiun Bogor, kami berjalan ke arah timur, melewati deretan angkot-angkot yang ngetem mencari penumpang. Setibanya di Jalan Ir. H. Djuanda, kami menyeberang. Di sini, KRB sudah terlihat jelas. Ada padang rumput hijau yang dilapisi pagar di sekelilingnya. Rusa-rusa berkeliaran. Sesekali mereka menjurkan moncongnya, mengharap rezeki berupa wortel atau sayuran dari pengunjung.
Berjalan kaki menuju KRB sejatinya adalah pilihan yang mengasyikkan. Di sepanjang Jln. Ir. H. Djuanda, suasananya teduh, pun pedestriannya tertata rapi. Setelah bermain dengan moncong rusa dan melihat Istana Bogor dengan perasaan bertanya-tanya: “Kapan kita bisa masuk ke dalamnya ya?”, kami terus berjalan.
Mendekati jembatan Ciliwung, pedestrian terbagi dua. Ada trotoar yang terletak persis di sisi jalan. Ada pula yang dibangun di sisi kanan bawah jalan. Trotoar yang lokasinya di bawah terasa lebih teduh karena terlindung pepohonan. Tapi, trotoar di bawah ini buntu saat menjumpai Sungai Ciliwung. Kami harus naik ke trotoar yang di atas untuk menyeberangi sungai.
Kontras dengan jalanan yang padat, kondisi pedestrian hari itu kosong. Hanya kami bertiga yang melenggang di atasnya.
Lagi-lagi, Kebun Raya!
Semenjak pindah ke Jakarta hampir dua tahun lalu, kebun raya selalu menjadi destinasi andalan. Aksesnya mudah, lokasinya dekat, dan tempatnya meneduhkan jiwa raga. Kami masuk melalui pintu di depan Lippo Plaza. Pintu ini cuma dibuka saat akhir pekan saja. Kalau hari biasa, silakan masuk lewat pintu utama di depan Jalan Suryakancana.
Sebelum membeli tiket seharga 15 ribu per orang, barang bawaan kami dicek terlebih dahulu. Ada dua tentara berjaga di depan pos masuk. Kami diminta membuka tas, dan kalau membawa kamera SLR, kamera itu diminta untuk menjepret gambar sekali. Setelah lolos pemeriksaan, barulah kami membeli tiket dan bisa leluasa masuk.
Dari pintu masuk ini, jalanan aspal lebar menyambut kami. Di kanan kirinya, padang rumput menghampar. Pengunjung yang datang berombongan suka bersantai di spot ini. Mereka menggelar karpet lalu melakukan acara keakraban atau makan-makan. Di sisi sebelah kanan, terdapat Pohon Baobab, tanaman endemik Afrika yang kalau sudah tumbuh besar, ukurannya raksasa. Tapi yang di kebun raya ukurannya masih kecil.
Di ujung jalan terdapat restoran Grand Garden. Restoran ini terletak di atas hamparan rumput hijau. Setelah puluhan kali ke kebun raya, baru kali ini akhirnya saya menjajal makan di restoran Grand Garden. Kami salah perhitungan. Di bulan Ramadhan, semua penjaja makanan di dalam kebun raya tutup. Kami pun tidak membawa bekal makanan apa pun. Jadilah kami terpaksa singgah ke restoran dan menyantap menu yang paling murah: gado-gado seharga 30 ribu.
Setelah perut kenyang, tenaga pun terkumpul. Kami kembali berjalan menyusuri jalanan aspal nan teduh. Sesekali kami memilih jalanan yang lebih kecil, yang menyempil di bawah kanopi hijau. Suasana tenang ini merasuk perlahan ke dalam batin. Terasa begitu teduh. Meluruhkan stres yang tertumpuk selama tinggal dalam keruwetan kota. Berdasarkan penelitian yang tercantum di jurnal Scientific Reports, katanya orang yang tinggal di perkotaan padat punya risiko terpapar stres yang lebih tinggi. Sedangkan mereka yang tinggal di dekat hutan, punya kecenderungan yang lebih rendah. Tumbuhan hijau dan alam adalah terapi alami untuk memberikan kesegaran kepada jiwa dan raga yang penat. Menyesap sejuknya udara, aroma pepohonan, dan sedapnya keteduhan adalah hal yang tersaji di Kebun Raya Bogor.
Menengok sejarah
Selain menikmati keteduhan alam, hal lain yang tersaji di Kebun Raya Bogor adalah lembaran sejarah yang tersimpan rapi. Di depan Istana Bogor yang sering disinggahi Bapak Presiden, terdapat sebuah tugu memorial yang didedikasikan untuk Prof. Caspar Georg Karl Reinwardt. Reinward adalah seorang ilmuwan botani dan kimia berkebangsaan Jerman. Ia kemudian pindah ke Belanda, kemudian mendapatkan jabatan seabgai menteri di bidang pertanian, seni, dan ilmu pengetahuan yang ditempatkan di Hindia Belanda.
Karena ia suka pada tanaman, ia berinisiatif untuk mengumpulkan banyak tanaman yang bisa digunakan sebagai bahan obat-obatan. Semua tanaman itu ia kumpulkan di kebun botani yang kemudian menjelma menjadi kebun raya. Ketika akhirnya Kebun Raya Bogor diresmikan oleh Gubernur Jendral Godert Alexnder Gerad Philip Van Der Capellen, Reiwardt menjadi direktur pertama Kebun Raya Bogor dari tahun 1817-1822.
Sekarang, usia Kebun Raya Bogor sudah lebih dari 200 tahun. Selama dua abad inilah kebun raya memberikan keteduhan di tengah Bogor yang kian padat. Kalau saja pohon-pohon di sini bisa bicara, mungkin mereka akan bertutur panjang lebar tentang bagaimana Bogor berubah muka. Sejak ia masih berada di bawah Kerajaan Sunda, berubah nama menjadi Buitenzorg, hingga menjadi kota satelit dan ‘kulkas’nya Jakarta di masa sekarang.
Berjalan sedikit ke sisi Istana Bogor, kami singgah ke Makam Belanda. Sekarang kompleks makam ini sudah direnovasi. Pagar di sekeliling makam sekarang telah dibongkar, selain untuk memberikan kesan luas, mungkin juga untuk memangkas aroma mistis. Di sekeliling makam tumbuh pohon-pohon bambu yang ukurannya cukup besar. Saya suka datang ke makam ini dan duduk di sebuah kursi taman. Suasananya teduh dan atmosfirnya seperti kembali pada masa kolonial.
Makam-makam Belanda ini unik. Jumlahnya ada 42 dan nisannya berbentuk aneka rupa. Ada yang berbentuk segitiga, membulat, juga obelisk. Nama-nama almarhum/almarhumah, serta kutipan-kutipan berbasa Belanda tertulis di sana. Jika Kebun Raya Bogor berdiri tahun 1817, salah satu makam di sini sudah ada sejak tahun 1784. Makam itu adalah tempat perhentian Cornelis Potmans, seorang administrator toko obat kebangsaan Belanda. Kala ia wafat, jenazahnya dikebumikan di sini.
Pada abad 18 dahulu, perjalanan antar wilayah bukanlah sesuatu yang mudah. Tidak ada pesawat. Tidak ada mobil. Yang ada hanyalah kapal laut, itu pun menggunakan layar angin. Jarak antara Hindia Belanda dengan daratan Eropa bisa ditempuh hingga 1 tahun perjalanan. Memulangkan jenazah orang Belanda ke Belanda tentu bukanlah pilihan. Dengan waktu perjalanan selama itu, jenazah tentu sudah rusak duluan sebelum dapat dikebumikan.
Makam termuda di kompleks itu adalah makam miliki Dr. A.J.G.H Kostermans. Ia adalah seorang ahli botani berkebangsaan Belanda namun sudah mengubah statusnya menjadi WNI. Saat meninggal di tahun 1994, ia meminta untuk dimakamkan di dalam Kebun Raya Bogor.
Selepas dari makam, kami berjalan ke arah pintu utama di depan Jalan Suryakancana. Sebelum pagar keluar, ada sebuah bangunan dengan atap membulat berwarna putih. Bangunan ini adalah monumen untuk Lady Olivia Raffles. Olivia adalah istri pertama Raffles yang wafat di Jawa karena sakit. Meski monumennya dibangun di dalam kebun raya, jenazahnya tidak dikebumikan di sini. Kuburan sebenarnya Lady Olivia terdapat di Taman Prasasti, Jakarta.
***
Selama saya bekerja di Jakarta, sepertinya Kebun Raya Bogor akan selalu masuk dalam destinasi tetirah. Ketika akhir pekan, atau harpitnas tiba, Kebun Raya Bogor adalah loka yang tepat untuk memulihkan kembali jiwa dan raga. Berjalan santai di bawah naungan kanopi hijaunya, menyesap aroma dedaunan, mendengar gemericik air dari Sungai Ciliwung, adalah terapi yang murah untuk memulihkan kembali semangat yang terkuras.
saya pernah juga sekeluara jalan2 ke kebun raya naik KA dari JKT. tapi tidak sampai menjelajah banyak di kebun raya-nya, anak2 sudah keburu capek .. hehe, kalau naik sepeda sih pernah, semuanya bisa saya jelajahin sampai ke sudut2nya 🙂
Bogor Kota menurutku belum sejuk bro, kalo siang sama-sama panas 😀 Harus naik lagi ke pelosok Bogor, seperti curug atau gunung-gunung kecil, baru terasa sejuk. Aku beberapa kali main ke Bogor sama temen-temen Jakarta, kami naik motor dan carter angkot.
Jadi masalahnya bukan punya atau nggak punya mobil, tapi punya komunitas yang tepat 🙂
Hahaha.
Iyes, tp buatku ke kebun raya bogor pun sudah menyenangkan kok.
Tujuan itu bonus 🙂
Itu kenapa orang-orang yang tinggal di pegunungan badannya sehat-sehat dan kuat. Kalo dalam event olahraga suka ada ungkapan Mens sana in corpore sano. Didalam badan yang kuat terdapat jiwa yang sehat. Nah, kalo ungkapan buat orang-orang yang tinggal dekat hutan dan pegunungan yang badan2nya kuat dan sehat, ungkapan yang paling tepatnya apa ya? 😄
Apa yaaa ungkapannya. Kalau dalam bahasa Latin, ku tak tahu hihihi
Tp iya sih. Alam itu memang menambah kesehatan orang. Seandainya di kota-kota besar banyak taman hijau-hijau, betapa menyenangkan dan sehatnya yak!