Naik kereta api kelas ekonomi bukanlah peristiwa luar biasa dalam hidup saya. Setiap bulannya, minimal sekali, pasti saya akan naik kereta dan dari tiap perjalanan inilah lahir semangat baru untuk bertahan hidup di Jakarta.
Namun, dua minggu lalu, perjalanan tersebut menjadi tidak biasa. Untuk pertama kalinya saya naik Kereta Api (KA) Matarmaja, sebuah layanan kereta ekonomi dengan tarif termurah di Indonesia. Jarak Jakarta Pasar Senen – Malang sejauh 881 kilometer dapat ditempuh dengan satu kereta api seharga 109 ribu.
Sedikit cerita, sebulan sebelumnya saya telah berencana untuk pergi ke Solo. Hanya, saat itu saya belum menentukan akan naik kereta apa. Saat mengecek saldo rekening di bank, isinya seperti bawang merah yang dikupas: bikin menangis. Jadi, supaya bisa tetap pergi ke Solo saya harus mencari kereta api yang harga tiketnya tidak bikin sengsara. Pilihan saya jatuh kepada KA Matarmaja kendati harganya sedikit lebih mahal dari KA Bengawan (74 ribu).
Perjalanan pertama
Jam dua siang saya sudah siap di pelataran Stasiun Pasar Senen. Setelah mencetak boarding-pass, saya segera berbaris di depan pintu check-in supaya nanti bisa jadi yang pertama masuk ke kereta.
Melihat saya sudah mengambil posisi antre, beberapa calon penumpang yang tadinya masih ngaso sambil kipas-kipas pun berdiri dan ikut antre. Makin lama antrean makin panjang. Tepat pukul 14:15, satu jam sebelum keberangkatan barulah petugas mempersilakan penumpang untuk check-in. Yes! Saya jadi yang pertama check-in. Tapi, saya sedikit kecewa karena ternyata rangkaian KA Matarmaja belum siap dinaiki. Kereta baru selesai dicuci dan masih disimpan di jalur nomor 5.


Sesuai jadwal, KA Matarmaja akan diberangkatkan pada pukul 15:15 dari Stasiun Pasar Senen. Sembari menanti kereta siap dinaiki, saya pun mengamati beragam penumpang yang sore itu siap melakukan perjalanan. Semenjak film 5cm laris di pasaran, nama KA Matarmaja ikut melejit. Kereta inilah yang ditumpangi oleh lima lakon film tersebut untuk tiba di Malang. Di sebelah saya, sepasang kekasih asyik bercanda sembari punggungnya memanggul ransel berukuran 60 liter.
“Mau daki ke mana mas, mbak?” tanya saya.
“Lawu, mas,” jawab si lelaki.
“Oooo… tak pikir mau naik Semeru mas mbaknya.” Gara-gara film 5cm, saya jadi mengasosiasikan KA Matarmaja sebagai keretanya para penantang Semeru. Padahal, tentu saja tidak semua calon pendaki yang menaiki KA Matarmaja hendak mendaki Semeru.
Jam tiga tepat, rangkaian KA Matarmaja sudah ditarik dari jalur 5 dan siap untuk dinaiki penumpang. Di boarding-pass sudah tertera kalau saya akan duduk di kursi nomor 7E, samping jendela. Sementara para penumpang lain buru-buru merangsek masuk ke gerbong, saya santai-santai dulu sembari memotret. Tapi, kemudian keputusan ini membuat saya menyesal. Seorang bapak sudah menduduki kursi saya.
“Sore pak, maaf kursi 7E itu kursi saya pak,” sapa saya sembari memelas dan menunjukkan boarding-pass supaya saya bisa duduk di kursi itu.
“Ah, sama-sama aja mas. Saya sudah duluan kok duduk di sini,” jawabnya.
Aduh. Seketika hati dongkol karena tidak duduk di samping jendela. Ingin rasanya marah. Tapi, saya sadar bahwa inilah risiko naik kereta ekonomi. Meskipun di tiket sudah tertera jelas nomor tempat duduk, tapi tidak banyak penumpang mengerti, atau tidak mau mengerti tentang arti nomor dan huruf yang tertera di sana. Bagi beberapa penumpang, seperti bapak ini, duduk mau dekat kaca atau tidak itu perihal siapa cepat dia dapat.

Saya pun mengalah karena tidak ingin perjalanan ini menjadi muram. Saya menarik nafas panjang dan membuka perjalanan ini dengan berdoa sejenak.
Kereta pun berangkat. Tidak ada kursi kosong yang tersisa di gerbong dua. Di gerbong tiga dan seterusnya pun sama. Delapan gerbong KA Matarmaja yang ditarik lokomotif CC 201 92 12 hari ini full-seat! Kapasitas satu gerbong kereta ekonomi adalah 106 penumpang, maka secara total KA Matarmaja membawa 848 penumpang dewasa.
Belakangan, meski saya tidak duduk di samping kaca, saya bersyukur karena jadi lebih mudah untuk mengobrol dengan penumpang di kursi sebelah.
Di sebelah saya ada seorang ibu dan anaknya yang masih balita. Aisyah, nama anak itu. Pipinya bulat, senyumnya manis, dan kepalanya tertutup kerudung yang rapi. Mereka berdua hendak turun di Blitar.

Sementara itu, seorang bapak lainnya yang duduk di depan saya akan turun di Kediri. Bermula dari obrolan basa-basi tentang turun di mana, diskusi hangat pun mengalir. Isi diskusi ini tidak penting-penting amat, hanya membahas seputar pengalaman naik kereta.
“Masnya enak turun di Solo, nggak terlalu jauh. Saya sampe Kediri baru besok pagi. Coba kayak zaman dulu, masih bisa tiduran di lantai sih enak,” kata si bapak di depan saya.
“Haha. Iya pak, dulu saya juga pernah ngalamin tidur di lantai kereta. Tapi, tetep lebih enak sama pelayanan kereta yang sekarang toh pak? Gak ngaret, wc bersih, aman, dan gak ada copet,” jawab saya.
Bapak itu mengangguk. Nostalgi akan kereta zaman dulu memang bikin kangen. Siapa tidak kangen bisa naik kereta dengan tarif murah luar biasa. Di bawah 50 ribu sudah bisa bepergian sejauh 800 kilometer. Tapi, harga yang murah tidak dibarengi dengan layanan yang memuaskan. Kereta terlambat. Fasilitas dalam gerbong ala kadarnya. Penumpang gelap bisa masuk seenanknya, plus copet juga numpang ikut. Sekarang, fenomena itu telah terkubur. Kereta jadi semakin beradab. Peraturan-peraturan yang sudah ada pun ditegakkan kembali, seperti larangan merokok dan tidur di lantai kereta. Meski aturan ini terkesan menyebalkan, tapi toh kembali demi kenyamanan penumpang.
Kereta melaju dengan cepat. Setelah berhenti di Stasiun Pegaden Baru dan Jatibarang, kereta tiba di Stasiun Cirebon Prujakan. Waktu berhenti selama tujuh menit ini segera dimanfaatkan oleh para penumpang. Saat keluar kereta, saya langsung menyambar warung dan membeli nasi putih, sayur buncis, tahu, dan telur dadar seharga 12 ribu. Sementara itu, para perokok segera menyalakan sebatang rokoknya dan cepat-cepat menghisapnya sebelum kembali masuk ke dalam kereta.
Selepas Stasiun Cirebon Prujakan, suasana menjadi lebih sepi. Beberapa penumpang mulai tertidur. Aisyah masih terjaga. Tatapannya tidak lepas dari ponsel ibunya yang memutar video kartun dan lagu baby shark du du du du du. Sedari kereta berangkat, Aisyah belum sekalipun menangis. Sepertinya, sebagai balita dia sangat berpengalaman untuk bepergian jauh.
“Sering banget mas naik kereta, jadi aku sudah siapin mainan, susu, atau ya kalau sekarang sih film kartun biar anteng,” kata ibunya Aisyah.
Dari Jakarta, KA Matarmaja melesat di lintasan lurus ganda hingga Stasiun Brumbung. Di stasiun ini, jalur terpecah dua. Jalur ganda utama terus membentang hingga Surabaya Pasar Turi, dan jalur lainnya adalah jalur tunggal yang mengarah ke Solo Jebres. Di petak ini, laju KA Matarmaja melambat seiring dengan medan yang tak lagi lurus. Deru lokomotif semakin kencang karena kereta melewati trek yang berbukit-bukit. Karena kereta melewati lintasan ini saat lepas tengah malam, kebanyakan penumpang sudah tertidur lelap.
Sedu sedap duduk di atas Matarmaja
Perjalanan KA Matarmaja bukanlah perjalanan yang singkat. Ada jarak sejauh 881 kilometer yang harus ditempuh selama lebih kurang 16 jam dengan total 21 stasiun pemberhentian untuk rute Pasar Senen-Malang dan 22 stasiun pemberhentian untuk rute Malang-Pasar Senen. Jumlah stasiun pemberhentian bisa lebih banyak apabila kereta harus tunggu bersilang.
Sejak diresmikan pada tanggal 28 September 1983, KA Matarmaja telah menjadi favorit bagi mereka yang harus bepergian di lintas antara dua kota besar ini. Nama Matarmaja sendiri diambil dari nama kota-kota besar yang dilewati, yaitu: MAlang, bliTAR, MAdiun, JAkarta, sehingga jika akronim tersebut digabung akan menjadi nama Matarmaja.
Pada awal mula pengoperasiannya, KA Matarmaja bernama KA Senja Maja dengan rute dari Jakarta hanya sampai Madiun via Yogya dan Solo. Susunan rangkaiannya pun terdiri dari satu kereta bisnis dan sisanya ekonomi. Namun, rute ini kemudian dievaluasi. Untuk mengisi kekosongan kereta di jalur Semarang-Solo, maka rute KA Matarmaja pun dipindahkan via utara, jadi tidak lagi melewati Solo-Yogya. Sekarang, KA Senja Maja itu telah menjelma menjadi KA Matarmaja dengan klasifikasi sebagai KA ekonomi PSO yang tarifnya disubsidi pemerintah. Oleh karena itu, harga tiketnya pun didaulat sebagai yang paling murah di antara kereta-kereta lainnya yang bepergian menuju Malang dari Jakarta.
Jam dua belas malam, KA Matarmaja terhenti di Stasiun Kalioso untuk berbagi jalur dengan KA Majapahit. Perjalanan saya bersama KA Matarmaja akan segera usai. Di Stasiun Solo Jebres, saya mengakhiri perjalanan dan berpamitan dengan penumpang-penumpang yang telah menjadi teman mengobrol yang asyik.

Meski hanya sampai Solo Jebres yang berjarak 9 jam perjalanan, tapi duduk di kursi tegak dan sempit membuat punggung ini terasa pegal. Apalagi bagi mereka yang masih harus melanjutkan perjalanan hingga tujuan akhir.
Tapi, meski badan pegal adalah kisah sedu dari naik KA Matarmaja, tarifnya yang bersahabat inilah yang menjadikan perjalanan bersama KA Matarmaja lebih sedap. Karena KA Matarmaja, ada sejoli di antara Malang-Jakarta yang bisa melepas rindu, ada keluarga yang dapat saling bertemu, dan ada pula para pencari petualangan yang akhirnya bisa menggapai Mahameru.
Terima kasih Matarmaja!
Stasiun | Kedatangan | Keberangkatan | Stasiun | Kedatangan | Keberangkatan |
Malang | 17:30 | Pasar Senen | – | 15:15 | |
Kepanjen | 17:54 | 17:57 | Pegaden Baru | 16:59 | 17:02 |
Sumber Pucung | 18:12 | 18:14 | Jatibarang | 17:46 | 17:48 |
Kesamben | 18:35 | 18:37 | Cirebon Prujakan | 18:23 | 18:30 |
Wlingi | 18:51 | 18:55 | Babakan | 18:50 | 18:52 |
Blitar | 19:14 | 19:19 | Tegal | 19:33 | 19:42 |
Ngunut | 19:38 | 19:40 | Pekalongan | 20:33 | 20:36 |
Tulungagung | 19:52 | 19:55 | Semarang Tawang | 21:52 | 22:07 |
Kediri | 20:22 | 20:25 | Solo Jebres | 00:44 | 01:12 |
Nganjuk | 21:22 | 21:24 | Madiun | 02:44 | 02:54 |
Madiun | 22:05 | 22:17 | Nganjuk | 03:36 | 03:39 |
Paron | 22:40 | 22:50 | Kertosono | 04:00 | 04:06 |
Solo Jebres | 23:58 | 00:10 | Kediri | 04:43 | 04:46 |
Semarang Tawang | 02:22 | 02:37 | Tulungagung | 05:13 | 05:16 |
Pekalongan | 03:56 | 04:00 | Ngunut | 05:29 | 05:32 |
Tegal | 04:50 | 04:58 | Blitar | 05:51 | 06:00 |
Babakan | 05:40 | 05:42 | Wlingi | 06:19 | 06:22 |
Cirebon Prujakan | 06:02 | 06:10 | Kesamben | 06:36 | 06:39 |
Jatibarang | 06:46 | 06:48 | Sumber Pucung | 07:00 | 07:03 |
Pegaden Baru | 07:33 | 07:35 | Kepanjen | 07:18 | 07:23 |
Jatinegara | 09:08 | 09:10 | Malang | 07:51 | – |
Pasar Senen | 09:20 | – |
Saya jg pernah naik matarmaja tahun 2010 ke malang dg kawan2 mau ke taman nasional tengger semeru.. Beberapa detik sebelum kereta jalan teman yg bawa tiket masih diluar kereta jemput teman yg telat, untung mereka berhasil naik pas keretanya jalan.. Di kereta jg ketemu cewek berdaster pakai kaos kaki bola sama pantofel..
Kereta jg selalu berhenti berjam-jam ditengah jalan ngalah sama kereta bisnis dan eksekutif biar kereta itu jalan duluan..
Pas sampe malang hidung penuh upil warna hitam pekat..
Hehehe. Kereta ekonomi zaman dulu naiknya penuh perjuangan banget ya mas :))
Rencananya pengin juga coba, tapi baca ceritanya koq jadi mikir” lagi, kawatir capek duluan se blm sampai tujuan. Karena pernah naik SU Ekonomi ke Solo aja sdh seru apalagi ke Malang 16 jam empet”an 🙂
Naiknya harus sama org yg spesial mas, biar pegelnya ndak berasa🤣
Ini KA Ekonomi yang enak karena udah murah, bersih, nyaman, aman, dan tepat waktu sampe di Malang. Aku beruntung banget waktu itu, duduk di bangku A-B-C dan dua orang di sebelahku turun di Solo Jebres, alhasil dari Solo Jebres sampai Tulungagung bisa tidur selonjor. Udah gitu di depanku ada Ibu2x dan Eyang yang turun di Blitar dan mereka seolah2x menjaga keamanan saya selama saya tidur. Hape aku titipin di mereka sambil di-charge. Lalu sempet dikasih makanan juga sama Mas2x yang turun di Solo Jebres dan ibu2x itu. Seru banget deh. Apalagi selepas Tulungagung, mentari mulai terbit dan kabutnya tebel banget. Seolah2x lagi ada di antah berantah. Selepas Blitar, suasana keretanya lebih sepi karena kebanyakan turun di SMT, SK, MN, KD, TA, dan BL. Aku selonjoran banget selepas Blitar sambil menikmati pemandangan alam Jalur Kantong Jawa Timur yang antik dan menarik. Kalo disuruh naik Matarmaja ke Malang lagi, aku sih mau banget! Ga nyesel hehehe… Udah gitu jelang Malang, disuguhkan pemandangan Gunung Semeru, Gunung Bromo, dan Gunung Arjuna yang cantik banget deh. Mas harus coba naik Matarmaja ke Malang ya hehehe
Iya sih, kebanyakan penumpang Matarmaja turunnya di Madiun, Kertosono, Kediri, Tulungagung, Blitar hoho
bakal tak naikin ampe ML ntr mas, mmpung masih subsidi 😀
kelas ekonomi memang punya keseruan sendiri hehee, bisa belajar banyak juga dari kereta kelas ekonomi
Yoi mas :))
Karakter penumpang kelas ekonomi ini menarik untuk ditulis hihihi
saya juga pernah naik kereta ekonomi jurusan jakarta – merak, pas diatas kan dilarang jualan tapi yang ada malah banyak jualan tapi sisttemnya sembunyi2 hahahaa
Liburan lalu saya bawa anak-anak naik matarmaja ke malang. Biar tahu serunya naik kereta ekonomi. Supaya gak kaget berlama-lama dalam sebuah perjalanan.
Dari PSE mas?
Wahh, mantap! Ndak nangis kah anak-anak duduk 16 jam di kereta? haha.
Dulu orangtuaku jg begini. Alhasil, anaknya jadi demen kereta api sampe gede.
Matarmaja adalah kereta yang membuat saya jatuh cinta akan KA Ekonomi, hehe. Saya melaju dengannya dari ujung ke ujung, dan itu memang pengalaman tak terlupakan. Bagaimana dari sore yang gerah, ke malam yang dingin dan seru, kemudian berganti pagi ketika melaju melintasi Jawa Timur. Orang-orangnya, obrolan-obrolannya, dan bagaimana kereta berganti menyepi ketika sudah lintas dari Kediri. Tak terlupakan. Mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa saya ikuti lagi perjalanan kereta ini.
Di sini saya baru tahu juga kepanjangan Matarmaja itu, hehe. Saya pikir Matarmaja adalah kependekan dari Mataram-Majapahit, mengingat dalam perjalanannya kereta ini melintasi wilayah dua kerajaan itu, hihi. Terima kasih untuk informasinya!
Bener banget mas! Jam 3 sore di Pasar Senen itu panase puol. Masuk ke dalam gerbong pun AC splitnya gak bikin dingin. Alhasil tetepan aja kipas-kipas.
Tapi, asiknya naik Matarmaja itu selepas Cikampek sampai Jatibarang pas sunset, jadi pemandangan sawah di balik jendelanya jadi syahdu.
Jadi makin ingin naik Matarmaja lagi, wkwk… sip deh, nanti saya naik lagi, haha.
Seru juga naik kereta api yo mas?
Halo mas, seru kok naik kereta api 🙂
Boleh boleh. Tapi maksimal cukup sampe Semarang aja mas. Gapapa. 😂
Lohh wkwkwk. Baru setengah itu 😂😂
Aahh, yang penting mah ngerasain sensasi duduk tegak lurus, udah pas itu nyampe Semarang.. 😂
Matarmaja maksudnya. 😁
Wah, saya baru tahu akronim dari Matarjama. 😃 4 tahun lalu sempat naik kereta ini ke Stasiun Gubeng. Dan, bikin kapok! Haha. Sempat tak mau lagi naik kereta ekonomi jarak jauh. 😄
Btw, Matarmaja apa Gaya Baru Malam Selatan nih? hehehe.
Soalnya kalau Matarmaja ndak lewat Gubeng, dari Kertosono belok ke Kediri hihihihi
Saya sampai nanya sama temen yang pesen tiket dulu mas. 😂 (ketahuan deh tau duduk aja waktu itu). Hihi. Gaya Baru Malam ternyata. Matarmaja itu pas balik dr Malangnya.. haha.. Maaf..maaf.. Banyak ga taunya soal perkereta apian.. Tapi baca tulisan-tulisan mas Aryanto tentang perkereta apian jadi nambah wawasan banyak buat saya. Terimakasih! 😁
Wkwkwkwkwk.
Tebakan sy bener brrti 😂.
Jd gmn mau dijajal lg naik Matarmaja? Sensasi sakit pnggungnya bkin kangen