Tujuh tahun silam, dari balik jendela kereta api Mutiara Selatan, tangan para bocah melambai-lambai dan sesekali mengetuk kaca. Saat itu saya sedang dalam perjalanan menuju Jombang, Jawa Timur dan tindakan bocah-bocah tersebut membuat saya memicingkan mata. Apakah mereka sedang mengemis atau sekadar iseng menyapa kereta yang tengah berhenti di Stasiun Cipeundeuy?
Seraya saya menebak-nebak jawabannya, puluhan pedagang segera merangsek masuk ke dalam kereta yang baru saja berhenti beberapa detik. Para pedagang itu menjajakan jualannya dengan berteriak, membuat suasana kereta yang semula sunyi menjadi riuh bak pasar malam. Bagi sebagian penumpang, hadirnya para pedagang ini dirasa sebagai berkah, pemuas lapar dalam perjalanan belasan jam. Dari pedagang inilah, penumpang bisa membeli aneka makanan dan minuman yang harganya dirasa lebih miring ketimbang harga makanan yang dijual di kereta restorasi. Namun, bagi sebagian penumpang lainnya, kehadiran pedagang ini dianggap sebagai penganggu, apalagi jika ada pedagang yang berjualan dengan cara memaksa.
Hampir satu dekade sejak persinggahan di Stasiun Cipeundeuy itu, saya tetap menjadi penikmat setia moda transportasi kereta api, bahkan semakin sering bepergian di atas rel. Sepanjang masa ini jugalah, manajemen kereta api yang dikelola oleh PT. KAI begitu serius untuk membenahi segala aspek pelayanannya. Dari sistem penjualan tiket yang manual, berubah menjadi online. Dari perjalanan kereta yang sering ngaret, menjadi tepat waktu, dan ada begitu banyak perubahan lainnya yang tak cukup untuk disebutkan satu per satu. Perubahan-perubahan tersebut membawa angin segar, pertanda bahwa kereta api sedang berbenah diri menjadi angkutan massal yang profesional dan menjadi andalan masyarakat.

Stasiun Cipeundeuy pun tak luput dari perubahan itu. Ketika saya kembali ke stasiun di tahun 2012, perubahan itu terlihat nyata. Selain dari stasiun yang lebih resik dan bebas asap rokok, para pedagang asongan pun ikut ditertibkan. Jika sebelumnya mereka bebas masuk ke dalam tiap-tiap kereta yang berhenti, kebebasan itu mulai dibatasi. Mereka hanya boleh berjualan di luar kereta dan para penumpang pun melakukan transaksi dari balik jendela ataupun pintu bordes. Tatkala semua kereta api menggunakan pendingin udara, secara perlahan semua kereta mengalami modifikasi jendela. Tak ada lagi jendela yang terbuka. Otomatis, transaksi melalui celah jendela pun mustahil dilakukan. Jika penumpang ingin membeli sesuatu, mereka harus turun ke luar kereta.
Penertiban pedagang asongan tidak berhenti sampai di sini. Setelah terusir dari dalam kereta, sekarang para pedagang itu pun terusir dari dalam stasiun sesuai dengan larangan berjualan di dalam stasiun yang mulai berlaku sejak 1 Maret 2013. Tak ada ruang bagi mereka untuk berkeliaran di peron. Bak penghuni hotel prodeo, sekarang setiap kali ada kereta yang berhenti, mereka berteriak-teriak dari balik pagar stasiun, dengan harapan para penumpang yang lapar akan turun dan membeli jualan mereka.

Ketika sebulan lalu saya menaiki KA Serayu dan singgah di Stasiun Cipeundeuy, sambil membeli jajanan dari balik pagar, saya memandang para pedagang tersebut dengan perasaan campur aduk, ada rasa iba namun juga kagum. Saya kagum akan kegigihan para pedagang yang didominasi oleh ibu-ibu itu. Sekalipun dibatasi ruang geraknya, tetapi mereka tetap semangat mencari rejeki, suara mereka tidak melemah di balik pagar besi, melainkan semakin kuat hingga menggema ke seantero stasiun. Akan tetapi, saya juga merasakan iba. Mengapa mereka harus meraung-raung dari balik pagar besi? Apakah tidak ada tempat yang lebih baik untuk mereka menunaikan tugasnya mencari nafkah? Atas nama kenyamanan dan keamanan penumpang, mereka yang menggantungkan asanya dari tepian rel pun harus terusir.
Jika bicara soal kenyamanan, sebagai penumpang tentu saya merasa nyaman dengan suasana stasiun yang tertata rapi tanpa ada pedagang yang hilir mudik di peron-peron. Tapi, sebagai seorang manusia yang juga bekerja mencari uang, saya merasa sedih. Saya tidak melihat ada motivasi yang salah dari para pedagang asongan itu, mereka ingin mencari penghidupan, hanya, mungkin caranya saja yang kurang elok. Mengapa demi kenyamanan satu pihak, ada pihak lain yang harus terusir? Saya mengapresiasi langkah manajemen kereta api untuk mensterilkan stasiun demi mengutamakan kenyamanan penumpang. Namun, saya merasa pendekatan yang dilakukan bukanlah cara yang paling bijak.
Pedagang asongan dan kereta api bukanlah problema yang baru. Di mana ada penumpang melakukan perjalanan, di sana ada warga sekitar stasiun yang memanfaatkan kesempatan ini untuk mencari rejeki. Saya pikir ini adalah sebuah simbiosis mutualisme. Penumpang membutuhkan sesuatu seperti air minum atau makanan untuk bekal di perjalanan, dan pedagang pun membutuhkan uang untuk penghidupan mereka.
Keputusan untuk menertibkan para pedagang asongan yang mengacu pada Pasal 38 UU No. 32 tahun 2007 tentang Perkeretaapian di stasiun adalah langkah yang baik. Walaupun sempat diwarnai oleh banyak penolakan, tetapi beberapa stasiun akhirnya mampu menemukan solusi yang saya kira tepat. Di beberapa tempat seperti Stasiun Gombong, Tugu, dan Lempuyangan, para pedagang asongan diberikan lapak-lapak khusus untuk berjualan yang bisa mereka tempati dengan membayar sejumlah uang sewa. Jika dikelola dengan baik, kehadiran pedagang asongan yang sedianya dianggap mengganggu kenyamanan pun bisa berubah menjadi sebuah simbiosis yang saling menguntungkan antara pengelola stasiun, penumpang, dan pedagang itu sendiri.

Di stasiun Lempuyangan, Tugu, dan beberapa stasiun lainnya, simbiosis ini menjadi sesuatu yang lestari. Tatkala stasiun disterilkan, para pedagang asongan memang kehilangan akses untuk wara-wiri di dalam kereta, tetapi mereka tidak terusir dan kehilangan akses untuk mencari penghidupan. Ada lapak-lapak yang khusus dibangun dan disewakan untuk mereka. Jika dahulu mereka harus berlomba-lomba merangsek ke dalam kereta sambil memboyong aneka jualannya, kini tidak lagi. Dengan senyum yang ramah dan sapaan, juga sesekali teriakan, mereka tetap bisa berjualan di tempat yang lebih nyaman.
Jika Stasiun Lempuyangan bisa menjalin relasi yang baik dengan para pedagang asongan, mengapa di Stasiun Cipeundeuy, atau beberapa stasiun lainnya tidak? Perilaku pedagang asongan yang masuk ke dalam kereta memang membuat sebagian penumpang merasa kurang nyaman dan aman. Akan tetapi, demi alasan kenyamanan dan keamanan pula, seharusnya hak mereka untuk mencari penghidupan tidak diamputasi begitu saja. Alih-alih mengusir, alangkah lebih baiknya apabila mereka dibina terlebih dulu sebelum diberikan fasilitas lapak-lapak seperti yang telah dilakukan di Stasiun Lempuyangan.
Sekalipun kereta restorasi telah menyajikan pilihan menu makanan yang lezat dan beragam, tetapi saat ini dan seterusnya saya tetap rindu mencicipi kudapan yang dijual dari para pedagang dengan teriakan khasnya, “Mijon…mijon…aqua…pop-mie…”. Tidak ada kebijakan yang sempurna dan benar-benar bisa memuaskan kedua belah pihak seutuhnya, tetapi saya tetap percaya bahwa di balik ketidaksempurnaan itu ada celah yang bisa dijembatani. Saya berharap para pedagang asongan di Stasiun Cipeundeuy kelak bernasib serupa dengan para pedagang di Stasiun Tugu atau Lempuyangan, tak lagi berteriak-teriak dari balik pagar besi.
Seiring usia perkeretaapian Indonesia yang semakin bertambah, sekiranya fokus pengelolaan dan peningkatan kualitas seharusnya tidak melulu menyorot dari sisi kenyamanan penumpang dan pembangunan infrastruktur saja. Para pedagang asongan adalah masyarakat dari balik pagar stasiun yang juga seharusnya turut merasakan buah manis dari reformasi kebijakan kereta api ke arah yang lebih baik.
Selamat ulang tahun Kereta Api Indonesia. Berbenah di masa kini, jaya di masa depan.
terlepas dari pro dan kontra … perubahan stasiun dan kondisi penumpang di KA-nya yang radikal .. amazing … bisa berubah seperti sekarang ini
Betul mas. Perubahan tetap bisa dilakukan walaupun jalannya berat 🙂
Aku juga penikmat kereta mas , walau paling jauh sbya. Aku juga ngalami fase penuh pedangan asongan dalam gerbong dengan jajan khas masing2 kota heee
hehehe… sekarang pedagang asongannya sudah tidak berkeliaran lagi di dalam kereta, tentunya lebih nyaman. Cuma kalau mau jajan jadi harus keluar deh 🙂
Iyaa , kadang yg gg mau ribet nawa bekal mau jajan susah yaa mas 🙂
Namanya kebijakan, pasti ada plus dan minusnya, ya. Saya setuju, memang akan jauh lebih baik kalau pedagang-pedagang lokal diberi tempat yang lebih layak. Sebab, ada banyak penganan tradisional daerah sekitar yang sesungguhnya bisa lebih memopulerkan moda transpor kereta api, jika saja pedagangnya diberi tempat berjualan. Mudah-mudahan segera tercapai kompromi antara PT KAI dan pedagang-pedagang itu. Sayang banget kalau kuliner lokal harus hilang dan berganti dengan gerai modern yang makanannya tak seberapa rasanya #hehe.
Iya mas.
Waktu saya naik Lodaya di medio 2012-2013, saat kereta berhenti di Kroya atau Sidareja pasti ada ibu-ibu penjual pecel yang datang ke depan bordes, dan biasanya ada banyak penumpang yang ikut beli.
Semenjak stasiun disterilkan, mereka tak lagi terlihat. Di stasiun-stasiun lain seperti Gombong dan Kutoarjo beberapa pedagang sudah difasilitasi kios-kios sih, jadi kalau lapar bisa turun, cuma harus waspada sama jam berangkat kereta biar gak ketinggalan 🙂
Sering naik kereta juga ya mas Gara?
Wkwk, saya kurang begitu suka kalau mesti berkejar-kejaran dengan kereta, hehe. Takut ketinggalan!
Nggak begitu sering juga, Mas. Naik kereta pertama kali baru sekitar 2014. Tapi kereta sekarang jadi moda favorit, karena menyenangkan, hehe.
Oiya lempuyangan masih ada pedagang ya? Salut sih masih diberi tempat. Karena di stasiun2 lainnya cuma gerai2 modern.
Masih mas. Waktu 2014 sempat ricuh karena mereka tidak boleh berjualan, tp setelah ada negosiasi akhirnya dibuatkan kios-kios seperti di stasiun Tugu.
Kalau buat saya pribadi sih saya suka jajan di pedagang, makanya setiap balik Jakarta dan kereta berhenti di Kutoarjo atau Gombong, saya pasti cepat-cepat keluar buat beli jajanan. Terakhir kali saya jajan, saya beli nasi ayam goreng + mie, harganya 15 ribu. Itu pun nasinya ukuran jumbo.
Iya haha, akupun paling banter jajan roti O ato kalo gak indomaret/alfamaret. Niatnya sekalian nuker uang kecil. Eh kembaliannya kecil beneran alias ludes wkwkwk.
Podho mas. Aku jajan roti o nek udah tekan Purwokerto. Biasanya di sini perutku keroncongan, pdahal di Kutoarjo udah diisi sama nasi seabreg wkwk