Klaten, mungkin namanya tidak setenar Yogyakarta dan Surakarta sebagai destinasi wisata. Namun, Klaten tengah berbenah diri. Potensi alamnya digali, masyarakatnya diberdayakan, dan berkah pariwisata pun berdatangan.
Sewaktu tinggal hampir lima tahun di Yogya, saya belum pernah benar-benar menjelajahi Klaten. Kota ini hanya sekadar dilintasi jika hendak ke Surakarta atau Salatiga. Barulah dua tahun setelah lulus kuliah, saya kembali singgah dan tidak sekadar lewat. Kali ini Klaten benar-benar jadi tujuan utama. Dari Jakarta, saya menempuh sembilan jam perjalanan menuju Yogyakarta, dilanjut dengan motoran dua jam, sampai akhirnya tiba di tujuan yang membuat bokong bisa bernapas lega.
Klaten punya banyak destinasi andalan, tapi pilihan saya jatuh ke Umbul Cokro. Setelah sebelumnya berkunjung dua kali ke sana, saya jatuh hati. Ada sungai pendek yang airnya jernih, kedalamannya pun cuma sedada orang dewasa. Jadi bisa bermain air tanpa takut tenggelam. Tapi sayang, hari itu Umbul Cokro terlalu padat untuk dikunjungi. Mobil dan motor diparkir hingga meluber ke pinggiran jalan. Dari luar, dentuman speaker konser dangdut terdengar jelas.
“Ah, gak asyik kalau rame begini. Pindah aja ya ke tempat lain?” tanya Tegar.
Kami menepikan motor di bawah pohon rindang dan saya membuka Google Maps, mencari-cari destinasi alternatif yang lokasinya dekat.
“Mau ke mana? Dekat sini ada Umbul Ponggok, Manten, dan Sigedang. Yang paling dekat sih Sigedang. Ke yang paling dekat, gimana?”
Tidak sulit mencapai kesepakatan dengan Tegar dan Kris yang menjadi kawan jelajah kali ini. Cuaca panas terik, mereka pun setuju dengan opsi umbul yang paling dekat. Kata Google Maps, jarak ke Umbul Sigedang cuma satu kilometer. Meluncurlah kami ke tujuan dengan saya memimpin di depan.
Tak seperti Umbul Cokro yang berada di tepi jalan besar, Umbul Sigedang lokasinya berada di tengah kampung. Jalan masuknya tidak muat untuk bus, hanya bisa dilalui sepeda motor dan mobil. Kami memarkirkan kendaraan di rumah warga dan membayar retribusi parkir dua ribu rupiah. Dari parkiran, Umbul Sigedang sudah terlihat jelas. Lokasinya ada di bawah pemukiman warga. Sebuah jalan menurun mengantar kami sampai ke bibir umbul. Selain parkir, ada retribusi masuk yang wajib dibayar seharga 3 ribu rupiah per orang.

Umbul adalah kosa kata bahasa Jawa yang artinya mata air, sedangkan Sigedang adalah nama dari desa tempat umbul berada. Umbul Sigedang terlihat seperti sebuah lubang besar yang diisi ribuan liter air galon. Tampak jernih dan menggoda. Kalau dilihat dari atas, warna airnya hijau kebiru-biruan. Sementara orang-orang asyik bermain air, ikan-ikan berenang tanpa terusik. Secara ukuran, Umbul Sigedang tidak besar, jadi jumlah pengunjungnya tidak sebanyak di Umbul Ponggok atau Cokro.
Di bibir umbul, para pedagang menggelar tikar yang bisa disewa oleh pengunjung.
“Sewa tikerne pinten, mbak?” saya bertanya dulu sebelum merebahkan badan dan barang-barang bawaan di tikar.
“5 ribu mas. Tapi kalau masnya jajan di tempat saya, tikernya gratis.”
Gratis. Kata ini sakti. Saya, Tegar, dan Kris sepakat untuk duduk di tikar milik si mbak berkerudung biru itu. Sebakul gorengan kemudian datang menyambut kami. Harganya lima ribu rupiah. Isinya ada tahu, tempe, cireng juga bayam yang dibalut tepung dan digoreng. Buat saya yang tinggal di Jakarta, harga persewaan tikar dan jajanan yang ditawarkan ini sangat terjangkau. Inilah yang paling saya sukai jika berkunjung ke destinasi wisata di kawasan Yogya dan Jateng. Dengan fasilitas dan pelayanan yang warga bangun dan kelola sendiri, mereka menorehkan kesan hospitality yang hangat yang kemudian menjadi semacam promosi tersendiri.
Sebelum nama Umbul Sigedang ikut melejit, ada Umbul Ponggok yang terkenal lebih dulu. Aparat dan warga desa mengubah Umbul Ponggok yang dulunya kolam pemandian tua menjadi objek wisata yang menyedot banyak kunjungan wisatawan. Mereka membenahi pemandian itu dengan mengelola kebersihan, menambah fasilitas, dan menangkap peluang tren swafoto sebagai pemikat wisatawan. Di bawah air, mereka menciptakan objek-objek unik seperti sofa, sepeda motor, laptop, dan lainnya untuk berswafoto ria.
Bermula dari kreativitas itu, sekarang warga desa Ponggok menuai berkah. Selain nama desa mereka yang jadi terkenal, pundi-pundi pun berdatangan. Dari persewaan kamera, alat selam, rumah makan, mereka mendapatkan pemasukan tambahan. Pada tahun 2016 lalu, pendapatan desa dari Umbul Ponggok meningkat drastis. Dari yang dulunya hanya 5 juta per tahun, melejit jadi 6,5 milyar! Berkah kesuksesan Umbul Ponggok pun menular ke umbul-umbul lainnya. Pengunjung yang awalnya tidak terpikirkan untuk menjelajahi Klaten jadi datang. Dan, ketika mereka puas dengan kunjungannya, mereka mungkin akan datang lagi di kemudian hari, atau bisa juga menceritakan kesan pengalamannya kepada orang lain.
Tegar membuka kaosnya dan terjun ke air lebih dulu, sementara saya dan Kris masih asyik berbincang sambil menyantap kudapan. Selain sebagai objek wisata, Umbul Sigedang rupanya memiliki peranan lain. Sebuah perusahaan merek air minum kemasan ternama mengambil airnya dari tempat ini. Pabrik pengolahan dibangun dekat dengan sumber air dan dikelilingi pagar. Saya penasaran ingin melihat area pabriknya, tapi tidak semua orang bisa masuk. Ya sudah, saya dan Kris akhirnya mengikuti jejak Tegar.
Byuuurr. Sensasi dingin segera menjalar di sekujur tubuh. Kalau kami berdiam diri, gigi jadi bergemeretak dan badan menggigil. Saya menyelam, mencoba mempraktikkan berbagai gaya renang yang pernah dipelajari saat SMP dulu. Hasilnya nihil. Air masuk ke hidung dan akhirnya saya menyewa ban saja, mengambang santai sembari kaki bergerak-gerak.
Kalau ada kata-kata yang bisa menggambarkan perasaan saat itu, saya memilih kata nyaman. Memang dingin dan bikin tubuh menggigil, tapi sensasi segarnya air di Umbul Sigedang ini membuat stres dalam kepala seolah lenyap. Alam membaptis saya dengan kemurniannya. Di Jakarta, tak ada pemandian alami sejernih ini yang mana saya bisa nyebur langsung ke dalamnya. Kota yang terlalu padat tak lagi menyisakan ruang untuk alam mengeksiskan diri. Sungguh bersyukur bisa mendapat kesempatan untuk singgah sejenak ke Umbul Sigedang.
airnya bening banget mas, seger banget liatnya.
btw itu sewa tiker murah ya cuma 5rb, eh pas dibilang gratis langsung deh haha
jajan plus dapet gratis sewa tiker.
salam,
ceritaliana.com
Betul mbaakk. Andai kali ciliwung di jakarta kayak begini, tiap hari saya nyemplung dan liburan hahaha
Waouw .. rimbun bener akar pohon beringinnya ya, pertanda subur banget tanah disana.
Menurutku, tampilan akar pohon beringin ngga bikin takut,tapi malah bikin foto terlihat fotogenik.
Iyap mas. Bikin ciamik. Tp kalau ke sana malam-malam mgkin beda ya haha
di Klaten banyak umbul ya … saya hanya pernah main ke umbul ponggok .. rame bangettt dan dinginnn .. hehe
Ntttuuuullll.
Ponggok itu berasa bunaken kang. Tp kalau Ponggok kudu nyebur dan nyelem dulu baru bisa rasain bagusnya. Kalau dari atas kelihatannya biasa aja
Sejak lama sudah mendengar tentang umbul-umbul di Klaten yang menggoda iman untuk berenang dan nyelam-nyelam kecil. Cuma belakangan saya amati kalau umbul-umbul tersebut jadi makin padat, dan ramai. Tapi kisah tentang Umbul Sigedang ini bisa jadi pilihan, seandainya pengen nyobain salah satu umbul di Klaten ini.
Iya mas. Jernihnya memang bikin yang datang berasa jadi anak kecil, ingin nyebur.
Seandainya makin padat, sangat berharap manajemen pariwisatanya bisa terkelola baik. Turisnya pun bertanggung jawab, supaya keindahannya tetap terjaga :))
Kalau ke Jogja Solo, sempetin mlipir Klaten mas 😀
Insya Allah, ini memang lagi rencana pengen main lagi ke Solo, trus mlipir-mlipir ke Klaten buat nyobain beberapa umbulnya 🙂
Jernih bangettt…
Di Blitar ada pemandian semacam ini, tapi saya lupa namanya. Sama dibwah pohon gede macam itu, tapi lebih kecil.kecil malah…
Hemm nyaman , bener kata mas kalau lihat pemndangan macam itu
Waa, ada juga di Blitar mbak?
Ayuk ditulis di blogmu mbak hehehe
Oke mas insyallah, soalnya belum pernah ke sana. Aku agendain deh wkwkwkw
Airnya jernih bangeeettt. Aku yang baca ini di siang hari pun langsung pengen ke situ sekarang juga, hahaha.
Aku sama kayak Tegar. Lebih suka main air dulu, baru makan. Biar perutnya nggak keliatan buncit pas difoto, wahahahaha.
Wisssss….Airnya jenih broooo…..ada ikannya nggak mas?
Ada mas, ikannya kelihatan jelas dan banyak
Waaaah….boleh ditangkepin nggak yah mas? Tapi bagusnya biarin aja deh, hitung2 sebagai peletarian ikan lokal heheee
Ada perusahaan yang memanfaatkan umbul Sigedang? Apa tak disekat atau dipisah-pisah begitu jadinya? Soalnya di Malang ada sumber semacam umbul ini, dulu masih alami, tetapi sejak didatangi perusahaan air minum jadi terpisah mana yang sekarang untuk wisata dan mana yang dijadikan untuk perusahaan.
Ada mas, kalau masnya ke minimarket dan beli merek A*ua, salah satu sumber mata airnya diambil dari sini.
Aku coba kroscek mencari tahu bagaimana penerimaan masyarakat dan kontibusi perusahaan ini, tapi tidak banyak sumber. Mungkin perlu liputan dengan wawancara hehe
Haha, sama berarti vendor brandnya.
Tempatnya cantik😎
Gagal fokus ke foto pohon beringinnya. Kirain itu ada orang lagi ngadep belakang sambil menyilangkan tangan ke belakang, taunya akar itu ya? 🙎
Iya mbak, akarnya memang sekilas kayak orang hehehee
Klaten nih juaranya tempat mandi2 🙂
Iya mas. Seger, jernih, dan gak bkin kantong kering kerontang
wow airnya jernih banget mas
Iyo mas, kan air A*ua juga diambil dari sini hihi