Menjelang libur tahun baru kemarin, rekan-rekan di kantor bertanya: “Libur nanti mau ke mana?”
“Ke Lasem,” jawab saya.
Mereka mengernyit dan bertanya lagi, “Di mana tuh?” Kemudian saya pun menjelaskan panjang lebar tentang Lasem dan setumpuk rasa penasaran yang mendorong saya untuk pergi ke sana.
Tidak seperti Bali dan Jogja yang begitu disebut namanya banyak orang langsung tahu, kalau nama Lasem disebut, mungkin beberapa orang harus berpikir dulu dan menerka-nerka di mana lokasinya berada. Saat ini Lasem hanya menyandang status sebagai sebuah kecamatan yang terletak di timur Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Padahal, dua abad lalu, Lasem berjaya sebagai nadi ekonomi, juga harmoni kebudayaan yang berpadu manis. Sekarang, kisah kejayaannya seolah membisu ditelan riuhnya bus-bus dan truk besar yang saban hari melintasi jalan arterinya.
Saat hari keberangkatan menuju Lasem tiba, saya sudah tidak sabar melihat seperti apa rupa Lasem yang sesungguhnya. Selama ini, imaji Lasem yang saya tahu hanyalah sebuah kota kuno yang sarat sejarah. Tapi, sejarah apa? Bagaimana kisah sejarah itu? Saya tidak tahu persisnya. Rasa penasaran untuk mencari jawaban inilah yang akhirnya membawa saya pergi meninggalkan Jakarta di akhir tahun untuk mengecap sendiri bukti sejarah yang masih tersisa itu.
Hari Jumat, 29 Desember malam. Tepat jam sebelas, kereta api Tawang Jaya berangkat dari Stasiun Pasar Senen. Perjalanan sampai ke Semarang Poncol memakan waktu tujuh jam. Setibanya di Semarang, perjalanan belum selesai. Bersama Mas Joe, seorang blogger yang sebelumnya sudah menanti saya di depan stasiun, perjalanan pun berpindah moda transportasi: dari roda besi menjadi roda karet. Di atas bebek matik, kami berdua melibas jalanan Pantura yang dihiasi truk-truk besar dan bis-bis yang menganggap jalanan bak sirkuit. Setelah hampir empat jam, kami tiba di Kecamatan Lasem.

Kalau kami hidup 50 tahun yang lalu, mungkin kami tak perlu bersusah mengendarai sepeda motor menuju Lasem karena saat itu ada jalur kereta yang menghubungkan Semarang dengan kota-kota di Pantura sebelah timur. Namun, saat pemerintahan Soeharto berkuasa, moda transportasi komunal berbasis rel dianggap lambat dan kalah saing dengan bertumbuhnya kendaraan seperti bis dan mobil. Rel-rel sepanjang jalur Semarang-Kudus-Pati hingga Lasem pun akhirnya dibiarkan terbengkalai hingga sekarang hanya tersisa bekas-bekasnya saja.
Saat melewati jalan Pantura Lasem pertama kali, sekilas tak tampak ada sesuatu yang istimewa dari kecamatan ini. Seperti kota-kota kecil lainnya di jalur lintas antar provinsi, Lasem tak begitu ramai. Truk-truk berporos enam roda atau lebih selalu hilir mudik. Sesekali klakson bus “Indonesia” rute Semarang-Surabaya memekik dan mesinnya meraung-raung. Di mata saya, tak terpikirkan sama sekali jika kecamatan ini dulu pernah begitu masyhur.
Rasa sangsi itu belum sepenuhnya sirna tatkala Mas Joe menepikan motor di depan sebuah rumah tua.
“Jadi ini tempat kita menginap, mas?”
Mas Joe menjawab saya dengan mengangguk.
Di depan kami berdiri sebuah rumah tua yang dibangun pada kisaran tahun 1920. Tak diketahui siapa pemilik pertama rumah ini. Namun, sekarang rumah ini dimiliki oleh Santoso Soesantio yang berdomisili di luar Lasem. Sejak beberapa tahun silam, rumah ini dijadikan guest house bagi para pelancong yang ingin menikmati Lasem. Penampakan luarnya membuat saya agak bergidik. Seram. Tapi, atas nama rasa penasaran dan ingin tahu sejarah, saya sangat sepakat untuk menjadikan rumah ini sebagai tempat bermalam selama dua hari di Lasem.

Selain kami berdua yang bermalam di sana, Mas Pop, seorang penggiat pariwisata dan sejarah di Lasem pun turut hadir bersama dengan kami. Jika ada tamu yang berkunjung, Mas Pop bertugas untuk menemani tamu tersebut di rumah. Namun, berhubung siang itu Mas Pop sedang kedatangan serombongan tamu dari Surabaya, maka kami pun diminta untuk pergi menjelajah sendiri. Setelah beristirahat selama lebih kurang dua jam, saya dan Mas Joe pun memulai eksplorasi Lasem.

Lasem adalah sebuah lorong waktu
Etape pertama dari penjelajahan kami siang itu adalah menyisiri jalanan di kampung Karangturi. Dulu, wilayah ini adalah Pecinan yang dihuni oleh warga keturunan Tionghoa. Rumah mereka besar-besar dan tampak kokoh. Jika ditilik dari segi arsitekturnya, rumah ini dibangun dengan gaya Fujian yang nuansa Tiongkoknya amat kentara. Seperti rumah-rumah orang Tionghoa kuno pada umumnya, tampak depan rumah mereka dihiasi dengan dua jendela dan pintu besar di tengah-tengahnya. Juga, di ruang utama rumah terdapat meja kayu kokoh yang berfungsi sebagai altar pemujaan terhadap leluhur.

Jika ditilik dari sisi sosial, ukuran rumah yang besar juga merupakan indikator akan status ekonomi keluarga tersebut. Para warga keturunan Tionghoa yang hidup di Pecinan kala itu bisa dikatakan sukses secara ekonomi. Mereka berdagang, bertani garam, merintis usaha batik, bahkan juga ada yang berbisnis candu. Usaha-usaha inilah yang kemudian berkembang dan menjadikan Lasem sebagai motor ekonomi pada masanya. Sekitar tahun 1815, Lasem adalah kota yang memiliki populasi warga keturunan Tionghoa terbanyak di Pantura.
Namun, kejayaan itu perlahan-lahan surut. Keturunan berganti dan generasi yang lebih muda pun lahir. Jika di abad 19 dan 20 Lasem dipandang sebagai pusat ekonomi yang benderang, di abad 21 ini Lasem kehilangan semaraknya dan meredup. Rumah-rumah besar yang dahulu pernah menjadi saksi kekuatan Lasem pun kini ditinggal merana. Kelenteng-kelenteng yang dulu pernah riuh dipenuhi umat berdoa, kini sunyi dan tanpa semarak. Memang ada beberapa rumah yang masih terawat dan dihuni oleh keluarga. Tapi, kebanyakan rumah-rumah di Pecinan telah kosong. Ketika generasi yang lebih tua meninggal, generasi yang lebih muda tidak serta merta memilih untuk tinggal dan menetap di Lasem. Janji akan karier dan penghidupan yang lebih baik di kota besar sedikit banyak mempengaruhi mereka untuk hijrah dan meninggalkan Lasem sebagai bagian dari kenangan mereka.

Saat saya singgah ke sebuah rumah tua gudang kerupuk, Oma yang empunya rumah tampak asyik dengan kalkulatornya seorang diri. Saya melirik satu per satu foto-foto keluarga yang dipajang di dinding rumah.
“Kamu mau lihat-lihat ya? Masuk aja nggak apa-apa,” tanpa saya meminta, Oma mempersilakan duluan.
Rumah oma ukurannya besar. Ada kebun bunga di dalamnya. Namun, di rumah sebesar ini, Oma hanya tinggal seorang diri. Suaminya telah meninggal, sementara ketiga anaknya memilih untuk merantau ke luar Lasem.

“Anaknya ibu ada tiga, semuanya merantau di luar kota. Satu ada di Jakarta, satu di Surabaya, dan satu di Bandung. Kalau yang di Bandung yang suka nengok ibu di sini,” tutur seorang pekerja di pabrik kerupuk kepada saya.
Kunjungan singkat di rumah gudang kerupuk pun diselingi dengan hujan. Kami tak bisa pergi lebih jauh. Akhirnya, ditemani rintik gerimis, kami singgah ke sebuah rumah tua yang lokasinya tak begitu jauh.

Opa Lo Geng Gwan, begitulah orang-orang menyebutnya. Wajahnya sayu, rambutnya putih, dan di antara hidung dan mulutnya tumbuh kumis yang bersemi. Tatkala kami menepikan sepeda motor di depan pintu gerbang rumah tuanya dan mengetuk, kami segera disambut dengan gonggongan seekor anjing. Tapi, tak lama kemudian Opa pun datang dan mempersilakan kami masuk.
Hari itu adalah kali pertama saya bertemu dan mengetahui tentang Opa Lo Geng Gwan. Di tahun 2017 kemarin, usia Opa sudah melampaui 86 tahun. Punggungnya bungkuk dan jalannya cukup tertatih. Tapi, beliau begitu bersemangat mempersilakan saya menjelajahi seisi rumahnya yang begitu kental dengan nuansa kekunoan.

Rumah Opa Gwan dibangun dan dimiliki oleh keluarga Lo. Selain sebagai rumah tinggal, di awal abad ke-20, rumah ini juga dijadikan sebagai pabrik batik. Sekarang usaha batik itu sudah tutup. Tak ada lagi aktivitas batik-membatik yang terjadi di sini. Halaman belakang yang dulu riuh akan aktivitas pembatikan, saat ini jadi kebun yang sunyi dan kotor.

Sehari-harinya, Opa Gwan tinggal berdua ditemani oleh Mbah Minuk. Saya mendengarkan penuturan Opa dengan saksama. Dalam bahasa Indonesia yang dicampur bahasa Jawa, Opa bertutur bahwa beberapa tahun yang lalu juga terdapat Oma Lim Luan Niang yang tinggal bersama mereka. Namun, Oma telah meninggal dunia terlebih dahulu dan menyisakan Opa bersama Mbah Minuk berdua. Menariknya, Opa dan Oma ternyata bukan sepasang suami istri. Sejatinya, almarhum Oma adalah sepupu dari Opa yang sama-sama tidak menikah dan menikmati kehidupan di Lasem. Sementara itu, Mbah Minuk adalah orang yang dipercayakan untuk merawat Oma. Namun, karena Oma telah mangkat, maka saat ini Mbah Minuk bertugas merawat Opa dan juga rumah tuanya.
“Aku dulu ora tau pulang mas. Semasa Oma ada, ya aku gak pernah pulang. Kalau sekarang, sesekali aku bisa pulang,” tutur Mbah Minuk.
Saya sendiri tidak terlalu paham apa yang membuat Mbah Minuk mau menerima tanggung jawab untuk tinggal dan merawat Opa dan Oma di Lasem. Mbah Minuk lahir di Tuban, dan keluarganya banyak terdapat di sana. Namun, dari nada bicaranya saya menangkap bahwa Mbah Minuk merasa terpanggil untuk merawat Opa dan Oma, dan dia pun menerima Lasem sebagai bagian dari kehidupannya.
Sembari kaki saya melangkah masuk ke setiap sudut rumah, Opa menemani saya berjalan. Dalam hati saya merasa takut dan tidak enak. Tapi, Opa tetap bersemangat menemani saya dan bertutur tentang bagian-bagian rumah tersebut.
Rumah tua ini sangat tua. Saya merasa seperti dibawa pergi ke lorong waktu menuju dua abad yang lalu. Suasanya redup karena penerangan yang seadanya. Hening karena tak ada piranti elektronik yang menyala. Kuno karena terdapat meja altar dan perabot lawas lainnya yang dibiarkan teronggok berdebu.
Dalam suasana hening, tiba-tiba Opa menyahut.
“Opa gak kawin, jadi sendiri. Kamu jangan seperti Opa!” suara Opa meninggi.
Saya terhenyak. Apa gerangan Opa berkata demikian?
Saya mengangguk dan menjawab, “ Iya, Opa.”
Saya kagum dan menaruh hormat sebesar-besarnya kepada Opa dan Mbah Minuk. Tak terbayang bagaimana rasa sepi yang setiap hari harus mereka hadapi. Tanpa sanak famili dan segala akses teknologi, mereka melewati hari-hari mereka.
Di sini saya merasa tertegur. Kadang, di Jakarta saya merasa kesepian karena kebanyakan teman tinggal berjauhan. Tapi, ketika saya melihat Opa dan Oma, saya merasakan betul bahwa kesepian yang saya alami tiada bandingnya dengan apa yang mereka alami. Namun, dalam suasana rutinitas yang sunyi, mereka tetap dapat tersenyum dan memberikan pelayanan yang terbaik kepada setiap tamu yang singgah di kediaman mereka.
Di akhir obrolan saya dengan Opa dan Oma, Opa menunjuk sebuah foto di beranda rumah.
“Itu engkong. Engkong yang bangun rumah ini,” katanya.
Dalam tradisi Tionghoa, bakti dan hormat kepada orang tua adalah hal yang paling pokok. Saat seorang anak tidak berbakti pada orang tua dan leluhurnya, maka anak tersebut dicap tidak baik. Ketika Opa menunjukkan foto Engkong, saya pikir itu merupakan salah satu wujud baktinya. Walau Engkong telah tiada, tapi Opa tetap berbakti kepadanya dengan jalan memilih tinggal menetap dan merawat rumah tua yang dia huni saat ini.

Tak terasa, lebih dari satu jam sudah saya dan Mas Joe habiskan di kediaman Opa Gwan. Ketika hari semakin sore, kami undur diri. Kami bersalaman, dan tak lupa menyelipkan sedikit rupiah kepada Mbah Minuk sebagai ungkapan terima kasih kami atas kesediaan mereka menyambut kami di rumahnya.
Sebelum kembali ke penginapan, kami pergi sejenak ke pantai Caruban. Melihat gelombang laut Jawa yang dihiasi langit mendung, saya jadi berpikir: Lasem itu luar biasa.
Lasem tak cuma menyajikan lorong sejarah untuk ditelusuri, tapi cerita-cerita dari warga di balik dinding rumah tua itulah yang mengetuk hati, menggetarkan perasaan, dan membangkitkan semangat saya untuk lebih dan lebih lagi mensyukuri kehidupan. Inilah sekelumit tentang Lasem yang membuat saya, dan tentunya juga Mas Joe terpikat.
Kisah jelajah Lasem di hari pertama akan saya tutup di sini.

Rumah Opa Gwan juga pernah Aq singgahi ketika pertama kali saya pindah tugas di Rembang , saat menelusuri kota tua Lasem , dan saya juga berfoto ria dengan opa gwan serta mbok minuk . Saat ini Rumah tua Lasem banyak yang di pugar .
Halo Mas Jack.
Sepertinya ruman Opa Gwan cukup terkenal yaa hehehe. Banyak juga yang pernah ke sana.
Salam kenal ya mas.
rumah guest house nya serem ya, horor banget, sini main ke magelang aja kak, aku temeni jalan jalan (pengen belajar lebih tentang kota kelahiranku sendiri)
Halo Mas War,
Tampak depannya saja yang horor. Kalau sudah di dalam sih nyaman kok. Ada nuansa masa lalu yang kentara hehehe.
Kalau Magelang aku sudah cukup sering sih ke sana. Tapi cuma melintas aja. Biasanya ke Temanggung. Tp aku suka sekali mampir ke Kedung Kayang 🙂
kapan main ke magelang lagi kak
(kabar kabar ya)
Siap mas :))))
Saya kepengen bertemu dengan Opa Lo dan menelusuri juga rumahnya 😊
Monggo mampir ke Lasem mbak, tepatnya di Gang Karangturi :))
Cuman sekali ke Lasem di akhir 2011, itupun sampe sana malem, trus pagi-paginya sudah melipir untuk bantu teman yang sedang penelitian, sorenya lalu pindah ke Kudus, ahaha
Jadi belum melihat Lasem seperti yang dikisahkan di atas, sempat ada rencana tahun kemarin untuk berkunjung, ya namanya juga rencana, sering gagalnya…wkwkw
Mas Jo emang jos kalau nemenin jalan-jalan yang beginian…ahahaha
Hihihi. Harus disempatkan ke Lasem lagi dong mas hehehe.
Mas Jo emg terbaek 😀
Seharusnya sih kita bisa masuk rumah2 nemun opa-oma yg lain😁
Baru dua aja udh dpt cerita banyak ya. Sedih satu per satu oma-oma disana sudah berpulang😢
Iya mas.
Waktunya juga mepet sih ya.
Semoga ada waktu lain bisa ke sana ya mas 😄
Wisata sejarahnya seru Mas. Kasihan sama Opa Gwan,tapi nasehatnya betul juga sih. Tuh Mas,disuruh cepet cepet kawin eh salah nikah maksudnya,hehehe.
Hahahahahaahahaha.
Iya mbak. Aku juga bingung, kok bisa tiba-tiba dia menasehati seperti itu hihi. Mungkin itu ekspresi batin dia supaya kelak tidak ada orang yang mengalami kesepian seperti dia,. Mungkin seperti itu hehehe
jangan sampai kayak Opa ya…
wk wk wk wk wk wk
hadehh
Yap… Mas.. ternyata kita berada di Lasem pada hari yang sama.. hahaha…
Sayang banget kemarin ngga banyak mampir ke rumah2 tua itu. Namun Lasem sangat istimewa dengan warganya yang begitu ramah dan siap menolong.. dengan keberagaman yang hidup berdampingan..
Waaaaaahhhhhh.
Sayang banget 😦
Pdhal kalau tahu, kita sama-sama bisa jelajah bareng ya mbak.
Iyaa.. jadinya saya juga ngga ngeblank sendirian yah.. 😭😭
Hihihi. Iya mbak.
Btw, mbaknya dari kota mana nih asalnya?
Aku dari Bogor Mas.. Mas dr mana?
Bandung mbak aslinya. Kuliah di Jogja. Lalu, sekarang bekerja di Jakarta 😀
Hehe.. ternyata kita tetanggaan kota ya.. 😄