Ketika masih kecil dulu, aku selalu mengomel setiap kali Mama mengoleskan minyak kayu putih di perutku sehabis mandi. Aku risih. Aroma kayu putih itu menyengat. Setelah dioleskan, terasa membakar di kulit, walau tentu tidak sepanas balsem otot. Berkali-kali aku mencoba menghindar, tapi Mama tidak menyerah. Minyak menyebalkan itu tetap ia oleskan. “Biar gak masuk angin,” katanya ketus.
Sekarang, menjelang usia 24 tahun, apa yang dulu kuhindari malah jadi sesuatu yang sering kulakukan. Ceritanya bermula dari suatu pengalaman sakit. Kata dokter, aku terkena nasofaringitis (semacam radang tenggorokan) dan masalah pencernaan.
“Makannya dijaga. Juga jangan begadang. Terus, asam lambung kamu itu naik. Kamu sering kembung kan?”
Aku mengangguk karena belakangan ini memang perut terasa penuh. Seperti ada angin di dalam tapi sulit keluar. “Habis makan jangan langsung tidur,” tambah dokter itu seraya tangannya cekatan menuliskan selembar resep.
Aku mengikuti saran darinya. Selama seminggu, makanan dingin dan panas dicoret dari santapan rutin. Setiap hari maksimal makan malam jam enam, supaya ada jeda waktu tiga jam sebelum nanti tidur. Berangsur-angsur sakit tenggorokanku mulai hilang. Tapi, kembung di perut masih bercokol. Rasanya perut ini seperti balon yang isinya cuma angin. Sebenarnya jika aku niat datang ke apotek, tentu ada obat untuk mengatasi kembung. Cuma, aku tidak ingin menenggak terlalu banyak jenis obat. Hingga akhirnya aku teringat akan resep sederhana Mama dulu yang selalu membuatku mengomel: minyak kayu putih biar gak masuk angin.
Pergilah aku ke minimarket di depan kantor, membeli sebotol kayu putih. Ukurannya mungil, bisa diletakkan di kantong celana. Ujung botolnya roll-on, jadi tinggal oles saja ke kulit. Tiga sampai lima olesan di perut, aromanya tercium menyengat di hidung. Panasnya mulai terasa di kulit. Beberapa menit berselang, angin di dalam perut bergolak dan whusssss sedikit-sedikit ia keluar melalui kentut. Lumayan lega. Sejak saat itu, sebotol mungil kayu putih tak pernah tertinggal dari saku celanaku. Ke mana pun aku pergi; naik kereta, naik bus, duduk di kantor, atau tidur di kasur, sebotol kayu putih itu selalu menemani. Hidung jadi terbiasa dengan aromanya, dan panas di perut pun tak lagi terasa mengganggu.
Nostalgia akan masa di mana aku menghindari kayu putih itu membuatku tersenyum. Pengalaman sendiri memang selalu menjadi guru yang paling ampuh. Mau tidak mau pasti dituruti. Omelan orang segalak apa pun kadang tak sanggup membuat orang menurut. Kalau-kalau menurut, itu pun karena didasari rasa takut, bukan kesadaran, apalagi kerinduan.
Waktu kecil dulu aku selalu mengomel kalau disuruh tidur siang. Marah kalau disuruh mandi sore. Kesal kalau diminta makan sayur. Menghindar kalau diolesi kayu putih. Yang otakku ketahui waktu itu adalah: mamaku jahat karena ia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendakku. Namun, waktu akhirnya menjawab. Omelannya yang dulu terasa menyebalkan sekarang menjadi nostalgi yang menggelikan. Saat pekerjaan menguras energi dan tidur siang menjadi mustahil, saat mandi sore tidak bisa dilakukan karena masih berkutat di kantor, saat memakan sayur baru karena sesudah divonis sakit, saat mengoleskan kayu putih karena perut sudah dipenuhi angin, di sinilah akhirnya aku menyadari bahwa omelan-omelan memekakkan telinga dulu itu ada benarnya juga. Terlepas dari caranya yang tidak menyenangkan hati, sejatinya itu adalah untuk kebaikanku juga. Ah, seandainya dulu pikiranku sudah bisa berpikir sampai ke titik ini tentu tidak ada lagi wajah cemberut atau omelan cengeng setiap kali panas kayu putih terasa di kulitku.
Huft, memahami kebaikan adalah proses yang gampang-gampang susah karena acap kali kebaikan itu tidak terlihat di awal. Oleh karena itu, berbahagialah mereka yang mampu mengecap dan memahami kebaikan dalam setiap momen kehidupannya.
Waktu kecil aku juga gak suka dioleskan minyak kayu putih sama Mama. Tapi saat lagi kerja dan aku sakit perut, teman aku menyuruh supaya aku mengoleskan minyak itu ke perut. Ternyata, terbukti ampuh. Sampai sekarang aku terbiasa mengoleskan minyak kayu putih itu*
Hehehehehe. Kita mirip-mirip, aku sekarang selalu ngoles itu semenjak kena sakit asam lambung.
Lumayan, hangatnya bisa bikin angin keluar
Wah kalau sudah kena asam lambung mah harus dijaga pola makannya. Jangan sampai sakit Mas menulisnya, sambil ngemil lebih nikmat*
wah .. kayu putih bener2 nostalgia ….sudah lama saya ngga nyentuh kayu putih … 🙂
Hihihi, iya kang. Aromanya bikin sy berasa masih anak SD