Pengalaman Pertama dan Terakhir Terbang Bersama Kalstar

 

“Ayo, ayo, isi kursi yang depan dulu,” ucap seorang pramugari dalam balutan seragam oranye. Kursi saya seharusnya di nomor 5A, namun karena instruksi pramugari yang membebaskan penumpang duduk tersebut, kursi saya di depan akhirnya sudah diduduki orang lain terlebih dulu.

“Kursi saya di sini mbak, tapi sudah ditempati,” sanggah saya. “Di belakang masih ada kosong mas, diisi saja bebas.” Selama beberapa kali naik pesawat, baru kali ini saya diminta duduk di kursi yang nomornya tidak tertera di dalam boarding-pass. Mirip seperti angkot ya, pikir saya.

Siang itu, di awal Januari tahun 2015 yang mendung kelabu, saya merasakan sensasi pertama kali terbang menggunakan maskapai Kalstar dari Semarang menuju Ketapang, Kalimantan Barat.

Sejak jam sebelas siang saya sudah tiba di Bandara Ahmad Yani, Semarang. Menurut jadwal, pesawat yang saya tumpangi akan lepas landas dari Semarang pada pukul 14:30. Saya sengaja datang lebih awal supaya meminimalisir kemungkinan terlambat. Proses check-in berlangsung mulus dan singkat. Hanya, karena barang bagasi yang terlalu banyak, saya harus membayar biaya tambahan sebesar tujuh ratus ribu rupiah. Tapi, saya tak terlalu ambil pusing karena saat itu saya pergi untuk perjalanan dinas. Jadi, semua biaya ditanggung oleh kantor.

Di boarding pass tertera bahwa nomor kursi yang akan saya duduki adalah 5A, agak di depan dan persis di samping jendela. Sambil menanti waktu boarding, saya iseng mengecek di situs Flightradar perihal informasi pesawat apa yang akan saya tumpangi nanti. Di situs tersebut saya ketikkan kode penerbangan saya: KD-934, lalu keluarlah tabel berisikan informasi penerbangan, mulai dari posisi terakhir pesawat hingga usia pesawatnya pun bisa dilacak di sana. Penerbangan saya menuju Ketapang akan dilayani menggunakan armada pesawat berregistrasi PK-KSU. PK adalah kode untuk negara Indonesia dalam dunia aviasi, dan KSU adalah kode registrasi pesawatnya. Saat saya menanti di Bandara, pesawat PK-KSU tengah bersiap melakukan pendaratan setelah perjalanan dinasnya dari Sampit. 

Jam satu siang, langit yang semula cerah telah berganti menjadi mendung pekat. Tak lama hujan deras pun turun. Pesawat yang sedianya dijadwalkan berangkat jam setengah tiga pun akhirnya menjadi terlambat selama satu jam. Karena faktor cuaca, penumpang pun memaklumi keterlambatan ini tanpa menggerutu.

Tepat jam setengah empat, panggilan boarding untuk seluruh penumpang KalStar tujuan Ketapang pun diumumkan. Sambil menutupi kepala dari tetesan air hujan, saya dan puluhan penumpang lainnya mengantre untuk masuk ke dalam pesawat yang hanya bisa dimasuki melalui pintu belakang.

Hujan turun saat pesawat hendak mengudara

Nomor kursi di boarding pass ternyata hanya pajangan belaka, alias tidak berlaku. Entah karena saat itu situasi sedang hujan dan pesawat mengalami keterlambatan maka seluruh penumpang diminta duduk secara acak, atau memang budaya perusahaannya seperti itu. Saya beruntung karena mendapatkan kursi nomor 12A, kursi yang agak belakang tapi tetap di samping jendela.

Suasana kabin pesawat riuh karena penumpang saling berebut mencari kursi. Lalu, ruang penyimpanan barang di atas kabin pun sudah terisi penuh. Akibatnya beberapa penumpang ada yang menggerutu dan sepanjang penerbangan duduk sambil memangku bawaannya.

Setelah seluruh kursi terisi penuh, pintu pesawat pun ditutup. Dari balik jendela, baling-baling hitam yang tadinya diam mulai berputar, makin lama makin kencang dan menciptakan bunyi bergaung yang menurut saya ngeri-ngeri sedap. Sementara itu, di dalam kabin dua orang pramugari memperagakan prosedur keselamatan. Berhubung ini adalah kali pertama saya terbang menggunakan pesawat propeller alias baling-baling (yang katanya menyeramkan), saya memperhatikan betul setiap instruksi pramugari. Kalau-kalau pesawat ini celaka, setidaknya saya tahu apa yang harus diperbuat.

Kiri: baling-baling mulai berputar | Kanan: konfigurasi tempat duduk di dalam kabin

Pesawat ATR 72-600 secara ukuran tidak sebesar pesawat Boeing 737 atau Airbus A320 yang banyak digunakan di Indonesia. Pesawat ini kapasitasnya hanya 50-70an penumpang saja dan ketinggian jelajahnya berkisar di 15,000 kaki (pesawat boeing dan airbus sekitar 35,000 kaki). Karena ketinggian jelajahnya yang lebih rendah, pesawat jenis ini lebih sering menabrak awan. Bisa ditebak jika pesawat menabrak awan, maka hasilnya adalah pesawat akan berguncang, atau dalam bahasa aviasi bisa disebut sebagai turbulensi. Sebenarnya fenomena turbulensi adalah sesuatu yang lumrah dalam penerbangan. Tapi, sebagai penumpang, jika sudah berada di atas pesawat, goncangan sekecil apapun bisa membuat jantung merasa was-was.

Satu minggu sebelum keberangkatan saya, pesawat Air Asia QZ8501 rute Surabaya-Singapura terjatuh dan bangkainya ditemukan di perairan Teluk Kumai, perairan yang nantinya akan dilalui oleh pesawat yang saya tumpangi. Mengingat kisah ini membuat saya jadi agak bergidik. Tapi, saya cukup terhibur ketika mengetahui usia pesawat yang saya tumpangi ini masih sangat belia, baru sekitar 2 tahun. Berarti pesawatnya masih bagus, pikir saya.

Jam empat kurang, pesawat KalStar pun lepas landas meninggalkan tanah Jawa menuju bumi Borneo. Sepuluh menit pertama, pesawat terus mendaki untuk mencapai ketinggian jelajah 15,000 kaki. Sepanjang masa sepuluh menit inilah suasana kabin terasa tegang. Penumpang di sebelah saya memejamkan matanya sambil memanjatkan doa. Demikian juga dengan penumpang-penumpang lainnya. Cuaca hujan membuat pesawat sering berguncang. Melihat ke luar jendela pun tidak menyembuhkan rasa takut karena pemandangannya hanya awan kelabu dan tetesan air.

Setelah pesawat mencapai ketinggian jelajah, lampu kenakan sabuk pengaman pun dipadamkan. Ada satu toilet tersedia di pesawat ini sehingga beberapa penumpang yang ingin buang air jadi mengantre ke bagian depan pesawat. Setelah dua puluh menit mengudara, awan kelabu mulai tersibak. Dari balik jendela saya dapat melihat Laut Jawa terhampar luas di bawah. Sesekali terlihat ada pulau-pulau kecil ataupun kapal-kapal yang terlihat seperti maket atau miniatur. Lima belas ribu kaki mungkin tidak terlalu tinggi untuk daya jelajah pesawat, tetapi jika pesawat ini berguncang-guncang, pemandangan di luar jendela terasa jadi mengerikan.

Lampu kenakan sabuk pengaman kembali menyala. Rupanya pesawat kembali menghadapi turbulensi. Namun, syukurlah karena turbulensi ini ringan sehingga pesawat hanya berguncang sedikit. Saat pesawat mulai mendekati daratan Kalimantan, dari balik jendela saya bisa melihat ada kapal-kapal yang wara-wiri. Jumlahnya cukup banyak karena saat itu proses evakuasi terhadap korban jatuhnya Air Asia sedang gencar dilakukan.

Menjelang pendaratan, suasana kabin menjadi hening kembali. Penumpang yang tadinya mengobrol lebih memilih untuk duduk tenang sambil melipat tangan atau melayangkan pandangannya ke luar jendela. Dalam hitungan menit setelah pengumuman pendaratan disiarkan, pesawat KalStar yang saya tumpangi akhirnya mendarat dengan mulus di Bandar Udara Rahadi Osman, Ketapang, Kalimantan Barat.

Tiba dengan selamat di Bandara Rahadi Osman, Ketapang

Berbeda dengan Bandara Soekarno Hatta yang besar, Bandara Rahadi Osman ukurannya mungil. Landas pacunya hanya sanggup didarati oleh pesawat seukuran ATR saja. Jika nekat didarati oleh pesawat seperti boeing 737, mungkin akan berakhir dengan overlap alias nyungsep.

Menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di tanah Kalimantan membuat saya sungguh bahagia. Tapi, terlebih dari itu, saya lebih bahagia karena akhirnya bisa merasakan pengalaman terbang menggunakan pesawat baling-baling, dan selamat pula!

Pengalaman terbang selama 1,5 jam bersama KalStar dan ATR 72-600 adalah pengalaman pertama sekaligus (mungkin) terakhir buat saya karena sejak 30 September 2017, Kementrian Perhubungan menghentikan operasional penerbangan maskapai Kalstar sampai waktu yang belum ditentukan.

Saya tentu berharap Kalstar dapat menyelesaikan masalah internalnya supaya bisa kembali mengudara dan menjadi jembatan penghubung antara Jawa dengan kota-kota kecil di Kalimantan.

Pantai Air Mati, Ketapang, Kalimantan Barat

 

2 pemikiran pada “Pengalaman Pertama dan Terakhir Terbang Bersama Kalstar

  1. Cerita adik saya yang tinggal di Tarakan, maskapai ini di stop karena ada beberapa rute belum berizin,jalan duluan baru urus izin,dan ketahuan. Dampaknya Tarakan-Malinau yang biasanya ada Kalstar yang agak besar pesawatnya, kini tersisa pesawat kecil Susi Air.

    1. Wah 😦
      Cukup sedih mendengar berita kalau maskapai ini berhenti beroperasi. Pesawat ATR yang digunakan KalStar tentu lebih nyaman ketimbang pesawat kecil seperti yang digunakan oleh Susi Air hehehe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s