Perjalanan Seru Naik Kereta Api Batara Kresna

 

Stasiun Solokota siang itu mendadak ramai. Belasan orang berkumpul di pelatarannya, mengobrol satu sama lain seraya berteduh dari matahari yang terik.

Dua jam sebelumnya, saya bersama rombongan itu melakukan walking tour melintasi kampung-kampung di kecamatan Sangkrah. Setelah tour selesai, kami kembali ke Stasiun Solokota yang menjadi titik kumpul peserta. Perjalanan saya mengikuti walking tour ini tidak mendadak. Seminggu sebelumnya saya sudah berkabar dengan Halim Santoso,  blogger dari Surakarta yang bersedia menemani saya jalan-jalan berkeliling kota.

Piye, habis ini mau ke mana?” tanya Halim.

“Naik kereta gimana? Ada kereta dari Wonogiri ke Purwosari jam 11:20. Aku penasaran kepingin nyoba.”

Halim mengiyakan. Saya melengos ke loket lalu membayar karcis seharga delapan ribu untuk dua orang. Lima belas menit lagi kereta akan datang. Tapi, tak ada penumpang lain yang menanti di peron stasiun, hanya sisa-sisa rombongan walking tour tadi saja yang masih nongkrong di depan loket.

Bersama @HalimSantoso

Di antara empat stasiun aktif yang ada di Kota Solo, Stasiun Solokota adalah yang paling malang nasibnya. Tak seperti Stasiun Balapan, Purwosari, dan Jebres yang disinggahi puluhan kereta lintas provinsi, hanya ada dua nama kereta yang singgah di Stasiun Solokota, yaitu kereta api (KA) Batara Kresna dan Sepur Kluthuk Jaladara yang perjalanannya tidak reguler.

Saat dibangun pada tahun 1922 oleh NIS, Stasiun Solokota melayani kereta api yang wara-wiri dari Wonogiri menuju Purwosari. Penumpangnya kebanyakan orang-orang yang berdagang. Dari Wonogiri, mereka membawa barang-barang jualan untuk dijual di pasar-pasar kota Solo. Setelah berdagang usai, mereka pun kembali ke Wonogiri menggunakan kereta api. Relasi antara warga dan kereta ini tampak harmonis sampai tiba masanya ketika transpotasi roda besi mulai kehilangan pamor akibat kalah cepat dengan kendaraan beroda karet.  

Ada yang istimewa dari jalur kereta api Purwosari-Wonogiri. Dari total jalur yang membentang sejauh 37 kilometer, kurang lebih empat kilometernya berada persis di samping jalan raya Slamet Riyadi. Rel besi dibangun sejajar dengan jalan dan tampak menyatu dengan aspal. Tidak ada pagar pembatas, juga kerikil sebagaimana umumnya dijumpai di rel kereta. Inilah yang membuat saya penasaran sejak pertama kali berkunjung ke Solo sembilan tahun lalu. Bagaimana jadinya kereta api berjalan berdampingan dengan mobil? Apa iya tidak tabrakan?

Rel KA di Jl. Slamet Riyadi. Foto diambil tahun 2013

 

Penasaran ini akhirnya terjawab dengan menjajal langsung naik kereta api Batara Kresna. Pukul 11:20, kereta tiba di peron nomor dua Stasiun Solokota. Jumlah penumpang di dalam gerbong bisa dihitung dengan jari, kontras dengan keseharian kereta komuter di Jabodetabek yang bejubel manusia. Kondektur dan dua orang petugas keamanan duduk di kursi paling pojok, mereka mengobrol asyik. Saat kami masuk ke dalam gerbong, obrolan mereka terhenti. Kondektur menghampiri kami dan meminta karcis. Dua lembar kertas tipis itu dilihatnya sesaat, lalu dikembalikan dan mereka pun kembali larut dalam obrolan.

Ada dua jenis rangkaian kereta Batara Kresna yang beroperasi. Ada yang berbentuk railbus dengan moncong miring, warna merah-putih, dan tempelan stiker “Solo Spirit of Java”, dan ada pula kereta diesel (KRD) lawas yang dulu pernah menjadi komuter di beberapa kota besar. Hari itu kereta railbus tidak beroperasi, dan perjalanan saya pun dilakoni bersama si KRD berwarna hijau lumut yang bentuknya mirip ulat bulu.

Dari penampakan luarnya, kereta ini tidak lagi muda. Kereta dibuat pada tahun 1982 lalu, dan sekarang usianya sudah 36 tahun. Interiornya seperti rumah kosong tak berpenghuni. Cat lantainya pudar, kipas anginnya berputar pelan, kacanya keruh, dan udaranya panas, fasilitas yang cukup untuk ongkos antarkota seharga empat ribu rupiah (tarif jauh dekat Rp 4.000,-). Saat peluit semboyan 35 dibunyikan, mesin diesel meraung-raung dan kereta berjalan pelan meninggalkan emplasemen stasiun Solokota.

Yang paling ditunggu-tunggu pun tiba. Setelah kereta melewati kampung Sangkrah, sekarang rel bersandingan dengan Jalan Raya Slamet Riyadi. Udara dalam kereta seperti oven berjalan. Saya setengah berdiri dan mendekatkan wajah ke jendela yang terbuka supaya bisa merasakan sejuknya angin semilir. Setiap kali kereta memotong jalan dan kendaraan berhenti, para pengemudinya menatap ke arah kereta. Entah mereka biasa saja, kagum, atau malah kesal karena perjalalannya jadi terhambat. Arus lalu lintas melambat, klakson-klakson bersahutan, sementara Batara Kresna tetap melaju perlahan tapi pasti.

Masinis terus membunyikan klakson kereta yang sumbang supaya mobil dan motor segera menyingkir dari rel. Meski dipacu dengan kecepatan yang lambat seperti siput, yang namanya kereta tetaplah kereta. Jika ada motor atau mobil yang menghalangi rel, pasti akan terserempet. Kan kereta tidak bisa direm mendadak. Termutakhir, pada 25 Januari 2018 lalu sebuah mobil Picanto menabrak KA Batara Kresna saat jam lima pagi. Mobil tersebut ringsek bagian depannya dan melukai pengemudinya.

Saya bersyukur karena bisa menjajal bagaimana serunya naik kereta api di pinggiran jalan Slamet Riyadi, apalagi cuma dengan membayar empat ribu rupiah! Di dekade 2000-an, jalur kereta ini sempat ditutup lantaran dinilai tidak menguntungkan. Rel kereta yang usianya tua dan berjenis R33 tidak memungkinkan untuk dilalui lokomotif besar sekelas CC 201/2013, hanya lokomotif yang ukurannya lebih kecil sekelas BB300 atau D301 yang diizinkan melintas di sini, itu pun hanya membawa dua gerbong penumpang saja.

Kereta hampir tiba di Purwosari memotong jalan Slamet Riyadi

Dengan kondisi rel yang tua, maka laju kereta api pun tidak dapat maksimal. Di ruas Slamet Riyadi yang padat, paling-paling laju kereta hanya 10-20 kilometer per jam saja. Sedangkan di lintas lainnya laju kereta tidak melebihi 60 kilometer per jam. Perjalanan Solo-Wonogiri yang bisa ditempuh 1 jam dengan naik motor menjadi 2 jam lebih jika naik kereta. Tak ayal transportasi roda besi pun tidak dilirik masyarakat yang kebanyakan lebih memilih naik bus atau motor.

Pada tahun 2010 jalur ini kembali dibuka dengan kereta api uap (sepur kluthuk) Jaladara melintas di atasnya. Tapi, Jaladara bukan kereta reguler. Kereta hanya berjalan kalau ada wisatawan yang ingin naik saja. Perjalanannya pun tidak sampai Wonogiri, cuma sampai Solokota lalu balik lagi ke Purwosari.

Barulah pada tahun 2015, PT. KAI meluncurkan layanan KA Bathara Kresna yang menghidupkan kembali trayek Purwosari-Wonogiri. Perjalanan kereta dibuat reguler dan pemberhentiannya diteruskan dari Solokota menuju Sukoharjo sampai ke Wonogiri menggunakan rangkaian railbus atau KRD.

Kendati demikian, yang namanya persaingan itu terkadang memang kejam. Kereta Api Batara Kresna belum mampu merebut hati para penglaju Solo-Wonogiri sepenuhnya. Meski rupa railbus sudah ciamik, tapi soal waktu tempuh tetap belum bisa mengalahkan kecepatan transportasi ban karet.

Dua puluh menit melintasi jalanan Slamet Riyadi yang padat adalah keseruan tersendiri buat saya. Saat ini Batara Kresna mungkin sedang kesepian, tapi kelak tatkala penduduk semakin bertambah dan jalan raya kelebihan beban, transportasi roda besi bisa jadi adalah jawaban atas masalah transportasi urban. Dan, sebelum itu terjadi, semoga saja pemerintah dan PT. KAI berbenah dan Batara Kresna tetap lestari.

 

 

14 pemikiran pada “Perjalanan Seru Naik Kereta Api Batara Kresna

  1. Bertambah lagi pengetahuan saya tentang kereta api setelah membaca tulisan ini. Terima kasih, hehe. Dulu sempat juga saya naik kereta railbus itu, dari Sukoharjo. Tapi seingat saya gerbongnya lumayan baru, sedangkan yang diulas dalam postingan ini lebih lawas. Mungkin yang saya naiki itu yang railbus betulannya, ya.
    Iya memang jalurnya unik banget! Cuma kalau hujan dan kita sebagai pengendara motor mesti hati-hati kalau lewat sana. Teman saya pernah ada yang jatuh di perlintasan Jl. Slamet Riyadi yang di sekitaran Keprabon itu, dan memang jalannya licin sih. Jadi kangen Solo lagi nih, wkwk. Semoga dalam waktu dekat bisa ke sana lagi, soalnya masih banyak utang objek wisata yang belum saya selesaikan, haha!

      1. Hei mas Gara.

        Tipe R33 itu artinya tiap 1 meter rel, beratnya 33 kilogram.

        Selain R33, ada tipe-tipe lainnya. Makin besar tipe rel, maka makin berat, dan kereta yang melintas di atasnya juga bisa lebih berat dan lebih cepat.

        Di Jawa, jalur antar provinsi yang padat biasanya pakai tipe R54, 1 meter rel beratnya 54 kilo hohoho

      2. Oiya mas Gara, aku lupa sebut di tulisan haha.
        Kalau Railbus iya masih baru, kisaran 2013an sepertinya gerbongnya dibuat. Kalau si KRD ijo ulat bulu ini memang lawas, produk 80-an hohooho

  2. wah keretanya kosong, kayaknya asyik tuh, entah mengapa saya suka naik kendaraan umum yang tidak terlalu banyak penumpangnya, apalagi kalau cuma satu atau dua orang serasa milik sendiri 😀

    1. Kepengennya begitu.
      Mgkin ntr mas bisa dijajal, dari Semarang naik Kalijaga dulu ke Solo, lalu lanjut ke Wonogiri dari PWS.

      Kmren ni waktunya mepet. Biasalahh, fakir weekend wkwk

  3. wahh ada kak Halim, lama gak ketemu 🙂
    aku dulu gagal naik ini, karena kehabisan tiket….dulu masih awal2 kali yaa….masih banyak peminat

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s