Akhirnya Saya Punya Tempat Tinggal Tetap di Jakarta

 

Tinggal di Jakarta itu susah-susah gampang. Kos-kosan bertebaran seperti kacang goreng, tapi cari yang kriuk, yang beneran nyaman itu susah.

Selama setahun lebih sebulan, saya tinggal di kos Ibu Sri yang jaraknya cuma sepuluh menit jalan kaki dari kantor. Biayanya 700 ribu sebulan. Buat ukuran Ibu kota, harga segini memang oke. Tapi kualitasnya… ya begitulah. Tiap malam isinya banyak nestapa. Meski sudah bayar, ibu kos tidak memberi kunci. Kalau saya pulang di atas jam sepuluh malam, pintu sudah dikunci duluan. Diketok-ketok kadang tidak dibuka, terdamparlah saya di teras sampai pagi. Lalu, kalau pulang bawa motor, parkiran penuh. Mau mandi, air di bak kosong. Waktu ngantuk dan ingin tidur, speaker si ibu muter lagu dangdut keras-keras. Dan, termutakhir, tamu tak diundang datang tanpa pemberitahuan! Saat hujan turun, dua ekor tikus got menyelinap masuk ke dalam kamar.

Oke fix. Saya harus pindah segera.

Tapi, meski alasan dan niatan untuk pindah sudah maksimal, eksekusinya sulit sekali. Setiap pulang kantor, saya keluyuran mencari rumah kos. Hasilnya tidak ada yang sreg. Ada kos yang bagus, harganya di atas satu setengah juta. Ada yang murah, tapi kondisi kamarnya sebelas dua belas sama kos bu Sri. Saya membatin, membanding-bandingkan memori di Jogja dulu dengan sekarang. “Seandainyaaa Jakarta bisa kayak di Jogja!”

Hingga akhirnya saya melewati penghujung 2017 dengan rasa sendu, terbayang akan setahun ke depan yang masih tidak pasti akan tinggal di mana.

2018 pun datang menyambut. Sepulang dari Lasem, Jawa Tengah, saya iseng main-main ke ruangan HRD. Ibu HRD ini adalah salah satu orang yang paling dekat di kantor. Sifatnya sangat keibuan. Kalau ada staf yang sakit, dialah yang panik duluan. Persis seperti ibu kandung meski tidak sedarah.

“Ci, anu, kalau kamar di bawah itu boleh diisi tiga orang gak sih ci?” Saya memanggilnya dengan “Ci”, kependekan dari kata “Cici”.

“Boleh sih. Tapi kasurnya itu cuma dua. Kalau diisi tiga ya sempit. Kasian yang tinggal. Liat sendiri kan waktu ada Pa Usep sempitnya kayak apa.”

Duh. Saya jadi bingung. Maksud kedatangan saya ke ruangan HRD hari itu adalah ingin mengajukan diri untuk tinggal di kantor. Di kantor yang terdiri dari sepuluh ruko ini di lantai bawahnya ada sebuah kamar. Ukurannya tidak besar-besar amat, tapi nyaman. Ada dua kasur spring bed, satu televisi, lemari nempel di dinding, dan AC! Di kamar itu dulunya tinggal 3 orang: Yusup, Tian, dan Pa Usep. Tapi Pa Usep sudah sebulan ini keluar kerja. Dia gak bisa tinggal jauh-jauh dari isterinya yang ada di Cikampek. Setiap minggu selalu kangen, jadi bulatlah tekadnya untuk pulang meninggalkan Jakarta.

“Memangnya kenapa, kok kamu nanya soal kamar bawah?” tanya cici HRD penasaran.

Meski agak takut mengutarakan niatan sebenarnya, saya coba bicara jujur.

Hehehe. Iya ci. Saya sedang kebingungan cari tempat tinggal. Kos yang sekarang sudah tidak kondusif untuk dilanjut. Saya kepikiran untuk tinggal di kantor saja.”

Sembari cerita tentang sekelumit kisah nestapa di kos Ibu Sri, saya tidak berani menghadap ke arah HRD. Takut. Lancang sekali rasanya, baru kerja setahun sudah berani minta ini-itu.

“Wah, ide bagus tuh! Boleh! Kebetulan kita memang lagi cari satu orang lagi untuk tinggal di kantor. Yang lebih dewasa supaya bisa bimbing Tian dan Yusup.”

Pucuk dicinta ulam tiba. Saya mengarahkan pandangan ke wajah cici HRD, dengan senyum mengembang. Kok bisa jawabannya secepat ini? Kemudian HRD itu bertutur lagi. Katanya, setelah Pa Usep keluar, dia bergumul mencari seorang yang bisa diminta untuk tinggal kantor. Yusup dan Tian itu sering bertengkar. Karakter mereka seperti minyak panas dan air, yang kalau bercampur jadi muncrat-muncrat, banyak ributnya. Bukan suatu kebetulan pula karena selama setahun ini saya akrab bergaul dengan mereka berdua. Pengalaman tinggal seatap empat tahun dengan 18 orang yang berbeda-beda membuat saya bisa fleksibel bergaul dengan orang lain. Dan pengalaman inilah yang rupanya membuat bisa jadi jembatan penengah di antara mereka berdua. Katanya, cici HRD sudah memperhatikan ini sejak dulu. Dia ingin saya tinggal di kantor, tapi nanti dulu. Katanya, dia ingin saya betah dulu di Jakarta supaya tidak terlalu sering keluyuran.

“Ya sudah. Kamu packing-packing aja. Januari akhir kamu pindah ke sini. Minggu depan saya beli ranjang tingkat, jadi kalian bisa sekamar bertiga gak sempit-sempitan!”

Puji Tuhan, saya bergumumam dalam hati. Januari 2018 diawali dengan kabar manis. Setelah setahun berkutat dengan kos penuh cobaan, akhirnya saya mendapat kepastian untuk lepas dari jerat pencobaan kos lama. Meski pada hari H pindah saya merasa sedikit sedih karena melepas kamar yang sudah ditiduri setahun, tapi ada rasa syukur dan sukacita yang tumbuh di lubuk hati.

Sampai cerita ini ditulis, sudah enam bulan saya tinggal di kantor. Dari matahari terbit sampai tenggelam, dari langit terang sampai gelap, kantor menjadi bukan sekadar tempat cari duit, tapi tempat mengabdi sekaligus tempat tinggal. Jadi penunggu kantor membuat saya belajar untuk merawat gedung ini selayaknya rumah sendiri. Saat langit mulai terang saya sudah bangkit dari kasur, mematikan lampu-lampu, membuka kunci-kunci, berlari-lari kecil di sekeliling kantor supaya nanti tua tidak sakit jantung. Atau, kalau rasa malas sedang ada di tingkat dewa, sehabis bangun saya memilih tidur lagi.

Kantor ini adalah rumah tinggal saya di Jakarta, dan sebagai balas jasa atas kebaikan direksi kantor, saya mengemban tanggung jawab untuk memastikan sarana prasarana di kantor ini berjalan lancar. Kalau orang ngekos mengantuk bisa langsung tidur, saya harus menunggui air pam ngocor sampai sumur penuh dulu. Kalau ada suara barang jatuh atau penampakan dan orang lain bisa sembunyi, saya harus keluar dari kamar, memasang mata dan mengamat-ngamati kalau-kalau itu setan beneran atau maling.

Awal-awal pindah semua rutinitas ini memang terasa sedikit membebani. Tapi, lama-lama saya jadi terbiasa. Itung-itung latihan, nanti kalau sudah menikah, dan Tuhan berikan rumah besar, saya tentu piawai mengurusinya.

Nostalgia kejadian enam bulan lalu itu mengingatkan saya kalau kehidupan itu selalu menyajikan tantangan. Tiap tantangan itu selalu punya formula untuk dihadapi. Dan, syukurnya karena Tuhan yang tak terlihat itu mengerti dan memberikan apa yang terbaik. Alih-alih diberi sepetak kamar kos harga jutaan, Ia malah memberi saya seruko kantor, untuk ditinggali sekaligus dijagai. Siang jadi staf, malam jadi penunggu.

Kantor tempat saya bekerja ini sudah amat baik. Jadi, inilah salah satu cara saya untuk berbalas budi kepadanya.

*Saya bekerja di sebuah organisasi non profit yang kantornya beroperasi secara mandiri tanpa bantuan tenaga outsourcing.

22 pemikiran pada “Akhirnya Saya Punya Tempat Tinggal Tetap di Jakarta

  1. Semoga betah yaa Mas tinggal di kantor. Suka sekali sama ceritamu itu.
    Tenang saja, Tuhan tidak tidur. Kamu pasti akan mendapat tempat tinggal yang layak setelah kamu sukses nanti.
    Semua akan indah pada waktunya*

  2. wah “ngekos” dikantor, jadi bisa dikatakan tidak ada kata pergi atau pulang kerja .. hehe. Bisa jadi pegalaman yang seru. Jadi inget .. dulu ngekost di jakarta, beberapa kali pindah tempat dengan berbagai cerita. Memang untuk yang bisa dikatakan nyaman harganya di ayas 1,5 juta, susah banget cari yang dibawah itu tapi serba oke.

  3. wah beruntung banget bisa tinggal di kantor…hemat biaya transport juga hehehe. Begitulah hidup di Jakarta kalo kosan yang murah kondisinya memprihatinkan, yang bagus mahal bener hehehe…aku udah 10 tahun ngekos di Jakarta karena ga sanggup tinggal jauh2 😀

    1. Wah! 10 tahun, itu lama banget mbak. Aku ndak yakin bertahan smpe selama itu apa ndak hihihi.

      Tp iya sih ya mbak, ngekos itu pilihan yg oke. Ndak kebayang kalau kerja tapi rumahnya dari Bogor, tiap hari untel-untelan di atas KRL. Lelah.

  4. Kok kosanmu gitu banget, Ry?

    Aku pernah kost di Tebet sama Ancol. Dua-duanya memang kurang sirkulasi udara dan cahaya alami hahaha, tapi soal air amanlah. Duaduanya juga ada di lantai 2, jadi bebas banjir atau “tamu tak diundang” lainnya. Aku juga pengen tinggal di kantor, tapi kayaknya kudu beli kasur sendiri hahaha.

    1. Hahahaha iyaa mas Teguh.
      Sebulan dua bulan aku belajar memaklumi tinggal di situ. Tapi, lama-lama capek juga. Cuma aku memang berniat bertahan setahun di situ, itung-itung latihan mental supaya kuat di Jakarta.

        1. Hmmm…iya sih mas. Secara statistik resmi, katanya penduduk Jkt ada 13 juta. Tp itu baru KTP DKI, belom termasuk orang-orang KTP luar seperti saya yang numpang hidup di Jkt hehehe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s