Lawatan saya ke kaki Gunung Lawu Oktober setahun silam bukanlah sesuatu yang disengaja. Berkendara sepeda motor dari Yogya, tujuan saya waktu itu adalah mengikuti bursa pameran kerja yang diselenggarakan di Mal Solo Square. Tapi, tak ada satu perusahaan pun yang saya berminat untuk melamar. Cukup 5 menit berada di lokasi, kemudian saya keluar lagi, sambil memboyong map berisi sepuluh surat dan CV lamaran kerja.
“Jadi, gimana?” tanya teman saya yang ikut mendampingi.
“Nggak tau. Bingung.”
“Keliling Solo dulu gimana, mau gak?”
Saya mengangguk. Daripada stres karena upaya mencari kerja hari itu berujung nihil, lebih baik pergi sejenak mencari penghiburan, baru kemudian mencari-cari lowongan lain. Teman saya mengusulkan untuk pergi ke Ndoro Donker—sebuah kedai teh yang terletak di Kabupaten Karanganyar. Dari pusat kota Solo menuju Ndoro Donker terbentang jarak sekitar 40 kilometer. Jika ditempuh dengan motor, butuh waktu sekitar satu setengah jam berkendara ke arah timur.
Saya tidak tahu Ndoro Donker itu seperti apa. Berdasarkan kata orang dan kata Mbah Google, Ndoro Donker adalah destinasi wajib jika singgah di Karanganyar. Sejalan dengan Ndoro Donker, terdapat tempat wisata lain berupa Candi Sukuh, Candi Cetho, dan juga kawasan Tawangmangu yang terkenal dengan Air Terjun Grojogan Sewunya.
Berbekal informasi seadanya yang kami tangkap dari layar ponsel, kami memacu sepeda motor membelah jalanan kota Solo yang langitnya begitu cerah. Namun, tatkala kami memasuki Kabupaten Karanganyar, langit yang semula biru mendadak kelabu dan turun hujan. Tak ada jas hujan, apalagi baju ganti karena tujuan semula hanya mengikuti pameran kerja lalu pulang. Tapi, belum sempat kami menepi untuk berteduh, ternyata hujan segera berhenti dan kami tetap bisa melanjutkan perjalanan menuju Ndoro Donker.
Saya yang mengemudikan sepeda motor merasa begitu lega. “Puji syukur,” gumam saya dalam hati. Jika hujan tak reda saat itu, mungkin kami akan kebasahan dan situasi akan menjadi dilematis. Jika dilanjutkan menuju Ndoro Donker, pasti dinginnya bukan main dan tak nyaman rasanya singgah ke rumah makan tapi dalam keadaan basah kuyup. Tapi, jika memilih pulang ke Jogja pun bukan pilihan yang baik. Butuh waktu dua jam lebih hingga kami bisa tiba di rumah masing-masing.
Mengikuti papan penunjuk jalan, kami menyusuri jalanan khas pegunungan yang menanjak dan berkelok. Saat posisi kami semakin tinggi, deretan pemukiman yang sedianya ada di kanan kiri jalan telah berganti menjadi hamparan perkebunan teh yang begitu memanjakan mata.
Apa sih yang membuat Ndoro Donker itu spesial? Sebenarnya minum teh bukanlah momen yang spesial-spesial amat. Tanpa perlu jauh-jauh pergi ke kebun teh, di mana-mana kita bisa menjumpai teh dalam berbagai kemasan, dari yang paling murah sampai mahal, dari yang harus diseduh dulu sampai yang tinggal minum. Juga, selama saya tinggal di Jogja, makan atau berkunjung ke manapun saya pasti akan disuguhi dengan teh, lengkap dengan dua atau tiga sendok gula yang bisa-bisa memicu datangnya diabetes.
Tapi, minum teh di Ndoro Donker berbeda dengan minum teh di tempat lain. Saya merasakan sensasi tersendiri. Dengan tiga lembar uang sepuluh ribuan, saya mendapatkan sepoci teh jenis Oolong, pemandangan dan suasana yang begitu syahdu, plus aura sejarah yang muncul dari bangunan klasik bergaya Eropa.
Rumah Teh Ndoro Donker adalah rumah peninggalan Belanda yang tentu usianya jauh lebih tua dari kakek-nenek kita semua. Iklim di kaki Gunung Lawu yang sejuk membuat Belanda serius menggarap lahan untuk dijadikan area perkebunan teh. Setelah Belanda meninggalkan tanah Jawa, rumah ini sempat dibiarkan kosong selama bertahun-tahun, hingga akhirnya di tahun 2011 rumah ini disewakan dan dijadikan Rumah Teh yang dibuka untuk umum.
Sebelum kebun-kebun teh bertaburan di dataran-dataran tinggi tanah Jawa, teh adalah barang yang asing. Teh yang begitu familiar dengan kehidupan kita pada nyatanya baru masuk ke tanah Nusantara pada tahun 1684 setelah dibawa dari Tiongkok oleh seorang Jerman bernama Andreas Cleyer. Kala itu, biji teh tersebut hanya digunakan sebagai tanaman hias di Batavia, bukan dibudidayakan untuk dijadikan produk minuman.
Barulah di abad ke-19, teh mulai dijadikan komoditi yang serius. Lahan perkebunan teh dibuka secara besar di wilayah Garut dan Banyuwangi, kemudian terus menyebar di berbagai tempat di tanah Jawa. Hingga kini, perkebunan teh warisan kolonial tersebut masih dapat kita saksikan.
Biasanya, jika saya mendengar kisah-kisah tentang tempat peninggalan Belanda, biasanya yang terlintas di benak adalah kesan mistis dan angker. Tapi, Ndoro Donker sangatlah berbeda. Tempat ini bukan museum, apalagi penjara atau rumah sakit. Tak ada kesan angker yang tersaji di sini, walau mungkin lain cerita jika berkunjung di malam gulita. Malahan, saat saya berkunjung, suasana sedang begitu syahdu. Sambil teh Oolong menyesap di kerongkongan, semburat jingga muncul dari ufuk barat, menciptakan harmoni senja yang begitu nyaman.
Menghabiskan senja di Ndoro Donker membuat saya merasa benar-benar terhibur. Adalah benar jika saat itu status saya masih seorang sarjana bau kencur yang belum mendapatkan pekerjaan. Tapi, semburat matahari senja kala itu kembali mengingatkan saya bahwa kesusahan sehari cukuplah untuk sehari karena hari esok memiliki kesusahannya sendiri. Kekhawatiran saya pada dasarnya tidak akan bermanfaat apapun selain membuat saya sedih dan takut. Di tegukan-tegukan terakhir teh yang saya minum, dalam hati saya mendaraskan doa, memohon supaya Sang Khalik tetap sudi menuntun jalan hidup saya.
Setahun berselang sejak saya duduk dan mengecap nikmatnya teh di Ndoro Donker, sekarang saya terduduk di meja kantor di Jakarta. Ndoro Donker berjarak hampir 600 kilometer dari posisi saya, tetapi kenangan duduk di kursinya tak pernah lepas dari ingatan saya.
Saya jadi ingin ke ndoro donker! tempat yang gagal saya kunjungi waktu kesana. huhu. Menarik sekali tulisannya. Jadi berasa ikut nge-teh disana. hehe. Baca tulisan ini pun membuat saya penasaran dengan sejarah preanger planters di wilayah Karang anyar seperti apa ya. 😀
Halo mbak.
Terima kasih sudah mampir ya hehehe.
Monggo mbak, mampir ke Kemuning kalau ke Solo. Menurut saya pribadi sih tempat Ndoro Donker ini paling ciamik untuk minum teh. Harganya juga cukup bersahabat, tidak terlalu mahal. Satu teko besar seharga 30 ribu buat saya itu wajar, apalagi ditambah dengan suasana kebun teh yang nyaman.
Wah jadi pengen ke sini padahal sudah berapa kali ke Solo trus sekarang mbak tinggal di Jogja
Hhihi…
Ayo mbok mampir ke sini mbak. Dari Jogja ndak jauh kok, sisan mampir Solo, trus bablas ke Tawangmangu hehe
Yang lebih penting lagi, semoga sekarang sudah ada pekerjaan yang membahagiakan, hehe. Bagus sekali kebun tehnyaa! Dulu sewaktu jelajah kemari saya tak sempat berhenti di sini. Karena tidak tahu sih, hehe. Padahal sempat kehujanan. Tapi akhirnya malah beli bakso di pinggir jalan. Terima kasih untuk informasinya, ya. Mudah-mudahan pas datang ke Solo lagi, saya bisa minum-minum teh di sini. Senjanya benar-benar menyihir. Selain itu, pengambilan fotonya juga ciamik punya. Hehe.
Iya mas.
Tp sayangnya dulu saya blm kepikiran ngeblog, jadi gambar2 yg diambil gak banyak. Malah banyak ngambil foto diri sendiri wkwkwk.
Haha, nggak apa-apa, Mas. Menurut saya gambar-gambar di sini sudah cakep-cakep banget. Mungkin jika ingin melengkapi, bisa ke sana lagi buat mengambil foto lagi, hehe.