Tulisan ini adalah cerita dari hari kedua perjalanan saya di Lasem.
Hari itu adalah hari Minggu. Sebelum kami menjelajah ke rumah pembuatan batik Nyah Kiok, Mas Pop (tour leader kami) mengajak kami untuk sarapan dulu ke warung pecel.
“Ini pecelnya beda. Uenak banget,” kata Mas Pop. Dengan mata agak melotot dan jempol yang diacungkan, dia meyakinkan kami bahwa warung pecel yang akan kami sambangi nanti bukan warung pecel biasa.
“Ah, masa?” saya mengernyit.
Sepengetahuan saya, yang namanya pecel itu cuma sayur-sayuran rebus yang disiram dengan bumbu kacang. Kadang rasanya sedikit pedas. Plus ditambah rempeyek. Dari Kroya hingga Banyuwangi yang pernah saya singgahi, penampakan dan rasa pecel itu mirip-mirip saja.
Se-spesial apa sih pecel yang akan kami santap nanti sampai Mas Pop bilang “uenak banget”? Apakah porsinya jumbo? Apakah pedasnya luar biasa? Atau, jangan-jangan penjualnya cantik jelita? Semua rasa penasaran ini tersimpan di dalam hati hingga kami pun tiba di warung pecel yang Mas Pop banggakan.
Jeng…jeng..
Kami berhenti di pekarangan rumah tua yang terletak di pinggir jalan raya Lasem-Jatirogo. Sepintas tak tampak keistimewaan apapun dari rumah ini. Bangunannya joglo. Atapnya ditopang dua tiang kayu yang sudah keropos. Dinding rumahnya tampak memprihatinkan karena bilik kayunya sudah tipis. Sepertinya, jika hujan angin melanda, air bisa merembes masuk ke dalam rumah. Kemudian, saya menerawang ke sekeliling: apakah ada mbak-mbak cantik jelita yang akan melayani pembuatan pecel hari itu?
Tidak ada mbak-mbak cantik yang menghidangkan pecel di sini. Yang ada hanya seorang wanita berkerudung kelabu yang melayani setiap pembeli. Tangannya trengginas mengambil aneka sayur, menumpahkannya ke dalam piring, dan menjadi paripurna ketika bumbu kacang ditumpah ke atas sayur-sayur yang menggunung itu.
Sambil tetap menyiapkan pecel, pandangannya kali ini mengarah pada kami.
“Monggo mas, badhe pesen opo?”
“Aku pecel satu bu. Tapi bumbunya sedikit aja,” sahut saya.
Sembari menanti pecel dihidangkan, Mas Pop bertutur tentang mengapa pecel ini menjadi istimewa. Katanya, warung pecel ini adalah favoritnya sejak dulu. Penjual asli pecel ini bernama Mak Mok, namun sekitar 1,5 tahun lalu Mak Mok meninggal. Usaha pembuatan pecel ini lantas diteruskan oleh keponakannya, Widia. Usia Widia sendiri tak lagi muda. Ketika bertemu dengannya, saya memanggilnya dengan sebutan ‘Oma’. Oma Widia saat itu sedang bertugas di balik layar. Di dapurnya, dia sednag menggoreng bakwan dan tempe.
Pecel yang saya pesan tersaji di atas piring. Ukurannya kecil, tidak jumbo seperti terkaan saya. Bumbu kacangnya yang berwarna kecoklatan berpadu dengan warna hijau sayuran.
Di gigitan pertama, lidah saya cocok dengan rasa dari pecel ini. Mas Pop melayangkan senyum sembari kepalanya manggut-manggut. “Enak, toh?” tanyanya dengan yakin. Jempol kanan kuacungkan sebagai jawaban dari pertanyaan itu.
Setiap kali makan pecel di Kroya, Yogyakarta, ataupun Banyuwangi dulu, saya kurang cocok dengan bumbunya karena rasa yang terlalu pedas bagi saya yang bukan penyuka makanan pedas. Alih-alih membuat nikmat, pedas membuat saya jadi bersusah payah untuk menyantap suap demi suapnya. Tapi, pecel Oma Widia ini berbeda. Takaran pedasnya pas, tidak membuat mulut kebakaran. Dan, dalam hitungan menit, sepiring pecel pun selesai disantap.
Setelah selesai makan, kami tidak segera pulang. Saya meminta izin kepada Oma Widia untuk melihat-lihat rumahnya. Oma Widia mengizinkan, bahkan dia mengeluarkan foto-foto lawasnya lalu bertutur kepada saya.
“Ini foto saya dulu, waktu kawin sama om,” jelasnya antusias. Dua buah foto diletakkan di atas kursi plastik kusam dan reyot. Dari dua lembar foto ini, mengalirlah narasi panjang tentang perjalanan hidup Oma Widia.
Usia Oma Widia sekitar 60 tahunan. Dia memakai kacamata, badannya kurus, dan suka berbicara sampai-sampai bakwan yang sedang dia goreng pun ditinggalkannya demi meladeni saya.
“Aku dulu dioperasi. Aku kena kanker payudara. Puji Tuhan sekarang sudah diangkat.”
Oma menunjukkan pada dada sebelah kirinya, tidak ada lagi bentuk payudara di sana.
Pengamatan sekilas dari diskusi ini, tampaknya Oma Widia dan keluarganya bukanlah berasal dari kalangan yang kaya secara ekonomi. Posisi rumah Oma Widia bisa jadi clue dari terkaan ini. Oma Widia adalah warga keturunan Cina, tetapi rumahnya agak jauh dari pecinan Lasem.
Para warga Tionghoa Lasem yang cukup mapan secara ekonomi kala itu biasanya bermukim di kawasan Pecinan yang dekat dengan kota. Mereka meraup untung besar dari bisnis garam, pembuatan batik, hingga bisnis candu. Rumah-rumah mereka dibuat megah, dengan pekarangan yang luas, atap yang tinggi, juga tiang penyangga yang kokoh dari tembok. Atau, jika menggunakan kayu, kayunya pun masih terlihat kuat hingga hari ini. Untuk menunjukkan identitas ketionghaan mereka, atap rumah dibuat melancip, kemudian di beranda rumah juga dibuat pintu besar yang diapit dua jendela.
Pada zaman kolonial, pemerintahan Belanda membangun kawasan pemukiman berdasarkan etnis tertentu. Etnis Tionghoa yang diasosiasikan sebagai pedagang tidak boleh sembarangan mendirikan tempat tinggal. Mereka umumnya mendirikan bangunannya di kawasan yang berdekatan dengan pasar. Hingga sekarang, nama kampung Tionghoa itu kita sebut sebagai pecinan.
Barulah pada tahun 1910-an, setelah Belanda memberlakukan peraturan Wilkenjstenstel (peraturan tentang pemukiman), orang-orang Tionghoa diperbolehkan tinggal di luar pecinan (Raap, 2015:97). Nah, untuk bagian ini saya pun sebenarnya belum tahu dengan pasti, apakah kala itu peraturan ini juga turut diterapkan di Lasem atau tidak. Jika ya, berarti ini menjawab penasaran saya akan rumah Oma Widia. Besar kemungkinan, rumah Oma Widia dibangun pasca 1910. Berapapun tahun tepatnya, tentu usia rumah Oma Widia sudah sangat tua.
Kalau awalnya niatan ke sini cuma makan pecel, sekarang saya jadi penasaran dengan sejarah rumah Oma Widia. Apa gerangan keluarga Tionghoa ini hingga pada akhirnya mengisi keseharian sebagai penjual pecel? Ketika saya coba bertanya kepada Oma Widia tentang asal usul keluarganya, dia menjawab sudah banyak lupa. Tapi, dia bersemangat menceritakan tentang kedua anaknya.
“Kalau Oma anak-anaknya tinggal di mana sekarang?”
“Anak saya dua. Cowok dan cewek. Yang cowok sekarang sudah jadi pendeta.”
‘Pendeta’. Istilah ini mematahkan asumsi semula saya yang mengira Oma Widia sekeluarga penganut Konghucu. Di ruang utama rumahnya ada meja altar untuk sembahyang. Tapi, dugaan saya pudar tatkala saya melihat ada sebuah salib tanpa korpus yang tergantung di dinding reyot.
Pembicaraan pun bergeser menjadi semakin personal. Oma Widia bangga dengan iman yang dianutnya. Katanya, karena pertolongan Tuhan sajalah Oma Widia bisa mendapatkan kesehatannya kembali, walaupun sudah divonis menderita kanker payudara. Dan sekarang, melalui usaha berjualan pecelnya, Oma Widia sanggup memenuhi kebutuhan hidupnya.
“Oh ya Oma, kalau anaknya yang cewek sekarang di mana?”
“Oh, dia kerja jaga apotik di Lasem. Belum nikah juga,” kata Oma Widia sembari terkekeh.
Rupanya, percakapan ini didengar oleh anak perempuannya yang saat itu sedang berada di kamar. Saya melihat tirai gorden dibuka sesaat dan tatapan mata penasaran diarahkan ke kami. Sayang sekali. Terlalu singkat. Saya jadi tidak nampak seperti apakah rupa dari anak perempuan Oma Widia itu.
Tak terasa, saya dan Oma Widia sudah mengobrol selama 15 menit lebih. Oma Widia teringat akan gorengannya dan buru-buru berlari ke dapur. Saya membuntutinya karena masih ingin mengobrol. Tapi, Mas Pop mengingatkan bahwa sehabis ini kami masih harus berkunjung ke rumah batik.
Oma Widia menepuk pundak saya.
“Kamu, nanti main lagi ke Lasem ya. Ini bakwan dibawa pulang ya,” kemudian dia menyerahkan sebaskom bakwan panas buat saya.
“Waduh, jangan, jangan oma. Bakwannya kan buat dijual. Kalau dikasih buat saya nanti ndak kemakan. Eman.”
Saat saya menolak pemberiannya, raut muka Oma Widia terasa berbeda. Kemudian dia kembali membujuk saya: “Wes, dibawa saja ya? Tak bungkusin.”
Kebaikan Oma Widia hari itu menyentuh hati. Inilah hal berharga yang saya dapatkan dari perjalanan di Lasem, selalu saja ada hal-hal baik yang diberikan oleh mereka yang berhati tulus. Sebaskom bakwan yang hendak Oma Widia berikan bukanlah sekadar pemberian, melainkan sebuah ekspresi rendah hati kepada orang asing. Dari pemberian itu, terselip ketulusan Oma yang tidak menaruh curiga ketika saya hendak menjelajahi isi rumahnya. Padahal, bisa saja seharusnya Oma menaruh curiga pada saya, kalau-kalau saya akan mencuri sesuatu dari rumahnya.
Dengan lembut, saya kembali menolak Oma Widia bahwa bakwan sebanyak itu tidak mungkin saya makan seluruhnya. Lagipula, sehabis ini saya, Mas Pop, dan juga Mas Joe harus kembali melanjutkan perjalanan menaiki motor. Sulit jika harus sambil makan bakwan.
Akhirnya, Oma Widia bisa memahami penolakan saya. Dan, sebelum saya pergi, saya mengajak Oma untuk berfoto bersama.
Kunjungan singkat ke rumah Oma Widia hari itu membuat saya mengamini ucapan Mas Pop. Benar, pecel di sini adalah pecel yang paling sedap di Lasem. Sedap karena rasa yang pas, harga yang bersahabat, dan kisah sejarah yang turut hadir dalam setiap bumbu-bumbu pecelnya.
Saya akan ingat terus ajakan Oma Widia untuk suatu saat berkunjung ke rumahnya kembali. Semoga Oma Widia tetap sehat.
Warung makan oma Widia ini begitu bersahaja,ya ….
Salut dengan perjuangan hidupnya dan berhasil meramu resep bumbu pecel jadi berbeda rasa dengan pecel di tempat lain 👍
Hehehe. Iya Mas, tapi sebenarnya katanya pecel ini bumbunya warisan dari Mak Mo yang sudah meninggal beberapa tahun lalu.
Aku sendiri kurang menggali lebih dalam nih. Sepertinya masih banyak kisah menarik yg bisa digali di rumah Oma Widia, semoga nanti bisa ke Lasem lagi :))
Alamatnya dimana ini? Mw mampir kalo lewat lasem hehe
Oh jadi Oma Widia dan ibu berkerudung itu 2 wanita berbeda toh. Menarik tulisannya mas. Nggak cuma dapet info wisata, aku juga tercerahkan 😀
Tapi aku setuju, kuliner Lasem itu josss!
Bedanya, aku fans cabe, hahahaha.
wkwkwk.
Iya mas, dua orang berbeda. Tapi aku belum sempat menggali hubungan keduanya hihihi.
kita beda selera berarti mas. Aku anti banget sama cabe. Cabe sedikit aja bisa bkin aku berenti makan. Padahal dulu lahir dan besar di Bandung, yang mana banyak makanan pedes wkwk
well, orang Batak atau Minang yang nggak doyan pedes juga banyak sih, hahaha.
Aku udh batin dulu wah kalo sarapan pecel biasanya dikasih porsi jumbo. Eh kok kmrn beda, pas buat sarapan krn ga terlalu kenyang 😀
Dapat bonus pula gorengan sak plastik eh bonus cerita2 sm Oma Widia. Kayaknya kudu balik kesana lagi deh mas. Biar dikenalin sm anaknya Oma Widia eh :p
Wakakakakakakakak.
Anak wedoke nyumput ning kamar. Ora wani metu hahahahaha.
Tp emg sih, pecelnya enak. Apalagi setelah menetap lama di Jkt. Andai Jkt-Lasem bisa kepeleset doang, tiap hari dah mampir
Iya, sempet buka korden sekilas. Kirain mau ikut foto bareng hahaha
Mau ikut kamu pulang ke Semarang mas wkwkwkwk.
Duh… jadi kangen Lasem…
Ayuk ke sana lagi hihihi
*sambil berharap jatah cuti tambahan turun dari langt* wkwkwk
Nah kan.. doanya sama… wkwkwkwkwkwk…
Hehehehe. Doa para pekerja di Jakarta yg suka keluyuran ya.
Seandainya ke Lasem ada kereta, mgkin akan sering main ke sana. Tapi, sayang. Keretanya cuma sampai Semarang tok. Harus oper lagi, jadi ribet
Hahahaha.. bener banget…
Belum lagi kalau bosanya sangar.. baru mau ngajuin cuti aja mukanya dah sepa bener..
Nah iya mas.. padahal kalau ada kereta lintas pantura enak tuh ya.. uhh… andai oh andai