Saya tidak pernah menyangka 4,5 tahun yang dihabiskan di Jogja dampaknya begitu besar. Nyaris setahun setelah lulus dan merantau ke Ibukota, Jogja tak pernah bisa lepas dari memori. Dalam tiap tarikan napas sebelum tidur atau kala melamun, cerita tentang Jogja selalu muncul di benak. Terlalu banyak kisah manis yang pernah dikecap di kota ini.
Juni 2012 adalah kali ke-empat saya singgah di Jogja, namun bukan sebagai wisatawan. Setelah memilih Jogja sebagai tempat untuk melanjutkan studi, saya berangkat seorang diri untuk mencari kos-kosan. Dengan modal uang 400 ribu (200ribu untuk bayar uang muka kos, 200 ribu untuk operasional) dan selembar tiket pulang, saya bertolak dari Bandung langsung menuju kawasan Babarsari, tempat kampus saya berada.
Di tengah udara siang yang terik, saya berjalan kaki, menyambangi rumah-rumah yang saya yakin adalah kos-kosan. Tiga jam pertama, kira-kira ada sepuluh rumah yang telah saya datangi. Tapi, tak ada satupun yang memikat. Rasanya putus asa. Namun, sebelum malam harinya kembali ke Bandung, saya harus segera menemukan satu tempat untuk saya tinggali di bulan depan.
Di ujung jalan Babarsari, sekitar 1 kilometer dari titik pertama saya berjalan, ada sebuah rumah kos yang tampak depannya menarik. Ketika saya masuk, rumah ini langsung membuat saya jatuh hati seketika. Ada 19 kamar, suasananya sejuk, kamarnya kecil namun tidak pengap, dan berbeda dari kos putra lainnya yang wc-nya jorok, di sini wc-nya resik. Tapi, ada satu kendala. Harganya cukup mahal, 400 ribu. Untuk ukuran Jogja yang konon katanya ‘segala-galanya murah’, harga yang dibandrol ini saya rasa kurang pas. Namun, taka ada pilihan lain. Karena saya sudah kepincut dan lelah, akhirnya pilihan jatuh di kos ini. “Kalau kemahalan dan gak betah, nanti gampang bisa pindah lagi,” pikir saya. Belakangan saya baru sadar bahwa harga ini ternyata sepadan dengan segala fasilitas yang disediakan. Ibu kos mendesain rumah ini memang untuk mahasiswa. Di lantai bawah terdapat meja panjang untuk makan bersama dan bersosialisasi. Posisi kamar pun dibuat saling berhadap-hadapan supaya antar penghuni kos saling bertegur sapa. Setelah urusan kos-kosan selesai, saya kembali ke Bandung dan satu bulan setelahnya barulah saya akan menetap di Jogja sebagai seorang mahasiswa.
31 Juli 2012, saya kembali ke Jogja. Kali ini dengan status calon mahasiswa yang siap diospek. Saya beruntung karena di kos itu banyak mahasiswa baru lainnya. Dengan segera, karena sama-sama anak rantau, kami pun menjadi karib. Bermula dari sekadar jabat tangan, lama-lama kami mulai pergi mencari makan bersama, jalan-jalan ke sawah di belakang kos bersama, bermain game bersama, hingga akhirnya membuka diri untuk saling bercerita tentang latar belakang masing-masing.
Mulanya, saya mengira tidak akan betah di kos ini. Paling satu atau dua bulan, setelah mendapat teman di kampus, saya akan pindah mencari kos lain. Walaupun beberapa teman mulai menunjukkan tabiat menyebalkan seperti sering tiba-tiba bad mood, asal bicara, hingga keras kepala, tapi kami merasa seolah ada ikatan batin yang menyatukan kami. “Janji ya, sampai lulus kita bareng kos di sini,” kata seorang teman.
Selama empat tahun lebih waktu-waktu saya di Jogja, kos ini telah menjelma menjadi lebih dari sekadar kos. Rumah kos ini adalah tempat bernaung bagi para mahasiswa rantau yang tak sedarah, tapi saling menganggap satu sama lain adalah keluarga. Karena “keluarga”, kami yang mulanya masih malu-malu, lama-lama jadi tidak tahu malu lagi. Tak ada jaim. Sejak bangun pagi hingga siap tidur, kami selalu melihat orang yang sama, dengan tabiat masing-masing yang unik (kalau tidak bisa dibilang aneh).
Ada teman yang semenjak kos menjelma menjadi siluman kelelawar. Tatkala malam waktunya orang tidur, dia akan terjaga sampai matahari terbit, kemudian beraktivas terkantuk-kantuk di siang harinya. Ada teman yang hobinya tidur siang. Sepadat apa pun aktivitas kuliah, dia bisa mengatur strategi untuk pulang sejenak dan tidur di siang bolor. Ada juga teman yang sembrono, minim pengalaman tapi sulit diberi tahu. “Kalau ke sana, jangan taruh dompet di tas depanmu, banyak copet!” Tapi himbauan itu dia anggap angin lalu. Tiga jam kemudian, dia pulang ke kos dengan wajah sayu. Tasnya disobek dan dompetnya raib.
Hari lepas hari, tabiat-tabiat buruk itu tidak hilang, tapi lambat laun saya mulai terbiasa dan mulai memiliki cara tersendiri untuk mengatasi masing-masing teman. Kepada teman yang keras kepala, cara untuk menasihatinya adalah dengan mengajak bicara pelan-pelan dan tidak terbawa emosi. Kepada teman yang suka bad mood, cara mengatasinya adalah dengan menemaninya makan atau sekadar jalan kaki ke depan gang untuk jajan. Menghadapi orang-orang dengan berbagai macam karakter tanpa disadari melatih kami untuk mampu bertindak bijak dan mempertahankan pertemanan.

Hidup dengan cara ngekos menyajikan kurikulum tersendiri yang tak didapati di 144 sks kuliah, yaitu tentang toleransi dan kebersamaan. Ketika ada teman yang sedang belajar karena besoknya ujian, yang seorang lainnya harus mengecilkan volume video game yang sedang dia mainkan. Hal-hal sederhana yang dilakukan setiap hari inilah yang kelak akan membentuk jiwa yang toleran. Namun, toleran bukan berarti kompromi terhadap hal buruk. Jika memang apa yang dilakukan itu salah, maka menegur adalah sebuah keharusan. Jika yang dilakukan itu baik, maka memberi apresiasi adalah suatu bentuk dukungan supaya hal baik itu tetap lestari dilakukan.
Tahun 2016, tanpa terasa perjalanan saya bersama kelima orang teman telah tiba di penghujung. Satu per satu dari kami akhirnya lulus, wisuda, dan terpencar ke dunia dan pilihan kariernya masing-masing. Ada satu hal yang begitu terharu jika diingat. Di malam 2 Desember 2016, malam itu adalah malam terakhir saya berada di Jogja. Segala cerita selama 4,5 tahun harus ditutup malam itu dan besoknya saya akan memulai hidup baru di Jakarta.
Dua orang teman masuk ke dalam kamar saya. Selama setengah jam lebih kami bertiga saling hening, tak menyangka bahwa salah satu dari kami besok sudah tak lagi bersama. “Eh, ayo kita berdoa. Kamu deh doain Ary,” kata satu temanku . Temanku yang diminta berdoa pun sejatinya bukan orang yang terlalu relijius namun tanpa menolak dia bersedia untuk menjadi juru doa malam itu. Kami tertunduk dan tangis pun mengalir. Ada dua kata yang bisa menggambarkan keadaan waktu itu, sedih dan terharu. Kami sedih karena harus kehilangan. Kami terharu karena persahabatan di rumah kos ini berlangsung hingga ke ujung studi kami. Malam itu adalah malam yang begitu menyentuh buat saya. Walaupun kami bertiga berbeda agama, tetapi kami bisa bersatu di dalam doa kepada Tuhan.
Sekelumit kisah dari 4,5 tahun di Jogja adalah harta yang amat berharga. Jika tak mampu diceritakan, setidaknya bisa dikenang sambil membuat saya tersenyum sendiri. Teman-teman saya di rumah kos itu telah memberi saya bentuk nyata dari sebuah teori yang berkata, “Keluarga itu tak harus sedarah.” Sekarang, di kota-kota di mana mereka berada, saya bisa singgah dan dipersilakan untuk menumpang tanpa lagi ada rasa sungkan.
haha .. nasib anak kost .. saya pernah malang melintang jadi anak kost dari mulai sampe kerja. suasana kost akan berbeda kala sudah kerja dan semua penghuninya pekerja semua … rata2 individualis .. tidak peduli, bahkan tidak tahu siapa namanya 😀
Betul. Sampai sekarang saya masih kos, tapi di Jakarta kos nya berbeda, tak sehangat di Jogja dulu.
hehehe mbak juga jadi anak kos di Jogja, sekarang kosan mahal2 sih. suka duka anak kos sedang dirasakan sekarang
Iya sih mbak.
Jumlah mahasiswa baru tambah banyak, tapi jumlah kosan gak terlalu nambah juga. Kalaopun nambah, malah kos-kos eksklusif yang harganya selangit. Kalo buatku sih kos eksklusif itu bukan kos, namanya hotel hehehe
nice Ry, kamu sukses membuatku pengen balik ke masa kuliah dan ngekost lagi
Wkwkwkwk.. Thanks Dik.
Aku ya pengen balik ke masa-masa kos dulu. Masa ketika warung burjo AA Haecal jadi penyelamat di kala tengah malam 😦
Rindu kos saya juga 😊
Hehehehe..
Rumah kos jadi sama ngangeninnya dgn rumah di kampung halaman 😀
Rumah dan seisinya yaaa 😁