Kematian adalah sebuah misteri. Begitulah ungkapan yang pernah saya dengar. Kita tidak pernah tahu kapan kematian datang menjemput, apalagi tentang bagaimana caranya. Di hari Minggu pagi yang tenang, saya terkejut ketika mendapatkan kabar duka dari seorang rekan kuliah dulu. Di usianya yang belum mencapai 25 tahun, dia mengalami kecelakaan tunggal saat berkendara sepeda motor. Nyawanya tak terselamatkan dan dia meninggal seketika di lokasi kejadian.
Kabar ini sungguh menyedihkan buat saya dan juga rekan-rekan lain yang mengenalnya. Belum sempat dia lulus sebagai sarjana dan menyongsong masa depan, Tuhan sudah terlebih dahulu memanggilnya, bahkan dengan cara yang sama sekali tidak terduga. Namun, di balik perasaan duka yang menyelimuti, kabar menyedihkan hari itu ternyata membawa saya kepada sebuah pertanyaan: Bagaimana denganmu? Jika kamu dipanggil hari ini, apakah kamu siap?
Pertanyaan ini membuat saya tertegun dan ragu untuk menjawab “ya” walaupun saya tahu bahwa dalam iman yang saya anut, ada jaminan menuju keselamatan. Namun, lebih jauh lagi saya merenung, saya mendapati bahwa dalam menghadapi kematian, sejatinya ada pertanyaan yang jauh lebih kompleks daripada sekadar bertanya tentang kesiapan saya. Alih-alih mendapatkan jawaban atas pertanyaan pertama, saya malah dihadang oleh pertanyaan kedua yang jauh lebih sulit dijawab. “Sudahkah kamu memberikan yang terbaik?”
Saya rasa jawaban dari pertanyaan ini adalah “belum”. Dalam refleksi pribadi, di usia saya yang telah menginjak ke-23 tahun, saya menyadari bahwa seringkali saya memilih untuk tidak memberikan yang terbaik. Terkadang saya lebih memilih untuk bermalas-malasan, ataupun menunda perbuatan yang sedianya baik dengan pemahaman bahwa hal tersebut masih bisa dilakukan di lain kesempatan. Akan tetapi, apakah kesempatan kedua pasti datang? Jawabannya belum tentu. Seperti kepergian teman saya yang mendadak, sekali lagi saya tidak pernah tahu kapan garis kehidupan di dunia ini akan berakhir. Di balik ketidaktahuan tersebut, yang bisa saya lakukan hanyalah mempersiapkan diri seolah-olah hari ini adalah hari terakhir dalam kehidupan. Pemahaman ini bukan bertujuan supaya kita hidup dalam kepanikan, melainkan agar kita dapat lebih menghargai waktu-waktu yang ada.
Pada akhirnya, saya dan mungkin juga Anda tentu sepakat bahwa tidak semua hal dalam kehidupan dapat kita ketahui dan kendalikan, termasuk tentang kapan dan bagaimana kematian akan menjemput kita. Namun, satu hal yang saya imani adalah bahwa ketika kematian itu datang menjemput, Tuhan melakukannya seturut dengan kebijaksanaan-Nya. Kerangka berpikir-Nya terlalu rumit untuk dipahami seorang manusia biasa. Tugas kita hanyalah berserah dan menggunakan waktu-waktu yang ada sebaik mungkin karena apapun di bawah kolong langit ini akan berakhir pada waktunya.
Kiranya kenyataan ini tidak membuat kita ciut hati, melainkan berbesar hati untuk melakukan yang terbaik selagi masih diberikan kesempatan.
Selamat jalan kawan, kiranya kamu berbahagia bersama Sang Khalik di keabadian.
Konon, selalu ada buah dari suatu refleksi—yang sejujur diri.
(PS: fotonya mantap sekali)
Betul :))
Btw, itu fotonya saya ambil dari situs penyedia foto gratis: unsplash.com 🙂
mengingatkan kita semua bahwa kematian bisa kapan saja .. tapi kalau yang “dipanggil” masih muda apalagi orang yang kita kenal .. bikin shock …
kapan pun itu, kita harus siap di panggil Tuhan.. hanya Tuhan yang tahu… Setiap hari kita harus bisa melakukan yang terbaik, baik kepada sesama manusia yang se agama maupun tidak seagama.
okedech mantp
Betul. Kadang saya ngeri klo dengar kematian. Tapi juga bersyukur bahwa hidup saya agak lama dari mereka yang meninggal di usia muda. Kadang hal semacam itu membuat termotivasi untuk terus berusaha dan menghargai kehidupan. Sejujurnya saja, saya agak belum siap kalau kematian itu datang. Masih berpikir bahwa masih begitu banyak hal yang ingin saya lakukan di dunia. Tetapi memang benar, tidak ada yang akan bisa memahaminya kebijaksanaan-Nya. 😀
Ya mas 🙂
Ada bagian dalam hidup yang memang ditetapkan untuk menjadi misteri 🙂