Seabad lalu, negeri kepulauan di tenggara Asia bernama Hindia-Belanda pernah menjadi pengekspor gula terbesar kedua di dunia setelah Rusia. Di banyak tengara, pemerintah kolonial membuka lahan-lahan baru untuk ditanami tebu, kemudian melengkapinya dengan jalur rel sebagai sarana transportasi. Namun, tatkala Hindia-Belanda telah berganti menjadi Republik, kejayaan gula tersebut tenggelam menjadi kenangan dari masa lalu. Kini, Indonesia menjadi negara pengimpor gula terbesar ke-3 di dunia.
Jejak kejayaan bahwa Hindia-Belanda dulu pernah disanjung karena manis gulanya tidak sepenuhnya hilang. Saya menemukan jejak itu tatkala sedang mengendarai sepeda motor di jalan raya Yogya-Solo yang padat oleh lalu-lalang kendaraan bermotor. Tepat di pinggir jalan, sebuah rel besi melintas sejajar dengan aspal. Di sisi utara rel itu berdiri sebuah bangunan tua dan luas yang bertuliskan P.G. Gondangwinangoen. Merasa penasaran, saya menepi sejenak dan memarkirkan motor saya di pelataran bangunan.

Setahu saya, P.G Gondangwinangoen saat ini juga difungsikan sebagai museum gula. Akan tetapi, karena saat itu adalah Jumat siang—waktu di mana shalat Jumat sedang berlangsung—jadi, tidak ada petugas yang menarik karcis. Suasana pabrik yang sepi dan sunyi membuat rasa penasaran saya makin muncul. Saya tinggalkan helm di atas motor dan berjalan melewati tiap ruas jalan yang bernuansa sendu.
Sepengamatan saya, sepertinya pada zaman ketika P.G Gondang tengah berfungsi, lahan di sini bukan sekadar diperuntukkan untuk pabrik. Ada deretan rumah-rumah berukuran luas yang dibiarkan terbengkalai. Sepertinya dahulu rumah-rumah tersebut adalah kompleks permukiman yang diperuntukkan bagi pimpinan-pimpinan pabrik, atau orang-orang yang memangku jabatan penting.
Rumah-rumah tersebut sekarang dalam kondisi yang sengsara. Catnya memudar, halamannya dipenuhi ilalang, pintunya keropos, dan kaca-kacanya pecah. Kemegahannya telah rapuh dimakan usia. Jika dahulu ada manusia-manusia yang mendiami, mungkin saat ini rumah-rumah itu menjadi tempat bersemayamnya makhluk halus yang tak kasat mata. Seraya saya berjalan, saya berharap menemukan seseorang untuk diajak mengobrol dan digali ceritanya tentang tempat ini. Tapi, nihil. Sepanjang saya berjalan, tak ada orang lain yang saya temui. Hanya ada deretan rumah tua beserta suara angin yang membawa aura sendu.
Dari lokasinya yang besar, P.G Gondang adalah salah satu dari sekian banyak pabrik gula yang dibangun oleh Pemerintah Belanda kala itu. Tanah Jawa yang subur karena sebaran gunung-gunung berapi pun diekspolitasi oleh Belanda guna mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Dari tanah Klaten inilah tebu-tebu tumbuh subur, diolah menjadi butiran gula nan manis, kemudian dijual untuk mengisi kas negara.
Berdasarkan catatan sejarah, Pabrik Gula Gondangwinangoen dibangun pada tahun 1860 oleh sebuah perusahaan Belanda yang berkedudukan di Amsterdam, NV Klantensche Cultuur Maatschappij. Tetapi, pengelolaannya diserahkan pada NV Mirandolle Vaute dan Co yang berkedudukan di Semarang. Pada masa itu, gula adalah primadona. Selain di Klaten, di mana-mana di Jawa pabrik gula dibangun untuk melancarkan denyut ekonomi pemerintah kolonial. Sejarah mencatatat secara keseluruhan diperkirakan ada sekitar 185 pabrik gula yang berdiri di Jawa pada masa itu.
Langkah kaki saya terhenti sejenak di ujung jalan aspal. Di depan saya terhampar stasiun di mana lori-lori tua berkarat terparkir. Pada masanya, tebu-tebu yang siap dipanen diangkut menggunakan transportasi lori. Ada emplasemen luas yang terdiri atas 10 lajur rel yang tersedia di P.G Gondang. Ada satu lajur yang dibangun mengitari seluruh pabrik (sekarang lajur ini dijadikan lori wisata).
Di persimpangan jalan, tepat di bawah pohon beringin, sebuah lokomotif uap teronggok. Saya iseng, memanjat sedikit ke atas kabin lokomotif itu dan mencoba bergaya bak seorang masinis. Namun, tak sampai satu menit berdiam diri di atasnya, angin berhembus membuat daun-daun berguguran, dan saya memutuskan untuk kembali turun. Seorang diri di bawah pohon beringin tua membuat bulu kuduk saya sedikit merinding. Daripada mengusik sesuatu yang tak terlihat, saya coba berjalan ke arah rel dan menelusurinya.
Dari ratusan pabrik gula yang berdiri seabad lalu, hanya segelintir yang bisa bertahan. Seiring waktu, pabrik-pabrik yang dahulu pernah berjaya pun menutup usianya, menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang kehidupan di tanah Jawa. Gondangwinangoen masih bertahan namun tak lagi sejaya dulu. Rel-rel lori yang dulu mengluar ke perkebunan kini telah dilucuti seiring beralih fungsinya lahan menjadi daerah permukiman warga.
Untuk menjadikan P.G Gondang tetap hidup, pemerintah telah menjadikan Gondang bukan sekadar sebuah pabrik. Ada museum gula yang kini bisa dikunjungi oleh para turis, juga ada homestay yang khusus dibangun bagi mereka yang ingin merasakan sensasi tinggal di pabrik gula abad lampau. Selain itu, pengunjung juga dapat menjajal perjalanan berkeliling pabrik dengan menaiki lori tua yang difungsikan setiap akhir pekan atau tanggal merah tiba.
Nyaris dua jam saya habiskan dengan berjalan kaki mengitari pabrik gula nan sepi ini. Tak terlalu banyak informasi yang bisa saya gali karena saat itu museum sedang tutup dan tak ada seorangpun yang dapat digali informasinya. Namun, secuplik kesan dari kunjungan singkat ini mengingatkan saya bahwa dulu Jawa pernah begitu manis. Tapi, itu dulu. Kalau sekarang?
Akankah Jawa kembali manis di abad ini?
***
Rute menuju Gondangwinangoen:
Dari arah Yogyakarta
Menuju arah Candi Prambanan via jalan Solo. Setibanya di Prambanan, terus jalan ke arah timur (arah Solo). Memasuki daerah Jogonalan, pelankan kendaraan karena P.G Gondang terletak di sebelah kiri.
2007 rumah sy ada dsebelah kiri anda berjalan membelakangi kamera
Wah, dekat sekali dengan pabrik gula ini ya mas. Sekarang masih di sana kah rumahnya?
masih mas..saya dulu tinggal di komplek perumahan Pabrik Gula, Gondang, Cepiring, Tasikmadu n Colomadu sering main kesini..karena teman2 dl ada di komplek ini semua…deket sama kantor, paling dua kilometer. keliatan cerobongnya kalo dari balkon lantai dua hehehe
tahun lalu, aku cuma lewat doang di depan PG ini hahaha
Wahhh, ora mampir og piyee…
karena saat itu mau kondangan di daerah klaten tapi kesasar muter2 di kota klaten lumayan lama padahal acaranya hampir mulai wkwkw
Selalu mencintai sejarah 😁
Wah, menarik sekali. Saya baru sekali melihat rel lori sejajar jalan, yakni di Jawa Timur, daerah Karesidenan Besuki. Syukurlah, tak perlu sejauh itu untuk menjumpainya. Di Jawa Tengah juga ada, hore! Menarik untuk diselisik bagaimana regulasi dan politik gula saat itu bisa membuat pabrik tumbuh bak cendawan di musim hujan. Meskipun sekarang sudah terbengkalai, aroma kejayaan itu rupanya masih tertinggal. Terima kasih untuk reportasenya ya, Mas. Nanti saya akan sambang ke mari, hehe.
Monggo mas.
Sebenarnya di daerah Joglo (Jogja-Solo) tuh ada buanyak banget pabrik gula model begini. Tapi yang pernah saya singgahi cuma ini, Gondangwinangoen.
Datang di weekend saja mas, biar bisa sekalian naik Lori 😀
Terima kasih informasinya ya, Mas.
Duh udah keduluan😁
Aku baru ngedraft ini🙈
Ini liputan lawas, tahun 2016 wkwwk.
Jaman ngeblog belum jadi kesenengan. Jadinya gak ambil banyak foto 😦
Saya juga sering lewat gondang tapi tidak pernah mampir 😅
Sedih juga kalo lihat aset aset berharga kayak gini mangkrak, apa tidak bisa joint venture dengan swasta apa ya ?, biar bisa terus jalan
Wah, mampir mas kapan-kapan. Tempatnya enak dan teduh buat ngadem.
Tapi kalau jalan sendiri agak serem sih.
Kalau hari Minggu lumayan rame mas, tapi karena dari depan bangunannya tidak direnov, jadi kesannya agak mistis gitu. Mungkin ini juga yang bikin jadi sepi 😀
Berkait bahan baku. Kalau lahan tebu dan tebu tidak ditanami lagi tentu tidak berimbang dengan proses dan hasil produksi