Berawal dari Blog, Berlanjut Jadi Teman Seperjalanan

Saat mulai menulis di blog setahun lalu, tidak banyak ekspektasi yang muncul di benak kala itu. Pokoknya menulis untuk sekadar mengekspresikan hobi dan uneg-uneg. Itu saja, tidak lebih.

Tapi, di akhir tahun ini, ada sesuatu yang terjadi melampaui ekspektasi saya dulu. Jika waktu itu saya menganggap menulis di blog hanya sekadar menulis, hari ini saya menyadari bahwa dunia blog-blogan itu bisa jadi lebih luas daripada sekadar menulis. Dari blog inilah pada akhirnya saya mendapatkan teman baru, seorang yang juga ternyata penikmat sejarah dan kereta api.

Nama teman itu adalah Mas Joe, si pemilik lapak ruangsore.com. Perkenalan kami dimulai dari saling membaca tulisan dan melontarkan komentar. Kemudian, saat saya singgah ke Semarang di Agustus lalu, kami pun menyempatkan diri untuk bertemu. Singkat cerita, pertemuan selama tiga jam itu malah membangkitkan semangat kami untuk melakukan penjelajahan bersama. Saya mengusulkan untuk bagaimana jika pergi ke Lasem, karena saya belum pernah ke sana dan penasaran. Tanpa tedeng aling-aling, mas Joe setuju dan seminggu kemudian saya memesan tiket kereta api untuk keberangkatan di 29 Desember 2017.

Tiga bulan berselang, hari penjelajahan menuju Lasem dimulai. Segala urusan menginap dan alur jelajah sebelumnya sudah disiapkan terlebih dulu oleh mas Joe. Saat kereta Tawang Jaya yang saya tumpangi tiba di Stasiun Poncol pada pukul enam pagi, mas Joe telah menanti di depan parkiran stasiun dan kami pun segera bertolak menuju Lasem.

Perjalanan sejauh 130 kilometer ini sebenarnya bisa ditempuh selama 3 jam dengan melaju di kecepatan standar. Tapi, belum sampai satu jam berkendara, kami tertimpa sial. Ban motor belakang tiba-tiba pecah saat melibas jalanan yang bergelombang dan berlubang. Alhasil, kami harus berjalan kaki dan mendorong motor hingga menemukan tukang tambal ban terdekat. Puji syukur karena tak sampai 500 meter, ada tukang tambal ban yang sudah siap sedia. Untuk perbaikan, kami harus membayar 40 ribu karena ban dalam motor tersebut tidak bocor, melainkan sobek. Jadi, mau tidak mau harus mengganti ban dengan yang baru.

Perjalanan pun berlanjut. Kali ini laju motor harus diturunkan sedikit, mengingat kondisi jalanan yang tidak rata. Jika terlalu ngebut dan menabrak lubang, tentu tidak baik untuk ban motor. Jam sebelas siang, kami tiba di Kecamatan Lasem dan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan penjelajahan ke Pecinan.

Lasem, sebuah kota tua yang memikat

Mas Joe dan saya adalah seorang penyuka sejarah. Saat kami mengobrol via Whatsapp beberapa bulan lalu, dengan antusias kami saling bertukar cerita ataupun rasa penasaran tentang tempat-tempat yang akan disinggahi nanti di Lasem.

Lasem menyajikan dua dimensi untuk kita nikmati: modern dan kuno

Mas Joe sebelumnya sudah pernah singgah ke Lasem dan dengan apik menuliskan kesan perjalannya di sini. Membaca tulisannya, saya jadi penasaran dengan kota ini. Buat saya pribadi yang baru pertama kali singgah di Lasem, kota tua ini bak sebuah misteri yang masih terbalut selimut. Tak banyak cerita tentang Lasem yang terkuak dan menyebar di permukaan. Salah satu bacaan tentang Lasem yang membuat saya semakin yakin untuk berkunjung ke sana adalah tulisan-tulisan yang dimuat di National Geographic.

Di sana dituliskan bahwa kota ini dahulu merupakan kota dengan populasi etnis Tionghoa yang besar, namun hidup bersinergi dengan warga Jawa. Hingga pada paruh abad ke-18, warga Tionghoa dan Jawa bersekutu untuk melawan VOC. Namun, perjuangan mereka pun dikalahkan oleh kompeni, dan ketika zaman telah tiba di abad ke-21, nama Lasem tak lagi secerah dulu. Lasem hanya menjadi sebuah kota kecamatan kecil yang dilalui oleh jalur Pantura. Kejayaan Lasem kini tak lagi gemilang. Lasem hanya ramai saat musim mudik tiba karena jalanannya dipakai oleh ribuan pemudik yang hendak bergegas ke kampung halamannya.

Namun, bersama Mas Joe dan seorang guide lokal yang menemani perjalanan kami selama tiga hari, Lasem yang meredup ini ternyata sedang berjuang untuk memancarkan pesonanya. Saat kami berjalan menyambangi satu per satu rumah tua, di sinilah kami paham bahwa ada cerita panjang yang tersembunyi di balik dinding rumah pecinan yang tinggi. Saat rumah-rumah tua tersebut meregang nyawa karena ditinggalkan pemiliknya, di situlah ada sepenggal sejarah yang sangat menarik untuk didengar. Ada rumah tua yang masih setia dijaga oleh pemiliknya walaupun dia tinggal sebatang kara. Ada pula rumah tua yang disulap menjadi toko atau restoran. Tapi, ada juga rumah tua yang akhirnya sunyi dan rusak karena kehilangan penghuninya.

Selama dua hari di Lasem, kami mencoba menggali remah-remah sejarah. Kami menyambangi kelenteng, makam, pabrik, rumah kosong, pasar, juga warung untuk menikmati remah-remah sejarah tersebut. Dan, pada akhirnya, penjelajahan di Lasem adalah perjalanan yang menyenangkan karena kami diperkaya dengan cerita sejarah yang membantu kami untuk menatap masa kini dan masa depan dengan lebih jernih.

Cerita ini adalah cerita pembuka dari perjalanan Jalancerita dan Ruangsore ke tanah pusaka di utara Jawa.

20 pemikiran pada “Berawal dari Blog, Berlanjut Jadi Teman Seperjalanan

  1. Waaah.. saya juga baru saja pulang dari Lasem.. Kota yang unik sekali.. Betul Mas..banyak rumah yang sudah kehilangan penghuninya.. Entah sampai berapa lama lagi bisa bertahan…

      1. Amin…
        Saya juga berharap begitu Mas.. Jangan sampai kejayaan Lasem hilang begitu saja dan tak dikenal lagi. Eh iya.. kemarin saya melihat di tembok Tiongkok Kecil Heritage katanya Lasem sedang didaftarkan menjadi UNESCO Hetitage Site pada tahun 2016. Mungkin Mas tahu bagaimana progressnya saat ini?

          1. Ah..syukurlah… setidaknya sudah ada satu langkah maju dari pemerintah setempat ya.. eh iya Mas.. sempet masuk Lawang Ombo ga? *penasaran nih gara2 ga berhasil masuk

            1. Sama mbak.
              Walau terlihat kecil, tapi ada bnyak hal yg bisa digali di Lasem dan Rembang.

              Aku pengen ke sana lagi, ke pelabuhan Tasik Agung dan singgah ke vihara-vihara di Rembang. Kemarin ini belum sempat

    1. Buat saya pribadi sih bisa mbak.
      Ada tempat-tempat yang nyaman, salah satunya pohon trembesi yang saya jumpai di selatan kecamatan hehehe.

      Nanti saya akan tulis dan upload lebih banyak gambar :))

Tinggalkan Balasan ke audhina Batalkan balasan