Yang Galak Yang Jadi Kawan

Setiap naik kereta api, selalu saja saya menyaksikan insiden orang salah duduk. Ujungnya bermacam-macam. Ada yang akhirnya mengalah, minta maaf, atau malah adu mulut.

Hari Sabtu lalu saya menumpang kereta api Tegal Bahari dari Cirebon Kejaksan ke Gambir. Ekonomi AC 3, 18D, tempat duduk saya tertera di boarding pass. Di luar hujan deras. Para calon penumpang berlarian masuk ke dalam gerbong.

Tiga orang wanita naik tergopoh-gopoh. Dua di antara mereka sepertinya berusia di atas 40 tahun, sedangkan satunya lagi mungkin sekitar 17 tahunan. Setelah menaikkan koper besar, si ibu yang bertubuh gemuk duduk di kursi 17D, dan yang muda di 17C, persis di depan saya. Satunya lagi duduk di 17A. Mereka membuka boarding passnya dan bercakap.

“Ini kayaknya bakal kosong, udah kita duduk di sini aja,” kata si ibu.

Berselang lima menitan, datang seorang pemuda yang menutup wajahnya pakai masker.

“Permisi bu, ini tempat saya.”

“Duh mas, boleh tuker gak? Masnya di belakang ya?” pinta si ibu.

“Nggak bisa. Aku maunya duduk samping kaca.”

“Ooh mau samping kaca ya? Mau lihat pemandangan?” Nada si ibu berubah. 

Pemuda itu bergeming mempertahankan posisi duduknya yang sesuai dengan boarding pass. Si ibu dan yang lebih muda kemudian pindah. Rasa dongkol terlihat di wajah mereka. Pemuda itu ditatapnya sinis.

Saya geleng-geleng sendiri. Sudah salah, galak pula, saya mengucap dalam hati. Kalau saat itu terjadi debat terbuka, saya akan bela si pemuda. Mengambil tempat duduk yang tidak sesuai boarding pass itu kejam. Saya pernah beberapa kali tempat duduknya asal diduduki orang. Dongkol rasanya. Ingin marah tapi mikir-mikir lagi sampai akhirnya saya memilih untuk mengalah.

Rupa-rupanya, salah satu tempat duduk sah tiga penumpang wanita itu adalah kursi 18C, sebelah saya. Dan, si ibu yang galak duduk di nomor itu. Saya malas menyapanya, lebih memilih tidur segera setelah kereta berangkat.

Kira-kira setengah perjalanan, saya terbangun dan mengecek ponsel. Ibu itu tidak tidur, dia sedang bermain game sambil sesekali pandangannya mengarah ke jendela yang gelap.

“Turun di mana dek?”  tiba-tiba dia bertanya. Saya meletakkan ponsel dan menjawabnya sambil tersenyum kecut.

“Di Gambir bu. Ibu?”

“Sama dek, Gambir. Kamu masih kuliah ya dek? Di mana?”

Senyum kecut saya jadi manis karena masih dikira mahasiswa.

“Ehh, nggak bu. Saya udah kerja, lulus 2016 lalu.”

“Ohh, hahaha, saya kira masih kuliah dek.”

Rasa kantuk hilang. Setelah lima belas menitan, obrolan terhenti. Ponsel si ibu berdering dan dia bercakap dengan suaminya. Setelah pembicaraannya usai, ponselnya berdering lagi. Kali ini nada bicara si ibu berubah. Ada rasa kesal dan marah.

“Maaf ya mas, hehehe,” si ibu merasa nada bicaranya tadi membuat saya tidak nyaman.

“Oh, gak apa-apa kok bu. Santai saja.”

“Maklum mas, saya kerja jadi jaksa, tiap hari selalu aja ada kerjaan, jadinya begini.”

Wah. Saya terkejut dalam hati. Seorang jaksa, pantas saja nada bicaranya tegas dan galak. Kami lanjut mengobrol. Saat ibu itu tahu kalau saya dulu kuliah di Jogja, dia malah antusias bertanya soal bagaimana pergaulan semasa kuliah di kota pelajar itu.

“Itu, anak saya yang perempuan tahun ini mau kuliah di Jogja mas. Aman kan ya hidup dan pergaulan di sana?”

“Aman kok bu, aman banget malah, tinggal pilih-pilih teman bergaul aja,” jawab saya seraya mencuri pandang ke arah anak si ibu.

Kalau si ibu tidak bilang itu anaknya, saya tidak akan pernah sadar. Pemudi itu memakai kaca mata bulat dan sweater kuning. Rambutnya sebahu dan bagian bawahnya dibuat agak keriting. Kulitnya putih, halus, dan tanpa noda atau jerawat sedikit pun. Mirip artis Korea! Dalam hati saya mengumpat, “Kok gak anaknya aja sih ya Gusti yang duduk sebelahku.”

Si ibu terus bertanya seputar kehidupan di Jogja sampai akhirnya kereta tiba di Stasiun Jatinegara. Obrolan kami terhenti, dia menelepon suaminya untuk minta jemput. Imajinasi saya melayang, teringat akan kisah-kisah FTV tentang orang-orang yang bisa mendapat rejeki durian runtuh yang kadang tak masuk akal; tukang parkir pacaran sama jutawan, tukang cendol pacaran sama anak pejabat, tukang cimol pacaran sama anak pengusaha. Apakah mungkin seorang tukang ketik bisa dapat pacar seperti anak si ibu jaksa itu? Saya bermimpi sambil bangun.

Kereta berhenti di Stasiun Gambir tepat pukul 21:30. Imajinasi konyol itu pun buyar. Jakarta dan pekerjaan kembali menyambut. Saya dan ibu itu berpamitan.

Dalam perjalanan pulang naik busway, saya berpikir tentang kejadian sepanjang di kereta tadi. Banyak hal yang tidak pasti bisa terjadi dalam sebuah perjalanan. Orang yang tadinya galak bisa jadi ramah. Orang yang punya hak duduk bisa dirampas haknya. Apa lagi? Ada banyak tentunya. Itu baru perjalanan naik kereta, belum lagi dengan perjalanan hidup. Pasti lebih banyak hal tidak terduga yang bisa terjadi.

 

18 pemikiran pada “Yang Galak Yang Jadi Kawan

  1. Dan saya tertawa baca bagian ‘Senyum kecut saya jadi manis karena masih dikira mahasiswa’

    Dan, ketawa ngakak pas baca bagian ‘Dalam hati saya mengumpat, “Kok gak anaknya aja sih ya Gusti yang duduk sebelahku.” ‘ 😂😂😂

    Itulah hidup. Penuh kejutan. Mungkin kejutan lainnya saat mas Ary ketemu secara tak sengaja dengan gadis korea itu di kereta. Suatu hari nanti. hihi

  2. Hahaha…
    Tp nggak apa-apa kan duduk samping buibu eh jd tulisan.

    Menarik kalo ngobrol sama orang asing.
    Itu anak bu jaksanya nggak diajak ngobrol gitu?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s