Trip Review: 16 Jam di Atas KA Bogowonto

 

16 jam bukanlah waktu yang lumrah untuk perjalanan Kereta Api (KA) Bogowonto yang wara-wiri di lintas Lempuyangan-Pasar Senen. Dalam waktu normal, perjalanan dari Jogja ke Jakarta tersebut biasa ditempuh dalam 8-9 jam saja. Tapi, Jumat (24/02) yang lalu, durasi perjalanan kereta membengkak hingga dua kali lipat karena sebuah bencana alam yang tidak terduga.

Jumat siang, enam jam sebelum keberangkatan saya ke Jogja, saya menerima chat di WhatsApp dari Mas Joe.

“Mas, weekend ini gak nyepur ke Jogja?”

Nyepur kok mas. Naik Bogowonto jam 21:45. Menopo mas?”

Tidak ada pikiran buruk apapun. Saya pikir Mas Joe juga berminat pergi ke Jogja di akhir pekan kemarin.

“Banjir di lintas Cirebon-Tegal mas. Arah Semarang dan YK kena semua. Banjir bandang, ballast pada hanyut.”

Isi pesan itu membuat saya kaget karena seharian saya tidak membuka portal berita apapun. Segera saya mencari tahu di Mbah Google perihal banjir yang menerjang jalur kereta paling vital di Jawa itu. Ternyata berita banjir ini adalah berita sungguhan, bukan hoaks. Jalur KA di lintas Ciledug-Ketanggungan yang menyambungkan Cirebon dan Purwokerto tidak bisa dilalui karena luapan air dari Sungai Cisanggarung menutupi rel dan menghanyutkan kerikil-kerikil di sekitar rel. Akibatnya, jika nekat ditembus, perjalanan kereta pasti sangat membahayakan. Selain di lintas Ciledug-Ketanggungan, banjir juga merendam jalur KA lintas utara di Losari. Akibatnya, kereta api dari Jakarta yang menuju Semarang/Yogyakarta atau sebaliknya harus memutar dan mengalami keterlambatan parah.

 

Tetap berangkat

Meski banjir, saya tetap berangkat ke Jogja mengingat di Sabtu pagi, saya harus menghadiri upacara wisuda seorang sahabat. Menyedihkan sekali rasanya jika momen wisuda itu saya lewati, apalagi di siang harinya kami sudah sepakat akan berfoto studio bersama.

Pukul 18:00, setelah pekerjaan selesai, saya segera berangkat ke Stasiun Pasar Senen. Dalam perjalanan, saya coba terus memantau perkembangan terkini di akun Twitter KAI. Hasilnya sedikit menggembirakan. Katanya, pada pukul 16:55 satu jalur rel di Ciledug sudah berhasil dilalui. KA pertama yang berhasil melintas adalah KA Gaya Baru Malam Selatan tujuan Surabaya Gubeng. Walau begitu, antrean panjang kereta api tetap terjadi dan penumpang diharap untuk memaklumi.

Sesampainya di Stasiun Pasar Senen (PSE) tidak ada pengumuman apapun perihal banjir. Di Twitter KAI pun disampaikan bahwa pemberangkatan KA Bogowonto hari itu berjalan normal. Di jalur 3 stasiun sudah tersedia rangkaian KA Menoreh tujuan Semarang Tawang yang berangkat tepat pada pukul 20:30. Saya pun berasumsi bahwa KA Bogowonto yang akan membawa saya ke Jogja nanti tetap berangkat sesuai jadwal pada pukul 21:45. Mungkin PT. KAI punya rangkaian cadangan, pikir saya. Saat itu rangkaian asli Bogowonto masih tertahan di Ciledug, menunggu giliran untuk melewati banjir.

Tapi, kabar buruk pun datang. Setelah penumpang melakukan boarding, barulah pihak stasiun mengumumkan bahwa tidak ada rangkaian cadangan untuk KA Bogowonto sehingga mau tidak mau kami harus menanti rangkaian yang saat itu sedang berjuang melintasi banjir. Pada pukul 21:30 dikabarkan kereta api telah berangkat lepas dari Stasiun Cirebon Prujakan.

“Kami memohon maaf atas keterlambatannya. Diperkirakan KA Bogowonto akan tiba di Stasiun Pasar Senen pada pukul 00:30 dan diberangkatkan kembali pukul 01:00.”

Penumpang pun kecewa karena banyak yang sama sekali belum mengetahui perihal banjir ini.

“Kalau tahu gini kan aku bisa tidur dulu di rumah,” kata seorang perempuan di sebelah saya.

Layar pemberitahuan di PSE yang tidak akurat sama sekali

Tapi, karena bencana alam memang tidak terelakkan dan tidak terduga, sebagian penumpang (termasuk saya) memilih maklum. Sambil menunggu kedatangan kereta, banyak penumpang leyeh-leyeh di peron. Ada yang sambil makan, bermain ponsel, juga ada yang tidur pulas. Kondisi ini mengingatkan saya akan mudik lebaran.

Terlambat parah dan memutar

Sesuai jadwal normal seharusnya setelah KA Bogowonto diberangkatkan, KA Tawang Jaya tujuan Semarang Poncol akan berangkat pada pukul 23:00. Tapi, akibat banjir, penumpang KA Tawang Jaya harus menunggu hingga pukul 03:00. Beruntunglah saya karena KA Bogowonto hanya terlambat 3 jam dari jadwal semula.

Pukul 00:10, KA Bogowonto dari Lempuyangan tiba di PSE. Kereta tidak dapat langsung dinaiki karena harus dibersihkan dan diisi air terlebih dahulu. Barulah pada pukul 00:45, penumpang dipersilakan naik. Saya duduk di kereta nomor 2. Sepertinya karena terlambat parah, beberapa penumpang membatalkan perjalanan. Kursi di sebelah dan depan saya pun kosong. Padahal di hari Jumat kursi kosong adalah sesuatu yang hampir mustahil.

Pukul 00:52, semboyan 35 dibunyikan dan KA Bogowonto pun berangkat meninggalkan PSE. Ada sedikit lega karena bisa tetap berangkat ke Jogja. Jika perjalanan nanti memakan waktu 10 jam, saya masih tetap bisa menghadiri wisuda dan foto-foto. Teman saya sudah membooking sesi pemotretan pada pukul 14:00. Aman, pikir saya.

Selepas jam dua dini hari, sebelum kereta melintasi Cikampek saya tertidur dan baru terbangun sekitar jam empat pagi. Tapi, ada sesuatu yang aneh. Kereta terasa lebih lambat dan terdengar bunyi gesekan antara roda dan rel gongsol yang banyak dijumpai di daerah pegunungan. Padahal, jika kereta melintasi jalur utara menuju Cirebon, kecepatan kereta pasti di atas 80 km/jam karena lintasannya lurus.

Saya menatap ke luar jendela, mencari tahu bilamana ada stasiun yang dilewati. Tak lama kemudian, kereta melintasi sebuah stasiun kecil bertuliskan “Stasiun Maswati”.

Alamak! Ternyata kereta tidak melewati jalur yang semestinya. Kereta diputar melalui jalur Bandung yang adalah jalur pegunungan, makanya kecepatannya menjadi lambat, berkisar 40 km/jam. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 04:30 dan kereta baru melintasi Stasiun Padalarang. Dari Bandung ke Jogja masih terbentang jarak 388 kilometer dan setengah dari lintasannya adalah lintas pegunungan. Perjalanan normal Jogja-Bandung menggunakan KA Lodaya memakan waktu 8-9 jam. Semakin kecil harapan saya untuk bisa menghadiri wisuda dan melakukan foto studio hari itu.

Pukul 04:50 KA Bogowonto terhenti di sinyal masuk Stasiun Bandung, tepat di bawah jembatan Pasirkaliki. Beberapa penumpang yang semula tertidur mulai terbangun dan bertanya-tanya “Ini di mana?” Tidak ada pemberitahuan sama sekali bahwa kereta akan memutar melalui Bandung. Barulah pada pukul 05:00 petugas memberikan pengumuman bahwa perjalanan kereta harus memutar untuk menghindari antrean panjang di lintas utara.

Selain KA Bogowonto, KA-KA lainnya seperti Senja Utama Solo, Taksaka, Argo Lawu, Argo Lawu Fakultatif, Bima, Jaka Tingkir, dan lainnya diputar melalui lintas selatan karena jika memaksa lewat lintas utara, bisa jadi waktu tempuh malah semakin membengkak. Tapi, opsi memutar ini pun tidak menghindarkan kereta dari keterlambatan, mengingat jalur Priangan dari Cikadongdong-Bandung-Banjar yang bergunung-gunung dan hanya single track, maka durasi perjalanan pun jadi bertambah.

Pukul 05:45 KA Bogowonto masih tertahan di Stasiun Bandung karena harus berbagi jalur dengan KA-KA lainnya dari timur yang menuju Jakarta.

Pukul 06:30 KA Bogowonto tiba di Stasiun Kiaracondong. Di sini KA berhenti selama dua menit untuk menaikkan snack dan air minum yang akan dibagikan kepada penumpang. Sebagai kompensasi atas keterlambatan ini, penumpang diberikan sarapan pagi berupa satu bungkus Roma Malkist dan sebotol air mineral merek Prima.

Setelah kereta kembali berangkat, saya tertidur lagi karena badan terasa lelah.  

Sekitar pukul 09:00, KA tiba di Stasiun Cipeundeuy dan berhenti selama 15 menit untuk pengecekan rem. Di sini saya sudah mengabari sahabat di Jogja bahwa saya tidak bisa mengikuti rangkaian acara wisuda, mulai dari acara syukuran makan-makan hingga foto studio. Dia menyayangkan sekali, tapi akhirnya maklum karena ini memang bencana alam yang tidak terhindarkan.

Pukul 11:00 KA Bogowonto tiba di Stasiun Banjar. Di sini petugas menaikkan konsumsi makan siang berupa nasi goreng yang dibeli dari restoran Pringsewu. Entah berapa modal yang dikeluarkan PT. KAI untuk memberikan kompensasi makan siang ini. Setelah kereta melewati Stasiun Sidareja, barulah makan siang ini diedarkan.

Penumpang melemaskan badan dengan keluar kereta sejenak

Meski dongkol karena terlambat, saya melihat bahwa PT. KAI tetap mengupayakan kenyamanan penumpang. Dua jenis makanan yang dibagikan sepanjang hari itu buat saya cukup untuk membuktikan pelayanan PT. KAI yang berorientasi kepada pelanggan. Setahu saya, sebelum reformasi kereta api, pernah terjadi kecelakaan di lintas utara yang mengakibatkan keterlambatan parah. Saat itu banyak penumpang kelaparan hingga mengamuk karena dibiarkan terkatung-katung berjam-jam tanpa adanya makanan.

Singkat cerita, perjalanan ke Jogja hari itu berakhir pada pukul 15:00 dan disambut dengan hujan deras saat KA Bogowonto mengakhiri perjalanannya di Stasiun Lempuyangan.

Akhirnya tiba di Jogjaa

Pelajaran setelah 16 jam di atas kereta

Di satu sisi, saya kecewa karena maksud hati datang ke Jogja untuk menghadiri wisuda, eh malah gagal karena insiden yang tidak terduga. Tapi, di sisi lainnya saya turut bersyukur karena alih-alih mengupayakan kereta asal berangkat, PT. KAI tetap memprioritaskan keselamatan penumpang. Seraya jalur yang terimbas banjir diperbaiki sesegera mungkin, penumpang dipersilakan tetap berangkat walaupun harus memutar jauh dan mengalami keterlambatan.

Dan, ada satu hal lain yang turut saya pelajari di sini. Tidak ada yang berharap kereta mengalami terlambat, baik itu penumpang maupun perusahaan. Tapi, ketika keterlambatan karena bencanaterpaksa terjadi, para kru kereta mulai dari masinis, pramugara/pramugari, kondektur, polsuska, juga petugas kebersihan harus bekerja ekstra. Kadang, sebagai penumpang saya jarang melihat dari sisi sebelah sini. Sisi yang saya lihat hanyalah dari sisi pribadi saya sendiri, bahwa kereta terlambat dan itu merugikan saya, titik.

Namun, selama perjalanan yang panjang itu saya belajar untuk melihat dari sisi seberang. Mulai dari tengah malam para petugas kebersihan terus wara-wiri dari kereta ke kereta. Mereka memastikan AC bekerja dengan baik, mengecek kondisi kebersihan kamar mandi, dan juga membawa kantong plastik hitam besar untuk mengambili sampah penumpang satu per satu. Jika sebagai penumpang yang sepanjang perjalanan hanya duduk saja sudah merasa lelah, terlebih lagi mereka yang selama 16 jam itu harus tetap bertugas. Tapi, mereka tetap bisa menjalankan tugasnya dengan senyum tersungging di wajah. Dua jempol untuk mereka!

Pada intinya, tidak ada yang ingin bencana terjadi. Tapi, melalui bencana, manusia jadi belajar. PT. KAI berupaya untuk memperbaiki rel agar tidak mudah terendam banjir. Para petugas kereta belajar untuk tetap memberikan pelayanan prima. Dan, para penumpang pun belajar untuk memaklumi keadaan.

 

6 pemikiran pada “Trip Review: 16 Jam di Atas KA Bogowonto

  1. Hmm aku baru sadar mas. Oiya ya, yg jd korban sbnernya bukan hanya penumpang semata. Melainkan seluruh tangan yg bekerja dalam layanan kereta api. Memang benar, PT KAI adalah penyedia jasa transportasi. Namun jika hanya menyalahkan satu pihak dalam hal ini penyedia jasa. Saya kira juga kurang tepat. Mereka juga harus bekerja ekstra lagi karena terjadinya hal ini. Pun karena faktor alam yg tidak bs diprediksi.

    Antisipasinya sudah jauh lebih bagus drpd rinja bbrp waktu yg lalu. Yg bahkan tanpa pemberitahuan sama sekali ttg terganggunya perjalanan kereta. Saya pikir berarti memang kritik kita sudah didengarkan. Dan perusahaan tidak tutup mata atas bbrp kekurangan yg selama ini terjadi.

    1. Yoi mas.

      Tp aku kepikiran, seandainya waktu itu warga tidak ada yang melihat longsor/banjir, lalu kereta bablas maju, apa ntr gak bakal jadi PLH seperti Malabar yang dulu nyungsep di Tasik ya?

  2. Aku membayangkan betapa lelahnya 16 jam menempuh perjalanan Senen Yogyakarta. Bukan fisik saja tapi juga batin ya Mas.. tapi apa mau dikata ini kan faktor alam

    1. Iya mbak.
      Karena minggu lalu memang curah hujan di daerah Jateng sangat tinggi, sampai2 di daerah Brebes juga terjadi longsor.

      Kalau sudah ada insiden seperti ini, keselamatan penumpang tetap harus jadi yang pertama, walau kenyamanan harus dikorbankan.

      Tapi saya salut dengan kinerja yang cepat dari PT. KAI, mulai hari Minggu jalur KA sudah dapat dilalui dengan normal kembali.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s