Namanya Lik Par. Usianya di atas 60 tahun, tapi penampakannya bugar. Selepas jam 12 malam, ia mendorong sebuah gerobak angkringan menyusuri Jalan Sugeng Jeroni. Di sisi barat jembatan, ia berhenti. Gerobak itu ia tata hingga menjadi angkringan yang siap menyambut tiap pengunjungnya.
Perjumpaan saya dengan Lik Par terjadi delapan tahun lalu. Waktu itu saya masih kelas dua SMA. Saat anak-anak kelas 12 mengikuti Ujian Nasional, siswa lain diliburkan. Kesempatan libur itu saya gunakan untuk backpackingan pertama kali dan tujuannya yaitu Yogyakarta. Kebetulan, di daerah Bugisan, saya mengenal Joshua. Ia dulunya satu SMP dengan saya di Bandung, tapi pindah ke Yogya pada tahun 2009 untuk sekolah musik. Ialah yang mengenalkan saya dengan Lik Par pertama kali.
Waktu itu hari sudah lewat tengah malam. Saya dan Joshua pulang ke kos di Bugisan dengan berjalan kaki dari Malioboro. Saat melintasi Jalan Sugeng Jeroni, kami melihat sebuah angkringan temaram yang terletak di barat jembatan. Di bawah jembatan itu, Sungai Winongo mengalir. Aliran airnya bergemericik memecah kesunyian malam. Angkringan itu tampak memikat. Tenda luarnya berwarna oranye. Sebakul gorengan dan nasi kucing yang tersaji di sana tampak lezat. Kami pun singgah ke situ dan mengudap beberapa bungkus nasi.
Seorang bapak yang adalah pemilik angkringan itu melayani kami dengan ramah. Sebagai anak SMA yang baru pertama mencoba keluyuran jauh, saya belum terbiasa mengobrol dengan orang baru. Pun saya tidak bertanya siapa nama bapak itu walau belakangan akhirnya saya tahu kalau ia kerap dipanggil Lik Par. Sambil kami menyantap nasi, Lik Par banyak bertanya tentang kami. Kadang, ia pun menceritakan guyonan-guyonan kepada kami. Saat pengunjung angkringan itu cuma tinggal kami, ia menghidupkan radio tuanya.
“Sugeng enjang sedherek sedhoyo…,“ suara dari seberang radio. Lik Par suka mendengar lagu dari stasiun Radio Retjo Buntung, yang kalau malam menyiarkan lagu-lagu berbahasa Jawa lengkap dengan penyiarnya yang bertutur dalam bahasa Krama.
Sejak saat itu, saya jatuh cinta pada Yogya, terkhusus angkringan Lik Par. Itu tahun 2010 bulan Maret. Bulan Agustusnya, saya kembali lagi ke Yogya. Alasannya satu: ingin mencicip suasana tenang makan di angkringan. Dua tahun setelahnya, saya memutuskan untuk hijrah ke Yogyakarta dari Bandung setamat SMA. Dan, selama empat tahun kuliah di Yogya, memori demi memori terus terajut, membuat saya tak pernah ikhlas untuk melepas kota ini seutuhnya.
Bertemu Lik Par di tahun 2018
Kamis, 24 Mei 2018. Saya mengajukan izin untuk meninggalkan kantor tiga jam lebih cepat dari jadwal biasanya. Tiga jam yang terambil itu akan saya tebus di hari kerja lainnya. Jam setengah tiga siang, saya bergegas menuju Gambir. Kereta api Bima akan membawa saya ke Yogyakarta berangkat pada pukul 16:30.
Kalau ditotal, sejak meninggalkan kantor di pukul 14:30, sepuluh jam kemudian saya tiba di Yogyakarta. Belum sempat mandi, saya masih mengenakan atribut kantoran lengkap. Kemeja batik dan name-tag masih menggantung. Di Stasiun Tugu, Tegar sudah menanti saya dengan motor Jupiternya. Kami tidak langsung pulang untuk beristirahat.
“Gar, angkringan sik yo. Wes kebelet,” kata saya sembari menepuk pundak Tegar.
Tak sampai 15 menit, kami tiba di Angkringan Lik Par. Angkringan ini tetap seperti dulu. Hadir di tengah keheningan malam kota Yogya. Ada empat pemuda yang sedang bersantap di angkringan, mereka duduk lesehan menggelar tikar.
“Monggo,” sapa Lik Par.
“Nggih pak, nyuwun teh panas kalih nggih pak,” saya menjawabnya dengan memesan dua gelas teh panas lalu duduk di depan ceret panas dan aneka gorengan.
Lik Par belum lupa. Segera setelah saya dan Tegar melepas jaket dan masker, ia sadar bahwa kami adalah salah satu pelanggan setianya.
“Loh, sudah lama nggak ke sini. Habis dari mana?”
“Dari Jakarta lik. Ini baru sampe. Dari Tugu langsung ke sini. Kangen.”
Lik Par tertawa. “Susah toh lepas dari Jogja?” ia bertanya sembari tangannya mengaduk gula dalam dua gelas teh.
Saya mengamini ucapan Lik Par. Memang sulit untuk lepas dari segala memori tentang Jogja. Dulu, saya sempat menganggap quote-quote yang bicara tentang romansa Jogja itu lebay. Tinggal di kota lain juga menyenangkan kok, pikir saya kala itu. Tapi, setelah merasakan sendiri hidup di Yogya, barulah saya sadar bahwa apa yang diungkapkan orang tentang kota ini bukan sekadar luapan emosi tak berdasar. Ada sederet pengalaman dan kisah manis yang pernah terajut antara kota ini dengan tiap perantau yang singgah kepadanya. Melupakan kota ini rasanya adalah kemustahilan buat saya.
Segelas teh panas dan gorengan yang tersaji di angkringan Lik Par sejatinya tidaklah berbeda dengan yang ada di tempat lain. Namun, di tempat Lik Par, kudapan ini terasa begitu nikmat. Rasanya boleh sederhana, tapi nuansanyalah yang membuat kudapan ini kaya makna. Nikmat di mulut, nyaman di hati. Untuk segelas teh panas, Lik Par membanderol harga 2500; sebuah gorengan harganya 500; sebungkus nasi kucing harganya 2500.
Tidak terasa jam sahur sudah tiba. Saya dan Tegar undur diri dari angkringan Lik Par. Semoga kunjungan ini bukanlah yang terakhir di tahun 2018. Matur nuwun, Lik Par!
K
Pertama kali baca tulisan ini, langsung kangen Jogja huhuhu. Kangen jalan sepanjang malioboro trus makan nasi kucing sambil nyender lesehan. Jogja mmg selalu memanggil kita untuk dtg lagi kayaknya..
Halo Mbak Melan.
Betul Mbak. Rasa-rasanya, mereka yang memang pernah datang dan mengecap manisnya Jogja, tidak akan pernah lupa akan kota ini. :))
Jadi, Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan itu benar adanya hehehhe
ketika membaca artikel ini, pikiran saya langsung diisi lagu Yogyakarta Katon KLA Project 😀
Ketika baca komentar ini, sy lgsg pgen pulang lg k Jogja 😂
aku juga kuliah di jogja mas dulu 2001 – 2006 : angkringan jogja emang paling juara, skrg aku di magelang, angkringannya juga layak dicoba loh, sini main ke borobudur magelang ms
:(((
Aku blm pernah ngangkring di Magelang mas. Pernahnya cari jajanan di alun-alun tok, lalu bablas Temanggung.
Magelangu di mananya mas?
aku dekat candi borobudur