Ketika Facebook baru mulai dikenal di tahun 2008 lalu, saya masih menjadi seorang bocah SMP yang sedang rajin-rajinnya singgah ke warnet untuk bermain Friendster, media sosial yang begitu populer pada zamannya. Buat saya pribadi, Friendster ini luar biasa menarik. Selain bisa menampilkan foto diri yang dinilai paling cakep, saya juga bisa menggonta-ganti latar halaman sesuai selera. Dan, yang paling menarik adalah saya bisa kepo sedikit-sedikit di akun gebetan.
Tapi, petualangan saya bersama Friendster itu tidak berlangsung lama. Di tahun 2009, saat saya naik ke jenjang SMA, saya iseng menjajal Facebook karena disuruh teman buat akun di sana. Sebenarnya, dari tampilannya waktu itu, Facebook tidak menarik-menarik amat. Latarnya cuma polosan diselipi sedikit biru. Beda dengan Friendster yang heboh warna-warni kalau tidak mau dibilang alay. Namun, ada satu kelebihan Facebook yang tidak dimiliki Friendster, yang menurut saya bagus banget, yaitu fitur chatting! Dengan Facebook, saya bisa ngobrol sana-sini, layaknya berkirim Whatsapp di masa sekarang.
Di hari pertama saya membuat akun Facebook, saya begitu antusias untuk meng-add sebanyak mungkin orang untuk dijadikan teman. Mulanya saya hanya klik orang-orang yang saya kenal. Kemudian bergeser menjadi klik ke orang-orang yang mungkin saya kenal. Lalu, bergeser lagi menjadi klik ke orang-orang yang mungkin nanti bisa kenalan. Hingga akhirnya saya pun asal klik saja, cantik sedikit, langsung klik add-friend. Waktu itu saya begitu terobsesi untuk mencari sebanyak mungkin teman. Ada rasa bangga kalau di Facebook ada ratusan teman, walaupun hanya segelintir yang saya kenal.
Obsesi untuk mencari banyak teman ini rupanya juga terjadi di dunia nyata. Selayaknya di Facebook, saya berusaha mencari dan berteman dengan banyak orang. Di sekolah ikut ekstrakurikuler, ikut pelajaran tambahan, ikut kelompok jalan-jalan, diajak ini dan itu mengiyakan supaya bisa punya banyak teman dan dianggap teman yang asyik. Berhasil? Boleh dibilang iya. Teman saya pun banyak. Bahkan bertambah banyak seiring dengan saya masuk ke jenjang kuliah.
Rasanya memang menyenangkan punya banyak teman. Cukur rambut ada yang menemani. Makan di warteg, ada yang menemani pula. Hari libur, bisa nginap bareng. Libur panjang pun bisa pergi camping rame-rame ke gunung.
Namun, tidak ada suatu momen yang abadi seterusnya. Seiring dengan usia yang menanjak, perlahan saya mulai menyadari realita kehidupan. Saat pindah dari Bandung ke Jogja dulu, memang saya mendapatkan banyak teman baru di Jogja. Tapi, perlahan, saya pun mulai lost-contact dengan teman-teman di Bandung. Hanya segelintir yang masih bisa ditemui di sela-sela liburan.
Lalu, setelah lulus kuliah di Jogja dan pindah ke Jakarta, teman-teman yang dulu ada banyak pun mulai meluruh satu-satu. Ada jarak fisik yang memisahkan. Kalau rindu mengobrol, tak lagi bisa bertemu tatap muka sesering dulu. Lama-lama, seiring dengan saya yang sibuk dengan pekerjaan, teman-teman pun sibuk dengan urusannya sendiri. Akhirnya, selain jarak fisik, jarak emosional pun tercipta. Beberapa orang yang diajak ngobrol, seringkali tak lagi nyambung seperti dulu. Maklum, jalan hidup dan pikirnya sudah tak lagi sama.
Tapi, dari sekian banyak teman yang akhirnya luruh dari kehidupan, ada segelintir yang tetap melekat. Dan ternyata, yang segelintir inilah yang pada akhirnya memberi makna begitu dalam.
Tidak dipungkiri, seiring dengan usia yang bertambah, ada prioritas yang berubah. Mencari sebanyak mungkin teman bukan lagi prioritas yang dicari oleh orang dewasa. Kalau anak SMP-SMA mungkin iya, karena mereka butuh aktualisasi diri dengan mencari sebanyak mungkin teman.
Namun, tatkala kita beranjak dewasa, kita akan menyadari bahwa pertemanan itu sejatinya tidak melulu bicara soal berapa banyak teman, melainkan seberapa dalam obrolan yang bisa kita gali saat duduk berdua sambil menyeruput teh, atau tentang siapa orang yang kita hubungi saat kita ingin curhat gak jelas di jam dua pagi. Pertemanan orang dewasa itu mungkin mengecil secara kuantitas, tapi meningkat secara kualitas.
Inilah yang pada akhirnya membuat saya bersyukur. Seringkali memang saya merasa kesepian. Tinggal di pojok paling barat Jakarta membuat saya sulit untuk bertemu dengan teman-teman yang banyak tinggal di dekat Jakarta Pusat. Kalaupun janjian untuk bertemu dengan mereka di kala weekend pun sama sulitnya, biasanya rencana hanya sekadar jadi wacana. Meski demikian, nun jauh 500 kilometer dari tempat saya duduk sekarang, ada teman-teman yang meski jarak fisik memisahkan, hatinya saling terhubung. Merekalah orang-orang yang sangat jarang saya temui secara fisik, tapi sering saya jumpai dalam doa. Semenjak setahun pindah ke Jakarta, mereka banyak mendukung saya, minimal ada nama saya disebut di dalam doa-doa mereka.
Memiliki mereka adalah sukacita tersendiri buat saya. Dan, saya pun sadar bahwa pertemanan yang sejati itu tidak sekadar ditemukan, tapi juga perlu dibentuk. Oleh karena itu, untuk menjaga benih-benih pertemanan ini tetap tumbuh besar, kuat, dan mengakar, saya merawatnya dengan jurus 3D: Doa, Datang, Dukung.
Setiap hari saya mendoakan mereka. Lalu, tak peduli sepadat apapun jadwal kerja di Jakarta, saya harus menciptakan waktu untuk datang secara langsung menemui mereka. Jumat malam berangkat dari Jakarta naik kereta ekonomi, lalu Minggu malam kembali lagi ke Jakarta dan Senin paginya langsung bekerja. Secara fisik jelas badan terasa capek. Tapi, batin saya malah jadi segar. Obrolan absurd, tawa-lepas, dan juga teguran dari mereka adalah dongkrak semangat yang memampukan saya tetap betah hidup di Jakarta.
Halah. Ngapain capek-capek datang jauh-jauh, kan bisa video call! Hush! Saya tidak anti dengan komunikasi menggunakan medium, tetapi komunikasi dua arah dengan tatap muka adalah bentuk komunikasi yang paling otentik. Dengan bertemu langsung, di sana ada kontak fisik, ada kontak batin, ada transfer perasaan, dan juga ada apresiasi tersendiri atas pengorbanan masing-masing yang mau menciptakan waktu bertemu meski kesibukan tidak terhindarkan.
Dan, jurus terakhir adalah dukung. Memutuskan untuk menjadi teman adalah sebuah janji untuk menikmati perjalanan bersama. Ketika yang satu jatuh, yang satu harus menolong supaya temannya bisa bangkit. Inilah yang menjadi esensi pertemanan, bagaimana dua pribadi yang karakternya berbeda bisa bersepakat untuk menjadikan satu sama lain lebih matang.
Mendukung teman itu juga tidak berarti selalu setuju atau seiya sekata. Ada kalanya teman harus menegur. Loh, nanti kalau ditegur kalau sakit hati gimana? Teman yang sejati itu punya rasa saling percaya. Jadi, ketika ditegur, tentu dia tahu bahwa teguran itu adalah untuk kebaikannya. Maka, sakit hati seharusnya tidak ada dalam kamus pertemanan itu.
Akhir kata, saya mengucap syukur atas segelintir teman yang boleh hadir dalam hidup saya di hari-hari sekarang ini. ‘Pulang kampung’ ke Jogja minggu lalu menyadarkan saya kembali bahwa teman-teman yang sedikit ini adalah karunia dari Tuhan yang harus saya rawat dan kembangkan.
Teruntuk teman-teman, terima kasih telah bersedia membalas chat saya di atas tengah malam. Terima kasih telah bersedia mendengarkan curhatan saya yang mungkin terlalu ngalor-ngidul. Terima kasih pula sudah bersedia meluangkan waktu dengan naik ke atas bukit, duduk santai, bicara soal hidup seraya menikmati sunset.
Setiap momen kebersamaan ini adalah kisah yang begitu manis untuk dikenang.
Besi menajamkan besi, manusia menajamkan manusia.
Mewakili yang aku rasakan
Semangat mas!
Indah rasanya persahabatan bisa langgeng begitu.
Kuakui ngga mudah membina persahabatan sekian lama, banyak seiring waktu entah karena tentang hal apa satu persatu teman yang pernah akrab menghilang satu persatu.
Iya mas.
Suatu berkat yang luar biasa jika masih ada rekan yang karib 🙂
Jadi ingat jaman masih main Friendster.
Rela banget pergi ke warnet hanya untuk balas testi atau sekedar edit layout, hahaha.
Tapi bener sih, makin dewasa yang ada kita hanya akan memiliki segelintir teman saja tapi yang benar2 care sama kita.
Gak sebatas hanya “haha hihi” semata 🙂
Haha. Betul mas. Karena dulu belum ada hape internet juga. Lalu kalau ke warnet biasanya banyakan sama temen2. Satu komputer dipake rame-rame hahaha
sama prosesnya dengan saya .. memang begitu kali ya perjlaan hidup pertemanan … semakin dewasa .. hanya tersisa segelintir teman2 lama yang tetap dekat .. dan kita juga semakin “pilih pilih” berteman, teman yang satu chemistry
Betul kanggg.. Waktu akan memurnikan pertemanan 🙂
Ini tulisan super. Dimulai dari facebook jaman dulu, aktualisasi diri, kemudian kualitas, serta jurus 3D. Emang kalau tidak summary di kolom komentar. Ijin menimba ilmu om
Hehehe. Sama-sama om. 😊😊😊
Bener banget, skrang lebih ke menbatasi diri. Bukan gg mau berteman sama siapa pun karena mencoba memperthkan teman yg ada. Saling mengerti jika mulai dri awal banyak yg belum bisa juga menghrgai kita atau tahu akan kita.
Setuju sama tulisan ini mad 😊
Yeaaay. Makasih Mbak Vera 😄
Uraian yang sangat menghangatkan hati. Betapa bangganya teman-temanmu punya sahabat seperti dirimu. Baru kemarin juga saya berpikir-pikir dengan beberapa teman soal dinamika pertemanan orang dewasa dan pada akhirnya didapat kesimpulan yang kurang lebih senada. Bertambahnya umur (waktu, dengan demikian) akan menyeleksi mana teman-teman yang berkualitas dan mana yang termasuk dalam golongan datang dan pergi lebih cepat. Sekarang tinggal bagaimana kita bisa menjaga dan menghargai itu dengan sepenuh-penuhnya. Ya, saya juga belajar dari tulisan ini tentang bagaimana melakukannya, hehe. Terima kasih.
Terima kasih Mas Gara sudah menyempatkan diri buat membacanya hehehe.
Aku mencoba berefleksi mas. Teman yang dulu banyak sekarang mulai meluruh. Teman-teman yang ada di Jakarta pun tidak seerat teman-teman dulu karena memang kesibukan yang terlalu menyita waktu hehehehe.
Betul sekali, tapi menurut saya harus ada upaya juga untuk menjaga tali silaturahmi agar tetap terjalin. Mas sudah bahas bagaimana melakukannya dalam tulisan ini, hehe…
Ternyata kamu masih muda banget ya, mas. Tahun 2008 aku udah masuk kuliah, hahahaha.
Wuohooooo!
2008 aku masih bocah SMP kelas dua mas. Masih polos-polosnya wkwkwk dan saat itu mulai diajak ke warnet buat bikin Friendster dan main game-online hahaha
Tapi sama, aku juga dulu gandrung sama Friendster. Suka aja gonta-ganti background, kasih animasi, tulisan grafis, blink-blink, dan macem-macem hahaha.
2008 aku lulus SMA dan masuk kuliah
Whahahahahaa.
Kalau inget masa-masa friendster, berasa alay banget ya wkwkwk.
Brrti kita beda 4 taon ya mas 😀
mungkin, hahaha