Sebuah Amplop (Lagi) dari Jerman

 

Minggu kemarin (24/9), saya menerima sebuah pesan Whatsapp dari seorang kerabat di gereja. “Ada surat buatmu dari Jerman,” katanya. Saya mengernyit. Sebelumnya tidak ada pemberitahuan terlebih dulu dari Johannes Tschauner (Jo), sahabat saya yang berada di Jerman kalau dia akan mengirimkan sepucuk surat ke Indonesia.

Ketika saya datang ke kantor gereja di Bandung, ternyata benar sepucuk surat itu memang ditujukan untuk saya. Di amplopnya yang berwarna putih polos tertera label bertuliskan “Deutsche Post”. Senyum saya sumringah. Ini adalah kali ketiga saya menerima kiriman dari Eropa. Kiriman pertama datang di bulan Desember 2013. Waktu itu, sebagai hadiah Natal, Jo mengirimkan saya buku yang dibelinya dari sebuah toko daring di Inggris. Kiriman kedua datang di bulan Januari 2017. Berbeda dengan kiriman pertama yang berupa kado Natal, kiriman kedua adalah sebuah undangan pernikahan. Kisah tentang kiriman kedua ini pernah saya tuliskan juga di sini.

Johannes adalah sahabat pertama saya yang berasal dari bangsa yang berbeda. Kisah tentang pertemuan kami dimulai secara tidak sengaja pada hari Minggu, 8 September 2013 di pinggir jalan depan sebuah gereja. Jo yang baru seminggu tiba di Indonesia sedang kebingungan mencari tempat untuk beribadah, dan bukan suatu kebetulan apabila sore itu dia bertemu dengan saya. Sejak pertemuan itu, kami menjadi karib karena kesukaan yang sama, yaitu sama-sama suka traveling. Walaupun kebersamaan kami harus terpisah jarak sejak 2014 lalu karena Jo kembali ke Jerman, tetapi terima kasih kepada teknologi dan Facebook yang memungkinkan kami bisa tetap berkomunikasi terlepas jarak belasan ribu kilometer yang menjadi pemisah.

Biasanya sebelum mengirimkan sesuatu dari negaranya, Jo akan mengabari saya terlebih dahulu, kalau-kalau kirimannya tidak sampai ke tangan saya, dia bisa mengonfirmasi ke kantor pos. Tapi, untuk kiriman ketiga ini dia mengirimkannya secara diam-diam. Di dalam amplop putih kecil itu terdapat sebuah kartu yang sampul depannya berisi fotonya dengan sang mempelai wanita. Isi kartu itu adalah ucapan terima kasih atas setiap dukungan dan doa yang diberikan hingga acara pernikahan Johannes dapat terlaksana dengan baik. Surat tersebut ditulisnya dalam bahasa Jerman yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris.

Vielen Dank, dass ihr an unserem großen Tag an uns gedach, uns unterstütz und mit uns mitgefiebert habt. Ihr habt dazu beigetragen, dass wir eine unvergesssliche Hochzeit hatten.

Dear Ary,

Thank you for your congratulations, your thoughts and your prayers for us. We had an unforgettable day. Many greetings from Germany. Miriam and Johannes Tschauner.

Isi dari kartu ucapan ini sangatlah sederhana namun membuat saya turut bersukacita atas pernikahan keduanya. Di samping kata-kata ucapan terima kasih, Jo juga menyertakan beberapa cuplikan foto upacara pernikahannya dengan Miriam. 

Sebuah amplop yang saya terima pagi ini membuat saya terperangah. Di zaman ketika banyak orang gemar mengirimkan pesan digital, Johannes masih menggunakan cara konvensional untuk mengungkapkan apresiasi dan terima kasihnya kepada orang yang dia anggap berharga di hidupnya. Secara efisensi, pesan digital lebih hemat waktu dan biaya. Tetapi, tak jarang pesan yang tak berwujud fisik itu dengan cepat tenggelam oleh pesan-pesan lainnya yang setiap hari kita terima. 

Di kiriman yang kedua saya pernah bertanya mengapa dia mau repot-repot mengirimkan sepucuk undangan nikah ke Indonesia, padahal walaupun dikirimkan undangan pun toh saya tetap tidak akan bisa datang ke Jerman. Daripada repot-repot bayar mahal, kenapa tidak scan saja lalu kirim lewat e-mail? Jawabannya membuat saya tertegun.

Gapapa dong kalau aku kirim undangannya. Sekalipun aku tahu kamu tidak bisa datang ke Jerman, tapi surat (undangan) ini tetap kukirim sebagai bukti bahwa kamu adalah orang spesial, sahabatku, yang kehadirannya kunantikan.”

Sebagai balasan atas kiriman undangan itu, saya mengirimkan pesan singkat via Facebook bahwa saya berterima kasih dan akan membalas undangan itu dengan doa-doa, karena memang hanya itu yang bisa saya lakukan.

Amplop yang saya terima pagi ini hanyalah amplop biasa, tetapi di balik amplop ini tersimpan cerita persahabatan lintas bangsa yang terajut indah, yang tidak lekang oleh waktu. Saya memaknai kiriman amplop ini hari ini bukan sekadar sebuah amplop, tetapi merupakan sebuah wujud komitmen dan kesetiaan akan sebuah persahabatan yang mau terus saling berkomunikasi dan membangun satu sama lain. Saya mengucap syukur kepada Tuhan boleh diberikan sebuah anugerah berupa persahabatan. Walaupun impian saya untuk menjejakkan kaki ke luar negeri belum terwujud, tetapi Tuhan mengizinkan saya mengenal negeri luar melalui sahabat yang Dia izinkan tuk mewarnai hidup saya. 

Menutup tulisan ini, saya teringat sebuah kutipan bijak dari Bunda Teresa:

In this life, we cannot do great things. We can only do small things with great love. 

Atau dalam bahasa Indonesia berarti:

Tidak semua dari kita dapat melakukan hal-hal besar. Tetapi, kita dapat melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.

Sebuah amplop yang dikirimkan melintasi benua dan samudera hari ini menjadi pengingat saya bahwa pertemuan di pinggiran jalan kota Jogja empat tahun silam bukan sekadar sebuah kenangan, melainkan sebuah cerita yang terus terjalin untuk seterusnya. Kiranya amplop kecil yang saya terima hari ini boleh menjadi cerita menarik untuk dibagikan, baik kepada kawan, maupun kepada anak cucu kelak.

Terima kasih Paijo untuk amplopnya!

Sampai bertemu kembali! 

6 pemikiran pada “Sebuah Amplop (Lagi) dari Jerman

  1. Luar biasa ya mas, mereka kalo urusan pertemanan memang ga main2. Pdhl bisa aja dia sepulangnya dari sini, lost contact gitu aja.

    Tapi dia menganggapmu sepesial. Ya mungkin juga krn kebersamaan kalian jelajah sumatra itu.

    1. Iya mas. Hehehe

      Dulu di tahun 2013 aku sempat jodohin dia dengan orang Indonesia, tapi dia ogah. Katanya kalau soal nikah, dia mau cari yang sebangsa saja 😀 Dan, akhirnya dia menikah beneran.

  2. wow itulah keunggulan peradaban barat! mereka menciptakan aplikasi elektronik tapi mreka tidak tenggelam dalamnya!.era digital semodern dan seefisien apapun ia, tak bisa menggantikan kekuatan bentuk sentuhan fisik spt surat, kartu pos, kartu natal, buku dll. sentuhan fisik adl cara kemanusiaan yg tak bisa digantikan oleh layar monitor.

    1. 🙂 Yup.
      Ada beberapa orang yang memang menjadikan pemberian fisik sebagai bentuk apresiasi yang tidak dapat tergantikan. Dan, puji syukurnya saya menemukan tipe orang seperti ini dari beberapa teman yang tinggal di negeri barat sana 🙂

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s