Aku bukan seorang pemeluk Katolik. Akan tetapi, aku sangat suka dengan Gereja Katedral dan sudah saban kali singgah di tempat ini. Ketika ada teman yang bertanya mengapa aku begitu getol pergi ke Katedral, jawabanku cuma satu: tempatnya adem, nenangin jiwa. Kalau mereka tidak puas dengan jawaban itu, aku akan menambahkan: Kalau gitu, mending coba aja mampir ke sana.
Kisah kedekatanku dengan Katedral dimulai pada tahun 2014. Waktu itu aku ditugaskan melakukan perjalanan dinas dari Jogja ke Jakarta. Berhubung kereta api Taksaka yang akan membawaku kembali ke Jogja baru berangkat malam hari, jadi aku menyempatkan diri dulu untuk singgah ke Katedral. Tak hanya singgah untuk berwisata, waktu itu aku pun menumpang mandi di WC-nya. Dari kunjungan pertama ini, aku dibuat takjub dengan kemegahan arsitekturnya. Dalam hati aku berjanji untuk kelak berkunjung kembali ke sini.
Ketika aku sudah bekerja dan menetap di Jakarta, janji yang pernah kuucapkan pun terwujud. Di bulan April 2017, aku sempat mengalami sedikit shock dalam bekerja. Bosku datang dari Singapura dan memberikan sebuah pesan yang menohok. “Tingkatkan kinerjamu dalam tiga bulan ini, atau kamu akan out!” Walaupun di depan bos aku masih bisa menanggapi dengan senyum dan seolah antusias untuk memperbaiki kinerja, kenyataannya di malam hari aku gemetar dan perasaanku tidak karuan.
Di satu sisi aku ingin memperbaiki kinerja. Tapi, aku tidak tahu harus memulai dari mana. Satu-satunya yang aku pikirkan waktu itu adalah, “Aku butuh ketenangan untuk merenung sejenak. Kalau pikiranku jernih barulah aku bisa tahu mau mulai dari mana” Dan pilihanku untuk mencari ketenangan itu jatuh pada Katedral.
Di bangunan tua yang rampung dibangun pada tahun 1901 inilah akhirnya aku datang dan duduk termangu. Selepas ibadat misa harian rampung dilaksanakan, Katedral mulai sepi. Hanya segelintir orang yang datang untuk berdoa ataupun sekadar berwisata foto-foto. Setiap harinya bangunan Katedral dibuka untuk umum sampai pukul 21:00. Berbeda dengan gereja-gereja Protestan yang biasanya tutup di hari biasa, gereja Katolik pada umumnya selalu membuka pintunya untuk umat yang ingin datang dan berdoa.

Siapapun boleh singgah ke dalam Katedral. Jika kita berjalan masuk dari pintu utama, pandangan kita akan segera tertuju pada altar yang berada di paling depan. Dalam gereja Katolik, altar dianggap sebagai tempat yang suci. Tidak sembarang orang bisa naik ke sana. Hanya Romo dan petugas ibadat saja yang diizinkan untuk berdiri di atasnya.
Bangku-bangku di Katedral terbuat dari kayu-kayu kokoh yang telah dipelitur mengkilap. Di setiap barisnya juga terdapat pijakan khusus yang didesain untuk tumpuan lutut. Jadi, apabila ada umat yang ingin berdoa sambil berlutut, mereka bisa lebih khusyuk.
Jika datang ke Katedral pada malam hari, suasana hening seketika mendekap kita. Kesan megah pun semakin terasa berkat sistem pencahayaan yang baik. Apabila kita berkunjung pada siang hari, selain ramai oleh manusia, Katedral pun gemar disinggahi oleh puluhan burung. Mereka terbang lincah, mengangkasa di rongga Katedral. Cuitan mereka yang memecah suasana hening menjadi sebuah harmoni yang begitu menarik.
Di sayap kanan Katedral, terdapat sebuah orgel besar yang didatangkan langsung dari Belgia pada tahun 1988. Untuk memasang orgel ini, 3 orang insinyur didatangkan langsung dari tanah Eropa. Orgel tersebut tidak dimainkan dalam setiap ibadat mingguan, hanya pada momen-momen khusus saja.
Aku tidak tahu ingin mengucapkan doa apa, jadi yang aku lakukan hanyalah termenung seraya menatap sekeliling. Pandanganku kemudian terpaku pada pendaran cahaya lilin yang terletak di sebelah altar. Di tengah suasana yang amat hening, lilin-lilin yang menyala temaram itu terasa begitu syahdu. Walaupun menatapnya dari jauh, tapi aku merasa kehangatan dari api lilin itu seolah melelehkan jiwaku yang tengah membeku.
Di depan patung Yesus, empat orang lelaki berdoa dengan khusyuk. Mata mereka terpejam. Lutut mereka bertumpu. Tangan mereka terlipat dan mulut mereka mendaraskan doa-doa yang tak terdengar. Selama beberapa menit mereka bergeming. Aku tak tahu apa yang sesungguhnya mereka sedang bicarakan pada sang Pencipta, tetapi aku melihat ada relasi yang begitu intim sehingga mereka betah berdiam diri berlama-lama untuk berbicara dengan-Nya.
Melihat empat orang itu berdoa begitu khusyuk aku jadi tertegur. “Kapan terakhir kali aku berdoa dengan sungguh-sungguh?”, tanyaku dalam hati. Kemudian, aku memejamkan mata dan mengatur ritme pernafasanku. Tak ada suara apapun yang kudengar selain dari hening. Satu menit, dua menit, lima menit, hingga 15 menit berlalu dan aku merasa begitu tenang dan nyaman. Suasana hening itu mulai menyesap ke dalam sanubariku. Dalam keheningan itu akhirnya aku mampu berkata-kata. Perlahan mulutku mulai bergumam lirih menceritakan segala keluh kesah yang terpendam di dalam hati.
“Tuhan. Aku tahu aku belum betah dengan pekerjaan ini. Tapi, aku juga tahu kalau sampai aku dipecat, cari pekerjaan itu gak gampang. Mampukan aku, Tuhan,” tutup doaku.
Doa itu tidak terjawab instan. Tidak ada suara apapun selain daripada hening. Namun, aku merasakan ada kelegaan. Seperti cahaya lilin yang berpendar, aku merasakan bahwa aku masih memiliki harapan dalam pekerjaan yang kugeluti. Tiga bulan bukan waktu yang panjang, tapi bukan pula mustahil untuk memperbaiki kinerja.
Alhasil, dari persinggahan singkat malam itu di Katedral, aku memacu diriku untuk meningkatkan kinerja. Doa yang kuucapkan malam itu hanya akan jadi pepesan kosong apabila tidak aksi apapun yang kulakukan. Aku belajar untuk mengubah pola pikir. Alih-alih mengutuki pekerjaanku dengan berkata, “Kampret, ini gak selesai-selesai”, aku akan berkata, “Ayo, semangat. Hari ini pasti selesai.” Aku melakukan reformasi atas diri sendiri dan cara kerjaku. Aku menerapkan time-management dan tentunya belajar untuk tidak lagi memandang pekerjaanku sebagai sebuah beban, melainkan sebuah anugerah.
Sekarang, ketika aku kembali dan duduk di bangku Katedral, aku tak lagi berlutut dengan gemetar karena takut. Mataku terpejam, tetapi senyuman tipis tersungging di wajahku. Masa-masa kelam itu telah kulalui dengan baik hingga akhirnya aku diberi kepercayaan untuk melanjutkan pekerjaanku dalam status yang lebih kuat, yaitu seorang pegawai tetap.
Di tengah ritme kehidupan yang bergerak cepat, seringkali kita terjerat oleh berbagai tekanan hidup yang membuat kita stres. Kita butuh sebuah interlude, sebuah jeda untuk duduk, merenung, dan melepas segala penat yang melekat. Katedral adalah sebuah loka yang mungkin dicipta untuk hal itu. Dengan statusnya yang juga sebagai cagar budaya, setiap orang bebas masuk ke dalam Katedral. Jika kita tidak ingin berdoa, tak masalah. Pintu Katedral tetap terbuka bagi siapapun yang ingin mengecap dan menyapa sang Khalik dalam keheningan.
Jadi, kawan, jika kamu mampir ke Jakarta, bolehlah sesekali singgah ke Katedral 🙂
Malam ini, tiba2 pengen suatu saat datang berkunjung ke Gereja Katerdral, tapi pengen baca2 dulu di blog, ketemulah dengan cerita kaka ini. jujur sungguh membuat sejuk hati saya di tengah tekanan pekerjaan yang saya alami. Terima Kasih Ka, untuk kisah yang indah. Tuhan Memberkati kaka
Sama-sama kak. Saya malah jadi inget lagi kalo pernah nulis tentang Katedral 😄
Tulisan yg sangat menarik dan menginspirasi…Kalimatnya mengalir seperti air sungai yg jernih…
Tulisan yg sangat menarik dan menginspirasi…Kalimatnya mengalir seperti air sungai yg jernih…
dulu saya juga sering kesini ketika galau pekerjaan 😀
anw thanks sharingnya..
Sama-sama 🙂
Tulisannya juga bikin adem, seperti katedral, hehe keep on writting 🙂
Wahhh, terima kasih mbak Jojo atas apresiasinya 🙂
wah serasa berada di dalamnya. trimakasih. sangat menginspirasi.
Halo mas 🙂
Terima kasih atas apresiasinya.
ya kita kadang keenakan berlari lupa unk berhenti sejenak, mengumpulkan tenaga. salam kenal dari utara celebes
Iyap, betul sekali mas :))
salah satu impianku juga, mengunjungi katedral2 penuh sejarah, termasuk yang ini. entah kenapa, saat saya jauh dri rumah dan keluarga, malah kadang rindu sekali dengan rumah tuhan, ingin selalu dekat, meminta pertolongan dan juga kedamaian hati, beda saat berada di rumah (aneh hehehe).
Hehehe. Rumah Ibadah itu memang ada ikatan magisnya, menurut saya.
Kadang, ketika kita penat, rumah ibadah ini menjadi begitu spesial untuk disinggahi bertemu sang Khalik. Ibarat kita berusaha datang ke tempat yang terbaik untuk menemui seorang yang amat dicintai. 😀
pernah juga suatu waktu saat menemani keluarga belanja di salah satu pusat perbelanjaan, saking suntuk dan bosennya, saya malah mampir di salah satu rumah ibadah lumayan lama hingga mereka selesai belanja, rasanya adem saja, melepas hiruk pikuk kota dan suasananya itu lho..
Betuulllll 😀
Suasana yg syahdu adalah obat yang menenangkan jiwa
yesssss
Selain Ibu, Dia juga selalu menyediakan tempat untuk berkeluh-kesah.
Rasanya adem aja gitu kalo udh ‘curhat’ meskipun masalah yg sebenanrnya blm selesai dihadapi hehe.
Betul mas Joe.
Kl dl d Jogja ak paling seneng curhat ke Ganjuran tengah malem. Teduh banget dan jadi kuat lg buat menghadapi hari 🙂
Cantiknyaa…..
😄😄😄 nuansanya magis