Berkemah di Tepian Laut Selatan

Jam sudah menunjukkan pukul dua siang ketika Tegar memacu sepeda motornya ke sebelah tenggara provinsi D.I. Yogyakarta. Saya tidak bisa mengendarai motor berkopling, jadi Tegarlah yang mengemudi di depan dan saya duduk manis di belakang sembari bokong terasa kaku. Kalau dihitung di peta, perjalanan kami siang itu berjarak sekitar 80 kilometer dari pusat kota dan memakan waktu tempuh tiga jam.

Tujuan kami hari itu adalah Pantai Wedi Ombo, yang terletak di Kecamatan Jepitu, Kabupaten Gunungkidul. Seminggu sebelumnya, ide pertama kami adalah pergi ke Pacitan. Tapi, Pacitan terlalu jauh. Jaraknya sekitar 120 kilometer dari Yogya, dan motornya Tegar kurang fit untuk perjalanan sejauh itu. Kalau dibawa ngebut, motor terasa oleng. Daripada kenapa-napa, kami memilih destinasi yang lebih dekat.

“Kupikir-pikir, camping wae lah bro di pantai Gunungkidul. Lebih dekat. Bisa ajak yang lain juga,” kata Tegar.

Saya mengangguk. Berkemah di tepi laut belum pernah saya lakukan. Dan, kalau ini dilakukan bersama teman-teman, pasti jadi momen yang mengasyikkan. Sampai H-2 jam keberangkatan, tiga orang (termasuk saya dan Tegar) sepakat untuk berangkat. Saat jam berangkat tiba, satu orang mengundurkan diri. Tiba-tiba ia dan pacarnya terlibat konflik katanya. Ya sudah, meski cuma berdua, dan sama-sama cowok, kami pun tetap berangkat.

Tetirah Batin di Pantai Wedi Ombo

Sejak kuliah dulu, gugusan pantai di Gunungkidul memang selalu memikat hati. Saat ada acara keakraban antar mahasiswa, pilihan tempatnya kalau tidak di Kaliurang, ya ke Gunungkidul. Pantai-pantai di sini ciamik. Airnya jernih, pasirnya putih, ombaknya bergemuruh, dan tidak sepadat Parangtritis. Tapi, kalau lebaran ya sama saja sih padatnya.

Dari puluhan pantai yang ada di Gunungkidul, kami memilih Pantai Wediombo. Pantai ini sudah pernah tiga kali saya kunjungi dan tidak ada rasa bosan menyambanginya. Akses Wediombo lebih jauh daripada ke Pantai Baron ataupun Siung, jadi tidak terlalu banyak orang datang ke sini. Selain itu garis pantainya pun lumayan panjang dan banyak pohon di tepiannya. Sebelum main air, saya bisa tidur-tidur santai dulu.

Saya dan Tegar tiba di Wediombo jam empat lebih sedikit. Dari parkiran, suara deburan ombak sudah terdengar jelas. Aroma lautannya pun langsung tercium di hidung. Kami membayar biaya retribusi sebesar 5 ribu untuk Pemda, dan 5 ribu untuk parkir yang dibayarkan kepada warga lokal.

Dari parkiran sudah tersedia tangga hingga ke bibir pantai, lengkap dengan pegangan di sisinya. Meski Minggu kemarin adalah hari kejepit karena Selasanya tanggal merah, Pantai Wediombo sepi. Dari puluhan warung yang biasanya buka, hanya dua saja yang beroperasi hari itu. Segelintir wisatawan lokal bermain air dan foto-foto, sementara sepasang bule menggelar handuk dan tidur di atasnya.

“Piye mau pasang tenda di belah mana?” saya bertanya ke Tegar, si pendaki gunung dan ahli pertendaan yang baru pertama kali akan berkemah di pantai.

“Ojo di sini. Cari yang sepi, di pojokan sana wae.”

Kami berjalan menyusuri bukit kecil yang ada di pinggir pantai mencari-cari spot terbaik untuk mendirikan tenda. Kami tidak berniat mendirikan tenda di pasir. Agak riskan, kalau-kalau nanti malam ombak pasang tinggi, kami bisa hanyut bersama tenda-tendanya dan nanti nama kami terpampang di koran lokal. Tiga ratusan meter berjalan, ada sebuah lahan datar yang cukup luas. Lahan itu dipenuhi rumput hijau dan di belakangnya tumbuh pohon-pohon singkong yang ditanam warga. Kurang dari semenit berdiskusi, kami sepakat untuk mendirikan tenda di sini.

Tegar melepaskan ranselnya dan membuka kantong tenda. Sejenak ia membayangkan rupa tenda kalau sudah berdiri, kemudian meminta saya menyiapkan rusuk-rusuk tenda.

“Ini yang panjang di sini. Yang pendek di sini,” katanya sembari membongkar pasak.

Saya mengikuti instruksinya dan tenda gagal berdiri. Saya salah memasukkan rusuk. Seharusnya yang panjang, malah yang pendek. Kami pun membongkar kembali rusuk-rusuk tersebut dan mengulang proses pendirian tenda dari nol. Jeng..jeng, tenda selesai berdiri. Pasak ditanam kuat-kuat dalam tanah. Tali tudung tenda kami ikatkan ke pohon singkong dan batu, supaya kalau nanti malam hujan badai turun, tenda kami tidak terhempas.

Dari posisi tenda berdiri, pemandangan yang tersaji di depan kami adalah Samudera Hindia. Lautan nan luas yang konon katanya kalau berenang terus-terusan akan tiba di Australia. Ada empat lapis ombak yang bergulung-gulung. Saat masih berbentuk gelombang, ombak itu berwarna hijau. Makin mendekati bibir pantai, ia makin meninggi dan besar. Lalu, byuuurrrr, air hijau itu berganti menjadi buih putih, merangsek masuk ke gugusan karang-karang.

Cakrawala makin meredup. Sinar matahari sudah tertutup dari balik bukit. Bintang dan bulan belum terlihat wujudnya. Awan mendung menggelayut. Di momen inilah saya merasakan ketenangan yang sungguh meneduhkan batin. Senja adalah masa transisi, dari terang menuju gelap. Masa di mana langit tampak indah dan meneduhkan. Tapi, selama hampir dua tahun di Jakarta, tidak ada nuansa senja yang tenang dan indah. Polusi, kemacetan, dan stres telah menguapkan kesyahduan senja. Senja tak lagi terlihat indah, ia hanya jadi sekadar masa dalam hidup yang dimaknai sebagai sudah waktunya pulang kerja dan besok kerja lagi.

Syukur kepada Sang Pencipta atas kesempatan tetirah ke Pantai Wedi Ombo yang menyajikan nuansa senja yang syahdu.

Camping untuk merayakan persahabatan

Sampai hari ini, kalau berkunjung ke Pantai Wedi Ombo, tidak akan ada sinyal. Provider mana pun sepertinya enggan menancapkan tower BTS di sini. Saya pikir baguslah, supaya tiap-tiap orang yang datang ke sini akhirnya tidak sibuk dengan ponselnya sendiri. Alam yang indah lebih baik dinikmati seutuhnya tanpa distraksi dari dunia maya.

Kala langit telah gelap sepenuhnya, kami meringkuk di dalam tenda. Perut masih agak kenyang, kami baru mau makan malam nanti jelang jam sembilan saja. Di dalam tenda, saya membawa ransum yang berupa empat bungkus makanan ringan, sebungkus kerupuk rambak yang saya beli di warung, dan tiga liter air minum. Sembari ngemil, kami berdiskusi tentang nostalgia masa lalu.

Saya dan Tegar pertama kali bertemu enam tahun lalu. Waktu itu kami sama-sama mahasiswa baru angkatan 2012 di fakultas ISIP,  tidak saling kenal. Setelah tiga bulan perkuliahan berlangsung, kami sama-sama masuk ke suatu organisasi dan lama-lama setelahnya menjadi akrab. Waktu terus bergulir. Di tahun 2016 saya pamit duluan mendahuluinya. Saya lulus dan hijrah ke Jakarta, sementara ia tetap Yogyakarta.

Di usia kami yang menjelang seperempat abad, kami mengamini bahwa kehidupan pertemanan kami tidak lagi seperti dulu. Teman-teman yang dulu akrab ke mana-mana, sekarang mulai berguguran. Ada yang sudah kerja, ada yang sudah menikah, ada pula yang menghilang tak tahu rimbanya. Secara kuantitas, pertemanan itu menyusut. Tapi, secara kualitas, pertemanan itu meningkat. Sewaktu kuliah dulu, saya dan Tegar punya dunianya masing-masing. Kami jarang bertemu, makan bareng, apalagi camping seperti ini. Camping pertama itu tahun 2013. Setelah lima tahun, barulah camping kedua bisa terwujud.

Camping di Pantai Wedi Ombo hari itu adalah cara kami untuk merayakan persahabatan. Enam tahun bersahabat mungkin belum terlalu lama, tapi jangka waktu tidak melulu jadi indikator kuatnya persahabatan. Kadang kami suka mengeluh kalau tidak ada waktu, tapi setelah dipikir-pikir, kalau memang tidak ada waktu, kenapa tidak menciptakan waktu? Menciptakan waktu jeda untuk pergi sejenak, keluar dari rutinitas, berdiskusi santai, dan menikmati alam adalah retret eksklusif untuk menambah kapasitas semangat dan mempererat relasi antar manusia.

***

Perjalanan kami menikmati kesyahduan Laut Selatan hanya kurang dari 24 jam. Senin pagi jam sembilan, kami berkemas. Tenda yang mengembang, menjadi kempis. Sampah-sampah dikemas dalam satu plastik besar. Ransel-ransel kembali mengembang diisi oleh setumpuk baju dan celana kotor basah penuh pasir.

Ada rasa tidak ikhlas ketika saya berjalan membelakangi laut, terbayang akan sederet rutinitas dan keruwetan Ibukota. Tapi, itulah samudera sejatinya yang mesti saya arungi. Terima kasih Pantai Wedi Ombo, Laut Selatan. Kiranya kita segera berjumpa lagi!

9 pemikiran pada “Berkemah di Tepian Laut Selatan

    1. Iya mbak.
      Wedi Ombo aman untuk camping. Di pinggir pantai ada gundukan tanah lapang yang isinya kebun singkong. Jadi kalau dirikan tenda di situ aman dan pas.

      Sebenarnya ada satu spot yang bagus, viewnya lgsg ke samudera. Tapi, rawan jebol tendanya karena langsung kena angin hehehe

  1. duh jadi inget dulu pernah tidur di pinggir pantai parangtritis, nggak pakai tenda, jadi tidur langsung menghadap langit yang cerah penuh bintang

    1. Iyes. Walau hari libur, Wedi Ombo biasanya tidak seramai Indrayanti, dan pantai lainnya yang posisinya lebih ke barat.

      Spotnya tenang, pantainya luas walau berkarang. Nyaman untuk istirahat 🙂

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s