Menelisik Lorong Waktu di Kelenteng Cu An Kiong

Saat melakukan walking tour di kawasan Pecinan Jakarta beberapa bulan silam, langkah kaki saya terhenti di depan sebuah kelenteng. Puluhan umat menunaikan sembahyang dengan khusyuk. Harum dupa yang mereka bakar menyeruak hingga ke luar bangunan, seolah menghadirkan setitik kesan nirwana di atas bumi.

Namun, di hari kedua terakhir menjelang tahun 2017 ditutup, saya terkejut ketika singgah di sebuah kelenteng yang begitu jauh dari kesan yang saya dapatkan beberapa bulan lalu. Tak ada semerbak harum dupa. Tak ada umat yang berdoa khusyuk. Tak ada apapun, selain bangunan kelenteng yang akses menuju altar utamanya ditutupi pagar merah. Kelenteng ini pun tampak seperti mati suri. Tiada denyut kehidupan yang berdetak.

Kok sepi begini ya, mas?” tanya saya pada Mas Joe.

“Iya mas, kalau bukan hari khusus, gak ada umat yang berdoa, dan pagarnya ditutup.”

Kemudian suara riuh pun tiba-tiba datang. Saya pikir akan ada umat yang hendak berdoa. Tapi, saya salah. Empat orang remaja mengendarai sepeda motor. Di pelataran kelenteng, mereka memarkirkan motornya, kemudian sambil bercanda mereka berpose, mengambil foto dengan latar belakang bangunan kelenteng yang membisu.

“Pagarnya sengaja ditutup, kalau tidak, nanti pengunjung asal masuk,” tambah Mas Joe.

Terlepas dari bangunannya yang ciamik dan Instagrammable, yang namanya kelenteng itu tetap adalah tempat ibadah. Ada bagian-bagian yang dianggap suci, dan memang didedikasikan sebagai loka untuk berdoa bagi para umat. Sementara keempat remaja tersebut asyik berfoto, pikiran saya bertanya-tanya. Mengapa kelenteng yang megah ini begitu sunyi? Tidak ada lagikah umat yang berdoa di sini? Atau, memang karena saya salah tanggal saja sehingga kelenteng ini sepi?

Berangkat dari pertanyaan ini, akhirnya saya pun dibawa menjelajah lorong waktu.

Sekelumit tentang Cu An Kiong

Kelenteng sunyi yang saya sebutkan di atas adalah Kelenteng Cu An Kiong, sebuah kelenteng yang menjadi saksi hidup dari perjalanan panjang Lasem di tanah Jawa. Tidak ada catatan pasti kapan kelenteng Cu An Kiong didirikan. Tapi, berdasarkan temuan-temuan sejarah, diperkirakan bahwa Cu An Kiong dibangun pada sekitar abad ke-15 dan pernah dipugar pada tahun 1838. Karena usianya yang panjang, Cu An Kiong pun dinobatkan sebagai kelenteng tertua yang berdiri di tanah Jawa.

Di masa jayanya, sekitar tiga abad yang lalu, Lasem adalah pusat ekonomi yang mendatangkan pundi-pundi bagi para warga Tionghoa juga warga pesisir lainnya. Warga Tionghoa di Lasem adalah mereka yang pergi meninggalkan tanah leluhurnya di Tiongkok Selatan untuk mencari penghidupan baru yang lebih baik. Jika ditilik dari gaya bangunannya, Cu An Kiong memang mengadopsi arsitektur khas Tiongkok bagian selatan pada masanya. Atapnya dinamai dengan nama “Ying Shan” yang bentuknya menyerupai ekor walet.

Saat saya mencari tahu lebih jauh tentang kelenteng ini melalui Google, di sana tertulis bahwa sekitar tahun 1800-an, Lasem pernah menjadi daerah dengan populasi Tionghoa terbanyak se-wilayah Pantura Jawa. Fakta ini membuat saya terbelalak, tapi kemudian bertanya-tanya. Jika dahulu ada begitu banyak orang Tionghoa di Lasem, tentu kelenteng ini penuh semarak. Tentu kelenteng ini penuh asap dupa yang harum. Tentu pula kelenteng ini selalu ramai oleh umat. Tapi, di hari ketika saya berkunjung, imaji tersebut tidak selaras dengan apa yang tersaji di depan mata saya. 

Tak hanya kelenteng Cu An Kiong yang tampak seperti mati suri, saat saya singgah ke Kelenteng Babagan (Gie Yong Bio), kesan serupa pun saya dapatkan. Sunyi, sepi, dan tanpa aroma dupa. Tapi, di kelenteng ini saya mendapatkan kisah sejarah yang menarik. Fakta bahwa pada masa lalu ada banyak orang Tionghoa di Lasem adalah benar. Namun, ada fakta lain yang hendak disajikan di kelenteng ini.

Di sayap kanan bangunan kelenteng, terdapat sebuah ruang kecil yang di dalamnya terdapat patung atau kimsin Panji Margono, seorang adipati Lasem yang hidup pada masa kerajaan Mataram awal abad ke-18. Jika dewa-dewa lainnya sangat bercorak Tiongkok, kimsin Panji Margono sangat Njawani, alias begitu Jawa. Dalam rupa patung, Panji Margono mengenakan busana Jawa, juga duduk di dalam rumah limasan.

Selidik demi selidik, kehidupan yang terjalin harmonis antara warga Tionghoa dan Jawa di Lasem diusik oleh kehadiran Belanda, lewat alat dagangnya yang bernama VOC. Ketika peristiwa Geger Pacinan di mana orang-orang Tionghoa di Batavia dibantai pada tahun 1740, sebagian dari mereka melarikan diri ke berbagai kota, termasuk Lasem. Kala itu, penguasa Lasem bersama warga Tionghoa mendeklarasikan perang terhadap VOC. Namun, nahas karena pasukan VOC berhasil memukul mundur mereka dan Raden Panji Margono pun terbunuh dalam salah satu pertempurannya.

Kisah sejarah tentang pertalian yang erat antara warga Jawa dengan Tionghoa di Lasem ini tersimpan rapi di dalam kelenteng.

Kala surya Lasem mulai meredup

Seiring berjalannya waktu, Lasem yang dahulu semarak karena geliat ekonominya pun mulai meredup. Di awal abad ke-21 ini, para warga Tionghoa, terutama generasi yang lebih muda tidak lagi tertarik untuk tinggal di Lasem. Jika dahulu Lasem pernah berjaya dan menyandang status sebagai karesidenan, kini statusnya tak lebih dari sebuah kecamatan yang saban hari jalannya dilalui hilir mudik truk-truk dan bus-bus besar. Para generasi muda keturunan Tionghoa pun memilih pergi merantau ke kota-kota besar yang dianggap lebih menjanjikan. Otomatis, tatkala Lasem ditinggalkan para warga Tionghonya, Kelenteng Cu An Kiong, juga kelenteng lainnya pun turut merasakan dampaknya. Umat menjadi berkurang, hingga akhirnya kelenteng pun menjadi sunyi.

Bak Gayung bersambut. Keinginan saya untuk tahu lebih banyak tentang Lasem pun terwujud keesokan harinya. Ketika saya, Mas Joe, dan Mas Pop tengah berjalan-jalan ke Pasar Lasem, kami bertemu dengan seorang wanita yang mengenakan kerudung coklat. Mas Pop berbincang singkat dengannya, kemudian wanita itu mempersilakan kami bertiga untuk singgah ke rumahnya.

Rumah tua bercat putih ini lokasinya sangat dekat dengan pasar, hanya selemparan batu. Di dalam rumah tua inilah, kisah keluarga wanita berkerudung tadi dimulai. Tatkala kami masuk ke dalam pelataran rumah, seorang bapak tua bermata sipit pun menyambut kami.

Saya masih bingung dengan siapa gerangan pemilik rumah ini. Namun, Mas Pop segera memberi penjelasan singkat bahwa bapak tua di depan saya adalah pemilik dari rumah tua ini. Saya mengangguk tanda paham, kemudian mengajukan beberapa pertanyaan kepada sang bapak yang saya panggil dengan sebuta “Opa”.

“Opa, saya Ary, dari Jakarta,” sapa saya memperkenalkan diri.

Dari perkenalan singkat inilah lahir sebuah diskusi yang panjang. Kala Mas Pop dan Mas Joe asyik mengobrol, saya malah larut dalam pembicaraan hanya berdua bersama Opa. Tatapan Opa tajam, seperti menerawang ke kejadian masa lalunya. Opa bertutur bahwa saat ini dia sudah tidak lagi tinggal menetap di Lasem.

“Semua barang wes tak dol. Biar aku gak keingat-ingat masa lalu lagi,” tuturnya.

Semenjak sang istri meninggal, Opa yang dikaruniai tiga orang anak pun memutuskan untuk meninggalkan Lasem dan menetap bersama anak bungsunya di Sidoarjo. Rumah yang dulunya digunakan juga sebagai tempat membatik, kini lowong. Banyak barang sudah dijual oleh Opa, dengan alasan supaya saat dia berkunjung ke sini, dia tidak lagi sedih. Anak kedua Opa saat ini berada di Amerika, sedangkan anak pertamanya menetap di Lasem dan menikah dengan warga lokal. Setiap tiga bulan sekali, Opa selalu menyempatkan dirinya untuk pulang kampung ke Lasem, menengok anak pertama dan rumah kelahirannya.

“Itu anak pertama saya,” kata Opa sambil menunjuk wanita berkerudung yang tadi kami temui di pasar.

Saya baru ngeh. Ternyata wanita tadi adalah putri dari Opa. Setelah saya perhatikan saksama, ternyata memang ada kemiripan. Mata mereka sipit dan jika dia tersenyum, senyumnya sama persis seperti senyuman Opa.

“Opa, kalau lagi di Lasem, Opa masih sering ke Kelenteng Cu An Kiong tidak?” tanya saya yang sedari kemarin masih penasaran dengan kelenteng itu.

Opa menggeleng. “Aku wes gak ke Kelenteng lagi. Sekarang aku gak ke sana,” katanya.

Saya menggali lebih dalam apa alasan yang mengakibatkan Opa tak lagi ke kelenteng. Opa pun bertutur. Opa dilahirkan dari keluarga Konghucu, hingga dia dewasa dan berkeluarga pun dia adalah seorang Konghucu. Opa juga pernah menjabat sebagai pengurus di Kelenteng Cu An Kiong. Akan tetapi, pada tahun 2002, sebuah peristiwa yang mengubahkan iman dan kehidupan Opa terjadi. Mungkin saya menyebutnya sebagai suratan takdir.

“Waktu itu anakku sakit jantung, kata dokter wes gak bisa sembuh. Aku coba segala cara, tapi tidak ada yang berhasil,” tuturnya dengan nada sedikit meninggi.

Di tengah kekhawatirannya akan kesembuhan anaknya, Opa berusaha menemui banyak dokter. Tapi, jawaban yang didapat sama. Kecil kemungkinan untuk si bungsu bisa sembuh.

Singkat cerita Opa bertutur bahwa dia mendapatkan mukjizat. Anaknya yang sakit sembuh secara mendadak dan sejak saat itu Opa memenuhi nazarnya. Opa tidak lagi pergi ke kelenteng, melainkan ke gereja. Keputusan Opa ini sempat menimbulkan pertanyaan bagi orang-orang terdekatnya. Namun, dengan pengalaman personal yang sungguh-sungguh dialami inilah Opa meyakinkan orang-orang terdekatnya bahwa inilah jalan hidup yang Tuhan tentukan untuknya.

Sekarang, setelah Oma meninggal dunia, keluarga Opa menjadi keluarga yang beragam. Anak pertama Opa memutuskan menjadi seorang Muslim dan menikah dengan seorang warga Lasem. Pernikahan mereka pun dikaruniai seorang putri cantik yang lincah dan cerdas mengutarakan kata-kata.

Saat Opa mengambil jeda di tengah cerita penuturannya, saya melayangkan pandangan ke sekeliling rumah. Dindingnya yang kokoh menjadi cerita akan perjalanan panjang kehidupan Opa, juga setitik dari dinamika kehidupan warga Tionghoa Lasem. Di pintu kamarnya terdapat tempelan stiker yang isinya ayat Alkitab, juga di beberapa bagian atas pintu terdapat tulisan aksara Tionghoa yang berfungsi sebagai jimat. Sedangkan di dinding dekat televisi tertempel poster-poster berisikan huruf-huruf Arab. Rumah tua ini menyajikan harmoni. Ya, harmoni akan tiga iman yang hidup bersama.

Sampai di titik ini akhirnya saya mengerti. Ada dua hal yang menjadi alasan di balik sepinya kelenteng Cu An Kiong. Pertama, migrasi generasi muda Tionghoa ke luar Lasem mengakibatkan jumlah warga Tionghoa pun semakin menyusut. Kedua, karena alasan yang sangat personal, beberapa orang memilih untuk mengikuti jalan kehidupannya masing-masing, termasuk juga tentang pilihan iman.

“Kelenteng memang sepi. Tapi, kalau hari besar, ramai kok,” kata Opa.

“Kapan Opa ramainya?” tanya saya antusias.

Kekhawatiran saya pun meredup. Saya takut apabila Cu An Kiong dan kelenteng lainnya hanya akan menjadi seonggok bangunan yang mati suri. Rasanya sedih jika bangunan yang sarat nilai sejarah ini diabaikan.

Tapi, syukurlah karena di hari-hari perayaan besar, Cu An Kiong tetap memikat. Ada umat-umat dari luar Lasem yang datang ke sini. Dengan adanya umat, tentu kelestarian Cu An Kiong sebagai rumah ibadah dapat terus berlangsung. Semoga Cu An Kiong dan Lasem tetap lestari. Plus, besar harapan saya agar kawasan Lasem bisa dilindungi dengan status sebagai kawasan cagar budaya. 

Lasem – 31 Desember 2017

Bersama Opa dan cucu perempuannya

15 pemikiran pada “Menelisik Lorong Waktu di Kelenteng Cu An Kiong

  1. Semakin hari, tulisanmu semakin ciamik Bro.. Tanpa melihat lokasi, aku bisa membayangkan tempat itu dengan membaca tulisanmu ini..

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s