Perjalanan di atas kereta ekonomi selalu membuahkan banyak cerita. Kali ini ceritanya adalah tentang perjuangan cinta yang membuat jarak tak lagi berasa. Antara Jogja dan Jakarta terbentang jarak 500 kilometer lebih. Tapi, karena satu alasan—cinta—lima ratus kilometer itu tak lagi berarti.
Seperti biasanya, jam tiga lima belas sore saya sudah berdiri di peron nomor dua Stasiun Lempuyangan. Dalam hitungan menit, Kereta Api (KA) Bengawan yang akan membawa saya ke Jakarta akan segera datang. Ratusan calon penumpang sudah mengambil ancang-ancang. Belum sempat kereta berhenti dengan sempurna, beberapa dari mereka langsung menyambar pintu dan segera merangsek masuk ke dalam.
Saya duduk di kereta nomor tiga kursi 24E. Di depan saya sudah duduk sepasang suami istri yang baru selesai menunaikan agenda bulanan untuk menengok anaknya yang kuliah di Jogja. Sedangkan di sebelah saya duduk seorang pemuda yang tangannya selalu menggenggam ponsel.
Kereta pun berangkat, melaju perlahan meninggalkan Stasiun Lempuyangan.
Duduk berhadap-hadapan rasanya tidak enak jika saling diam, maka bapak di depan saya pun membuka obrolan.
“Turun di mana mas?” tanyanya pada mas di sebelah saya.
“Saya di Pasar Senen pak.”
“Kalau masnya?”
“Saya juga di Pasar Senen pak,” jawab saya sambil mengangguk.
Dari sebuah pertanyaan sederhana tersebut lahirlah obrolan panjang yang isinya curhat akan pengalaman hidup masing-masing.
Pemuda yang duduk di sebelah saya, sebut saja namanya Hafidz, dia adalah seorang penglaju Jakarta-Jogja. Jika saya wara-wiri Jogja-Jakarta setiap sebulan sekali, frekuensi dia lebih banyak, sebulan dua kali—pergi di Jumat malam kembali di Ahad pagi.
“Istri saya di Jogja pak. Jadi saya sebulan dua kali pulang.”
“Oalah. Kok gak mau cari kerja di Jogja aja masnya? Atau istrinya diboyong ke Jakarta?”
Hafidz menjawabnya dengan senyum dan tawa kecil.
“Hehe…belum tahu pak.”
Hafidz dan istrinya dipertemukan sepuluh tahun lalu di sebuah universitas negeri di Yogyakarta. Cinta mereka bersemi, tumbuh dan mengakar, hingga akhirnya pada tahun 2013 mereka memantapkan diri untuk menjadi satu. Mereka menikah. Namun, pernikahan tersebut tidak serta merta membuat jarak fisik menjadi dekat. Malahan, karena pernikahan inilah keduanya harus berpisah kota. Dengan alasan membutuhkan penghasilan yang lebih, maka Hafidz pun hijrah ke Jakarta sedangkan istrinya menetap di Jogja.
Saya mendengarkan cerita Hafidz dengan saksama. Bagi saya yang masih sendiri, cerita cinta seperti ini adalah sesuatu yang menarik, mungkin bisa jadi bekal untuk saya nanti jika membina rumah tangga.
Cinta adalah perkara yang unik. Karena satu alasan inilah, orang bisa berbuat macam-macam. Bahkan, sewaktu saya sekolah dulu sempat ada candaan yang berkata: “Kalau sudah cinta, tai kucing pun rasa coklat!” Candaan yang menjijikkan, tapi ingin memberi penekanan bahwa atas nama cinta, segala sesuatu bisa menjadi mungkin. Cinta bisa membuat logika menjadi tak berdaya.
Sebelas bulan silam, tatkala saya memutuskan untuk hijrah ke Jakarta, saya sempat merasa begitu sedih karena harus meninggalkan seseorang yang saya sukai di Jawa Tengah. Status antara saya dan si dia itu baru tahap pendekatan. Saya pernah “menembaknya”, tapi jawabannya “tunggu”. Atas nama cinta dan keyakinan bahwa dia adalah yang terbaik, saya tidak menyerah. Di akhir pekan yang singkat saya menyempatkan diri untuk pergi menemuinya di kampung halamannya, menaiki kereta malam di hari Jumat, kemudian kembali Minggu malam dan tiba di Jakarta saat Ahad pagi. Sekali lagi, semua itu dilakukan atas nama cinta.
Namun, jika cinta Hafidz mengakar dan bersemi, kisah cinta saya adalah kebalikannya. Perjuangan bolak-balik ratusan kilometer ternyata tidak membuat hati si dia menjadi luluh. Cinta saya tak berbalas dan cerita kami pun tamat. Seminggu pertama, saya merasa sedih. Tapi seiring waktu berlalu, saya akhirnya bisa menerima kenyataan dan justru amat berterima kasih. Kisah ini telah mengajari saya tentang perjuangan. Cinta butuh perjuangan. Namun, jika perjuangan itu tidak berhasil, bukan berarti itu gagal, mungkin bukan dialah orang yang tepat untuk menerima perjuangan itu.
Mengingat pengalaman ini membuat saya jadi tertawa kecut, betapa perjuangan saya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Hafidz yang bertahun-tahun wara-wiri demi cintanya terus bertumbuh. Walaupun perjalanan menaiki kereta api ekonomi sekarang memang jauh lebih nyaman, tetapi duduk tegak selama hampir 10 jam sepanjang malam tetap saja membuat punggung sakit. Namun, alih-alih mengeluh, karena alasan cinta-lah jarak 500 kilometer lebih pun rela ditempuh. Pertemuan sesingkat apapun dengan orang yang dicintai selalu membangkitkan semangat.
Obrolan kami akhirnya terhenti tatkala suami-istri yang duduk di depan saya menyudahi perjalanan mereka dan turun di Stasiun Sumpiuh. Mereka berpamitan, menjabat tangan kami satu-satu, kemudian melambai-lambaikan tangan mereka dari balik jendela.
Masih tersisa enam jam lebih sebelum kereta yang saya dan mas Hafidz tumpangi tiba di tujuan akhir, Stasiun Pasar Senen. Kami tak lagi mengobrol dan memilih untuk beristirahat karena di Ahad pagi, kami harus kembali bekerja, mencari nafkah untuk menghidupi keluarga.
Dalam hati saya mendaraskan doa, memohon supaya Yang Kuasa memberkati Hafidz dan keluarganya. Biarlah jarak boleh membentang, tetapi kiranya cinta mereka boleh menjadi jembatan yang kokoh.
“Dicintai dengan dalam oleh seseorang, memberimu kekuatan. Sementara mencintai seseorang dengan sangat dalam, memberimu keberanian.”
banyak kok hafidz2 di luar sana, kalau di kampung, kebanyakan laki2 nya yang merantau untuk mencari nafkah dan ketemu keluarganya bisa lebih lama frekuensinya
Iyapp. Ak prnah ktmu sama bapak-bapak, udh 17 tahun PP tiap mggu Jkt -Kawunganten 😄😄
Kalo biasanya menikah itu tinggal serumah, tp akhir2 ini saya jadi paham mas bahwa jarak itu memang bukan halangan. Banyak pasangan yg menjalani long distance marriage dg banyak alasan. Pekerjaan menjadi alasan terbanyak. Mungkin sudah menjadi tren baru dewasa ini hehe😁
Rumah tangga jarak jauh hehehehe…
Krna tuntutan jaman juga sih ya.
Jadi, mas Joe siap melakukan long-distance-relationship? wkwkwk
Pernah sih tp cm bentar wkwk.