Melihat Kereta Api dari Selembar Kartu Pos

 

Sewaktu masih duduk di bangku SD dulu, saya sering diajak pulang kampung ke kota kelahiran ibu di Jombang, Jawa Timur. Tak jauh dari rumah tempat ibu saya dulu dilahirkan, teronggok rel tua yang tak lagi utuh. Bantalannya sudah tiada. Beberapa bagian relnya patah. Lagipula, rel itu tidaklah panjang, hanya beberapa meter kemudian terkubur di bawah bangunan rumah tembok dan jalan aspal.

“Dulu di belakang rumah ini stasiun, jadi gak perlu naik angkot,” tutur ibu saya.

Lalu, saya pun membayangkan bagaimana rupanya keadaan saat itu. Pastilah ada suara “tuut…tuutt” setiap kali kereta api melintas, seperti lagu masa kecil dulu yang liriknya berkata, “naik kereta api, tut, tut, tut…”

Bicara mengenai rel tua, di pulau Jawa ini ada banyak rel-rel tua yang masih bisa kita jumpai hingga sekarang. Tapi, walaupun sedikit rupa fisiknya dapat kita lihat, rel tua ini tak lagi bernyawa. Tak ada lagi lokomotif berbunyi “tutt….tutt” yang berjalan di atasnya. Kebanyakan rel tersebut sudah terkubur, baik oleh bangunan dan aspal, juga oleh zaman yang semakin maju. Semakin padat pertumbuhan suatu tempat, semakin besar kemungkinan rel-rel tua tersebut kembali tersisih.

Ketika saya berkunjung ke toko buku sebulan lalu, mata saya segera tertuju kepada sebuah buku yang sampulnya begitu ciamik menurut saya. Sebagai seorang pecinta kereta api, yang saban bulan bulak-balik Jakarta-Jogja, melihat buku bersampul kereta api dengan latar belakang vintage ini sungguh menarik. Segera saya memegangnya, membaca ulasan di belakangnya, membuka halaman demi halamannya, dan seketika itu juga jatuh cinta. Ingin segera membelinya. Tapi, saat melihat label harga, hati pun menciut. Buku ini cukup mahal, harganya 200 ribu. Sialnya, bulan itu saya sedang tekor sehingga keinginan memiliki buku ini pun harus ditunda.

Pucuk dicinta ulam tiba, setelah hari gajian datang, saya pun kembali ke toko buku itu dan segera meraih buku yang saya idamkan. “Sepoer Oeap di Djawa Tempo Doeloe”, demikian judul buku tersebut. Sampulnya berwarna kecoklatan dengan potret sebuah lokomotif uap tengah menghela rangkaian kereta di atas jembatan berkelok. Asap hitam membumbung tinggi, mirip seperti kereta di film Harry Potter! Walaupun foto di sampul buku ini adalah hitam putih, tapi saya dapat menangkap keagungan kereta api yang tersirat di sana. Sungguh menyenangkan akhirnya saya memiliki sendiri buku ini.

Buku dengan tebal xx+271 halaman ini ditulis oleh Olivier Johannes Raap, seorang pria Belanda yang mendalami sejarah dan bahasa Indonesia, khususnya segala sesuatu tentang Jawa. Yang menjadikan buku ini unik adalah data-data yang disajikan di dalamnya tidak hanya tertuang dalam deretan kata-kata saja. Di setiap ulasannya, Mas Oli (demikian penulis biasa disapa) menyajikan foto yang diambil dari kartu pos. Loh, kok dari kartu pos? Pada masa kolonialisme (akhir abad XIX dan awal abad XX), kartu pos adalah alat komunikasi yang umum. Pada bagian muka kartu pos, biasanya terdapat potret pemandangan alam, kota, ataupun bangunan yang dibuat manusia.

Mengapa kereta api dijadikan potret dalam kartu pos? Pada masa itu, kereta api merupakan teknologi transportasi yang mutakhir. Sebelum mobil, sepeda motor, dan pesawat terbang lumrah ditemui, kereta api adalah angkutan barang dan komunal yang efektif serta efisien. Oleh karenanya, untuk kemajuan negara, pemerintah kolonial banyak membangun jaringan kereta api di Jawa. Para fotografer pada masa itu mengabadikan potret-potret kereta api, baik itu stasiun, lokomotif, maupun proses pembangunannya di atas kartu pos dengan tujuan memberitahukan kepada dunia luar akan majunya pembangunan di Hindia-Belanda.

Manusia-manusia yang hidup pada masa itu mungkin tidak menyadari bahwa potret-potret di atas lembaran kartu pos itu kelak akan menjadi begitu berharga. Syukur kepada Mas Oli yang bersusah payah dan telaten mengoleksi kartu pos itu hingga akhirnya sayaseorang yang hidup di abad XXIdapat memahami dan melihat sedikit lebih nyata tentang kejayaan kereta api di tanah Jawa seabad lalu.

Di lembar demi lembar yang tersaji di buku ini, saya selalu menatap bagian gambar kartu pos dengan detail. Saya mencoba membayangkan kondisi yang tercetak di gambar dengan kondisi masa sekarang. Semisal, saya membayangkan rupa stasiun Bandung masa kini dengan stasiun Bandung Lama tahun 1907 yang tercetak di buku.

Pasa masa itu, stasiun Bandung masih terbuat dari kayu, dengan lokomotif uap berwarna hitam bertengger di atas relnya. Pada tahun 1930, stasiun tersebut berevolusi menjadi stasiun yang lebih besar, yang dinamai stasiun Hall. Sebutan ini ternyata masih abadi hingga hari ini. Jika melihat angkot berwarna hijau di Bandung, di situ tertulis “Cimahi-St.Hall” sebagai rute angkot tersebut. Di kanan dan kiri rel, tampak lahan masih sangat lapang. Sedangkan saat ini, jika melihat Stasiun Bandung dari atas viaduct Pasirkaliki, yang ada hanyalah pemandangan kota yang padat, walaupun deretan pegunungan di timur masih sedap dipandang. Dari buku ini, selain melihat indahnya kereta api pada masa lalu, saya pun melihat betapa masifnya pertumbuhan kota-kota di Jawa. Kota seperti Bandung yang dahulu digambarkan Parijs van Java, atau Paris versi Jawa tentu kota yang syahdu dan sejuk. Tapi, kini sebutan tersebut hanya tinggal panggilan. Tiada lagi kesan Paris di Bandung. Alih-alih menjadi kembaran kota romantis di Eropa, Bandung telah tertukar ibu. Bandung telah menjadi saudara kembar Jakarta yang sama-sama disiksa macet. Bedanya, angin di Bandung lebih sejuk daripada di Jakarta.

Cuplikan buku Sepoer Oeap di Djawa Tempo Doeloe

Dari kartu pos demi kartu pos yang disusun dan diulas oleh Mas Oli, saya pun diajak untuk melihat bahwa seiring waktu berlalu, pertumbuhan jalur rel di Jawa bukannya bertambah banyak, malahan menyusut. Pada 1940, panjang jalur rel kereta api di Jawa adalah 5.137 kilometer rel. Sekarang, jalur rel yang tersisa berada di angka 4.000 kilometer. Terjadi penyusutan lebih dari 1000 kilometer akibat jalur-jalur lintas kota yang dinonaktifkan pada dekade 1970-an.

Sayang seribu sayang. Pasca-kemerdekaan, seiring dengan semakin majunya transportasi berbasis ban karet yang secara kecepatan lebih cepat, kereta api yang beroda besi pun dianggap sebagai transportasi yang lambat. Akhirnya, kereta pun kalah saing. Sedikit demi sedikit eksistensinya terkubur. Pada masa itu, memang kecepatan kereta uap tidak lebih dari 75 km/jam (angka paling maksimal). Apalagi jika di lajur menanjak dan berkelok, kecepatannya bisa jadi sangat lambat.

Pemerintah (orde baru) menilai kereta api telah ketinggalan zaman, sehingga di dekade 1970-an, layanan kereta yang menghubungkan kota-kota kecil di Jawa pun ditutup. Rel-rel yang dulu selalu melayani lokomotif pun berubah menjadi besi tua. Bangunan stasiun yang dulu dibangun megah dibiarkan teronggok. Mirisnya, saat ini ada bangunan stasiun yang berubah jadi pasar, rumah tinggal, toko, atau bahkan hancur, seperti yang saya temui di Stasiun Parakan atau Lasem.

Sekarang, jika kita membaca berita, ada banyak kabar yang mengatakan bahwa pemerintah akan berusaha mengaktifkan kembali jalur-jalur yang dahulu mati. Tapi, tahun berganti tahun, tak pernah saya lihat rencana itu terealisasi. Saya memaklumi, karena menghidupkan kembali jalur mati memang tak semudah membalik telapak tangan. Harus ada rumah-rumah yang dibongkar. Harus ada besi-besi anyar yang dipasang. Harus ada jembatan-jembatan yang dikokohkan kembali. Harus ada stasiun yang dipugar kembali. Dan, tentunya dibutuhkan niatan dan kesungguhan hati dan juga dana yang memadai. Jika ini tidak ada, maka rencana pengaktifan jalur rel mati ini akan selamanya hanya jadi sekadar wacana. Anak cucu saya tentu hanya bisa mengenang, tanpa pernah mencicip langsung bagaimana rasanya menaiki kereta api di lintas Yogyakarta-Semarang yang konon katanya akan dihidupkan kembali.

***

Setelah 13 hari bertualang tanah Jawa melalui buku karangan Mas Oli, akhirnya pada 8 Februari 2018 saya purna tugas membacanya. Sungguh menyenangkan! Saat membacanya, saya berusaha membaca selambat mungkin, tidak ingin cepat-cepat selesai. Tapi, apa daya, halaman demi halamannya begitu seru. Sekalipun hati tidak ingin cepat selesai, tapi otak memacu saya terus untuk mengunyah setiap detail informasi yang tercetak di kertasnya. Ibarat makanan enak yang membuat nafsu makan membuncah, demikian juga dengan buku ini. Informasi dan data yang disajikan secara apik dan ciamik ini membuat hasrat keingintahuan akan sejarah menjadi bangkit.

Jika diberikan berapa rating dalam buku ini, saya akan memberi angka 9.5 dari 10. Saya tentu berharap buku ini bukanlah buku tentang kereta api di Jawa terakhir yang Mas Oli tuliskan. Saya masih ingin tahu tentang jalur rel kereta di samping jalan Slamet Riyadi Solo yang dituliskan dengan detail. Saya juga masih ingin tahu tentang jalur rel yang membentang di Bandung-Ciwidey, ataupun Banjar Cijulang, tentang bagaimana jembatan Cikacepit yang dulu menjadi jembatan paling panjang pada akhirnya tak lagi bernyawa di masa sekarang.

Ah, kereta api memang dicipta bukan sekadar sebagai alat transportasi, melainkan sebagai sebuah roda yang turut bergerak mengantarkan sebuah bangsa ke dalam peradaban. Kelak, besar harapan saya, kereta api yang ada di Jawa saat ini tetap lestari, lebih baik lagi pelayanannya. Dan tentu, semoga layanan kereta api di Indonesia tak hanya bisa dinikmati di Jawa atau Sumatra saja, melainkan juga oleh masyarakat di pulau-pulau lainnya.

Jakarta, 8 Februari 2018

Historia Vitae Magistra

Sejarah adalah guru kehidupan

Rel tua di petak Ambarawa-Bedono

——————————–

Detail Buku:

Judul:

Sepoer Oeap di Djawa Tempo Doeloe

Tahun Cetak:

Juli, 2017

Penerbit:

Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta

Isi:

Xx+271 halaman; 19×24 cm

Harga:

Rp 200.000,-

14 pemikiran pada “Melihat Kereta Api dari Selembar Kartu Pos

  1. Wah bagus bukunya, baiklah nanti akan saya beli (nanti, soalnya sekarang uangnya juga lagi belum ada, hehe). Jalur kereta api di Indonesia masih menjadi keajaiban-keajaiban arsitektur dan teknik yang sungguh indah, ya. Pantas saja banyak diabadikan dalam bentuk kartu pos sebagai pengingat bagi sanak saudara di tempat yang jauh. Duh, jadi ingin jelajah sepur Ambarawa-Bedono juga Mas, haha. Berfoto di rel bergigi yang katanya hanya ada dua di dunia itu, hehe.
    Saya setuju, bagaimanapun upaya pemerintah untuk menjangkau pelosok pulau-pulau besar dengan kereta api memang patut didukung. Mungkin dengan lebih sering naik kereta api, hehe…

    1. Iya.
      Tapi, dulu kartu pos itu benda yang cukup mahal, dan juga mungkin karena budaya literasi penduduk non-eropa kala itu masih rendah, jadi penggunaan kartu pos hanya digunakan oleh orang-orang Eropa hehehe.

      Main mas ke Bedono.
      Waktu tahun 2014 lalu, aku sempat mlipir ke rel di daerah Jambu, dan kebetulan ada warga lokal yang lagi ambil kayu mas. Mereka pakai lori, dan akhirnya aku jadi diajak naik lori sama mereka di rel bergerigi itu hhehehehe

      1. Iya Mas, kalau kaum bumiputera belum kenal dengan kartu pos. Ah, dua sisi masa lalu Indonesia!

        Wah asyik banget! Sip, mudah-mudahan masih ada yang pakai lori saat saya ke sana nanti, hehe…

  2. salam kenal Mas, jadi tertarik ingin membaca soalnya didesa saya Sampang-Cilacap waktu saya kecil ada jalur kereta di sisi jalan raya jalur Selatan Cilacap-Jogja sekarang sudah hilang, siapa tau ada di buku tersebut

    1. Wah, masnya tinggal di Sampang ya? Salam kenal juga mas :))

      Iya. Rel-rel yang ada di kawasan Cilacap kala itu adalah rel yang dibangun oleh perusahan SDS, perusahaan kereta lembah Serayu :))

        1. Wah, njauhnyaa sekarang hehehe.
          Iya mas. Seluruh rel yang ada di Jawa sebenarnya adalah buatan Belanda. Yang dibuat pasca-kemerdekaan itu adalah jalur ganda yang berdiri di samping jalur tunggal, seperti jalur di pantura, ataupun yogya-solo.

    1. Ada petanya. Tapi hanya peta Jawa secara utuh di halaman awal mas. Di bagian bab pembahasan tidak disertakan peta. Tapi, ada sepur di jalur Karawang yang turut dibahas di sini.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s