Setiap weekend saya paling suka pergi keluyuran dan waktu itu terbersit ide untuk menjelajah kawasan perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ide pertamanya adalah pergi menelusuri rel mati di lintasan Banjar-Pangandaran yang telah ditutup sejak tahun 1970-an. Saya pun segera mengontak teman yang tinggal di Sidareja dan mengabarinya bahwa di Jumat malam saya akan menumpang di rumahnya. Teman saya mengiyakan dan singkat cerita tibalah saya di Sidareja pada hari Sabtu pagi.
Tapi, rencana awal untuk menelusuri rel mati ternyata batal. Setibanya di Sidareja, saya masuk angin akibat duduk kelamaan di dalam kereta sembari diterpa AC. Maklum, wong ndeso tidak kuat dengan dinginnya AC. Tapi, ini bukan alasan satu-satunya. Alasan kedua adalah waktu saya berkunjung di Sidareja sangat terbatas. Besok, Minggu paginya saya sudah harus kembali ke Jakarta. Sepertinya tidak enak juga jika pergi menelusuri rel mati harus dikejar waktu. Bukannya dapat kisah sejarah yang lengkap, yang ada malah kami kecapekan dan terburu-buru tidak jelas. Jadi, rencana pertama pun dicoret dan teman saya mengusulkan bagaimana jika kami pergi ke Bendungan Manganti saja. Katanya, lokasi bendungan ini tidak terlalu jauh, jadi kami bisa berangkat siang dan saya pun bisa beristirahat dulu.
Setelah tengah hari, kami pun berangkat. Mengendarai sepeda motor Supra-X jadul yang sehari-harinya menjadi motor pasar, kami membelah persawahan yang membentang hijau. Saya sendiri tidak tahu seperti apa bendungan Manganti itu. Apakah bagus, airnya deras, ada tempat asyik, semuanya hanya teman saya yang tahu. “Pokoknya tempatnya apik!” katanya meyakinkan saya dengan logat Ngapak yang kental.
Baiklah, saya pun tidak banyak bertanya dan menurut saja. Toh, sebagai engkoh-engkoh penjual sembako di Sidareja, jelas teman saya ini jauh lebih tahu tentang daerahnya.
Tak sampai setengah jam, kami tiba di sebuah jalan aspal mulus dengan bangunan biru tinggi menjulang terlihat di kejauhan.
“Sampe nih kita Ar,” kata teman saya.
Di siang yang panas itu, kami menepikan sepeda motor di bawah pohon Kersen, kemudian berjalan kaki mengitari bendungan. Bendungan Manganti sejatinya adalah bendungan, bukan objek wisata unggulan kabupaten. Jadi, kendati hari itu adalah akhir pekan, tak banyak pengunjung yang datang selain daripada abg-abg lokal yang bermesraan di tepian bendungan. Ah, pemandangan ini tidak ciamik buat saya. Kami pun berjalan lagi mencari spot yang nyaman untuk duduk dan memotret.
Tak jauh dari parkiran motor, ada sebuah kursi kayu yang diletakkan di bawah pohon Beringin mungil. Walau tidak teduh-teduh amat, tapi pohon ini cukuplah untuk menghalangi sinar matahari. Kami pun duduk dan mengamati bendungan Manganti dengan gemuruh airnya.
Air yang mengalir melalui bendungan Manganti adalah air dari sungai Citanduy. Pernah dengar nama sungai ini? Nama Citanduy tidaklah seterkenal nama Ciliwung yang sering nongol di berita lantaran banjir yang merendam Jakarta, ataupun seperti nama Kapuas yang didaulat sebagai sungai terpanjang se-Indonesia. Citanduy adalah sebuah sungai sepanjang kurang lebih 174 kilometer yang berhulu di Jawa Barat dan bermuara di selatan Jawa Tengah. Sungai Citanduy juga adalah batas geografis alami yang memisahkan provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Bendungan Menganti sendiri lokasinya persis di perbatasan. Tanah di mana kami berdiri adalah bagian dari Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan tanah di seberang sungai adalah bagian dari Kabupaten Banjar, Provinsi Jawa Barat. Meski hanya selemparan batu, tapi dua sisi sungai Citanduy ini memiliki dua budaya yang berbeda.
Kata orang di sisi timur Citanduy yang berbahasa Jawa Ngapak, kalau pergi ke seberang (barat) nanti pepaya akan jadi pisang.
Lah, kok bisa? Saya pun bingung. Kemudian, teman saya menjelaskan.
Di dalam bahasa Jawa, pepaya itu disebut Kates dan pisang itu disebut Gedhang. Tapi, di bahasa Sunda, pepaya itu disebut Gedhang dan pisang itu Cawu. Jadi, kalau orang dari timur membawa Kates ke tepi barat Citanduy, Kates itu berubah nama menjadi Gedhang.
Saya manggut-manggut. Unik sekali. Sungai Citanduy menjadi sebuah tengara yang memisahkan satu manusia dengan dua budaya berbeda. Di sisi timur, tempat saya berdiri, semua orang berbicara dalam logat Ngapak. Inyong….kencod….kepriwe. Sedangkan, di seberang sungai, orang-orang bicara dalam bahasa Sunda. Abdi, uing, maneh. Menarik sekali. Meski tampak serupa, masing-masing sisi sungai memiliki keistimewaannya masing-masing.
Selain sebagai batas geografis alami, Sungai Citanduy juga memiliki peranan penting dalam kehidupan pertanian di wilayah sekelilingnya. Persawahan di daerah Ciamis hingga Cilacap banyak bergantung pada aliran air Citanduy. Oleh karena itu, pada tahun 1972, dalam era Orde Baru, dibangunlah proyek pembendungan Sungai Citanduy untuk keperluan irigasi. Proyek ini memakan waktu cukup lama, hingga akhirnya pada dekade 1990-an, Bendungan Menganti rampung dan diresmikan penggunaannya.
Jika kita mengetikkan nama Bendungan Manganti di Mbah Google, banyak situs dan ulasan yang menyebutkan bahwa bendungan ini adalah objek wisata. Tapi, setelah saya datang langsung ke tempat ini, untuk memaksimalkan Manganti sebagai objek wisata andalan sepertinya cukup sulit. Akses Menganti yang jauh dari jalur utama lintas selatan Jawa membuat orang yang tidak penasaran-penasaran amat mau berkunjung ke sini. Namun, buat saya pribadi, sepinya Menganti justru menjadi nilai lebih, Menganti menjadi tempat yang nyaman untuk bersantai. Duduk-duduk di bawah pohon Kersen seperti yang saya lakukan adalah aktivitas yang sederhana tapi amat mahal. Tidak mungkin saya melakukan ini di Jakarta. Duduk-duduk di pinggir kali, yang ada pingsan duluan karena kalinya kotor ataupun kepanasan karena tidak ada tempat teduh.
Duduk bengong, menatap air yang mengalir lurus menerobos beton-beton buatan di sepanjang alirannya adalah kenikmatan tersendiri, apalagi jika ada sahabat yang menemani, maka mengalirlah sebuah obrolan panjang dari A ke Z yang nyaris tiada berujung.
Ini dekat dengan tempat tinggal saya…cuma 15 menit saja dari rumah..sejak saya kecil sering main kesini.saya juga sempat mengulas diblog saya.
Wah, salam kenal kang, mas!
Saya orang manganti asli,tepatnya kubu barat dari bendungan ini, Salam sntun sebelumnya 😊
Mau izin membetulkan sebentar? Sebwlah barat dari bendungan mmganti nukan masuk wilayah kota banjar loh mas,masih dlm wilayah kabupaten ciamis, kecuali bendungan di daerah pataruman (itu memng bagian dari kota banjar)
Satu lagi mas, boleh saya izin download picture nya,buat dibikin blog pribadi sama saya? Kebetupan sebagai obat rindu,karena saya sendiri sedang tidak berada di tempat.
Terimakasih
Nb : saya Nia Neyy ( bopeh panggil neyy)
Halo mbak Nia,
Terima kasih untuk koreksinya. Nanti akan saya perbaiki di artikel.
Gambar yang mana yang ingin mbak ambil? Silakan nanti diemail saja kepada saya terlebih dulu ya mbak, di aryanto.wijaya@gmail.com
Salam,
Ary
Saya orang kertajaya yang skrg masuk wilayah pangandaran dengan kecamatan mangunjaya,dan hanya 5 menit jalan kaki dr sungai citanduy.sy tau persis ketika msh kecil dl suka mandi di sungai citanduy dengan airnya yang jernih dan berpasir ketika musim kemarau,dan berubah keruh jika dimusim hujan.tp walaupun sering meluap citanduy tidak pernah tega menyentuh masyarakat yg tinggal disekitarnya,itu krena tanggul penahan banjir yg tinggi hingga aman dr banjir.
Pas lagi nongker diparkiran pasar kaget dibilangan jkt selatan sambil nunggu bu mentri keuangan rumah tangga… ga sengaja nanya sama mbah gugel..kata “pasar menganti” awalnya saya nanya “pasar purwayasa” karena bilangan nama nama pasar disana disesuaikan dengan nama lokasi serta dusunnya..
Hasil nanya ke mbah gugel tadi kata “pasar manganti” keluarlah link
https://jalancerita.com/2018/03/19/satu-hari-di-bendungan-manganti/
Jd tertarik pengin baca…alur ceritanya ngingetin waktu saya masih SD sekitar tahun 90an pas bendungan manganti baru banget diresmikan sama simbah “piye kabare…esih puenak jamanku to..” Hayoo pada kenal ora(#ngapakmode)? Ya beliaulah yang meresmikan..
Waktu itu saya masih pake seragam merah putih kadang pake sepatu kadang juga enggak…ups..ndeso banget ya sekolahnya..hehehe..
Waktu ngunggu..bu mentri habis..beliau sdh bawa..sekeresek..blanjaanya..jd cerita..pake baju SD..lanjut dinext comment
unik banget ya .. hanya terpisah oleh satu sungai .. dua sisi sungai memiliki kebudayaan dan bahasa yang berbeda .. satu nyunda dan satu lagi ngapak 🙂
Bener pisan kang.
Di sisi timur kates jadi pepaya, di sisi barat kates malah jadi disebut pisang.
hahaha. aya-aya wae ya
Unik ya perbedaan budayanya. Itu juga sekaligus membuktikan bahwa Jawa dan Sunda adalah satu keluarga, hehe. Mungkin karena sungainya besar banget begitu juga ya, jadi antara dua budaya yang bertetangga itu seolah terisolasi dari masing-masingnya, dan lebih berhubungan dengan bagian Jawa yang punya hubungan darat secara langsung dengannya. Tapi aneh euy, beberapa kata dalam bahasa Bali justru punya kesamaan dengan yang di bahasa Sunda, misalnya soal kates dan jalma, artinya sama-sama pepaya dan orang, haha.
Oh ya? Wah, aku baru tahu kalau ada kosa kata bahasa Sunda dan Bali yang sama. Mungkin karena dulu sebenarnya satu nenek moyang kali ya. Karena dari bentuk fisik itu sepertinya orang di Jawa tidak ada perbedaan mencolok, hanya di bahasa dan budayanya aja yg tampak jelas perbedaanya
Mungkin ini bukti bahwa semua suku di Indonesia sejatinya bersaudara dan serumpun dari segi bahasa Mas, hehe…
ngunjungi tempat begini aja bikin happy ya, bang
.
fotonya ciamik banget. keren
Iya mbak 😀
Hepi dan murah meriah ya hehehehe. Ndak keluar modal gede, walau ongkos dan waktu dari Jakarta ke sininya lumayan hihihi
Generasi sekarang mungkin tidak terlalu kenal nama sungai Citanduy, tapi bagi generasi 80an seperti saya (ups dah tua ternyata 😆 ) kenal nama Citanduy dari tanggul-tanggul tinggi penahan banjir sepanjang jalan
ketika memasuki Banjar, oh iya selain candaan soal pepaya menjadi pisang, dulu juga saya sering dikasih tau kalau di seberang sungai itu polisinya itu bukan wong, ternyata benar di Sunda itu ga ada wong, adanya jalma 😀
WKwkwkwkkwk.
Duh ngekek aku. yang cerita polisi aku malah baru tahu skrg.
Dulu aku taunya itu Citanduy cuma sebatas sungai perbatasan. Tapi, setelah mlipir ke Sidareja dan sekitarnya jadi paham kalau di dua sisi sungai ini budanya beda. Bahasa Ngapak dan bahasa Sunda 😀