Ketika Ejekan Jadi Perekat Persahabatan

 

Semua orang tahu bahwa mengejek adalah perbuatan yang kurang terpuji. Apalagi jika ejekan tersebut sudah mengarah kepada perundungan alias bullying. Tetapi, dalam kamus persahabatan, terkadang kasusnya berbeda. Alih-alih menjadi perusak, ejekan justru membuat keakraban antar sahabat kian erat. Sampai-sampai, ada sebuah quote anonim yang berkata: Level tertinggi sebuah persahabatan adalah ejekan dan makian.

Dari sekian banyak teman, ada seorang sahabat yang hingga kini, walaupun sudah terpisahkan jarak ratusan kilometer, kami masih tetap akrab. Nama aslinya adalah Roland. Perawakannya gemuk, pipinya tembam, dan wajahnya oriental (walau logat bicaranya sangat ngapak). Sewaktu kuliah dulu di Yogyakarta, sebenarnya aku tidak terlalu akrab dengannya. Kami hanyalah teman biasa yang sering bertemu di beberapa mata kuliah, kadang juga ada dalam satu kelompok. Setelah beberapa tahun mengenalnya, aku menyadari bahwa wajahnya itu mirip dengan sosok pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un. Alhasil, tatkala julukan itu disematkan kepadanya, nama “Roland” yang sejatinya adalah nama aslinya pun tenggelam tergantikan oleh nama barunya, “Paman Kim” atau “Jon Un”.

Jika orang biasa diejek, mungkin dia akan sakit hati dan marah-marah. Tetapi, di sinilah istimewanya sahabat. Alih-alih marah, dia malah ikut tertawa bersama dan menyadari bahwa ejekannya itu ada benarnya juga. “Iya sih, kalau dilihat sepintas, emang aku mirip Jong Un,” katanya. 

Tapi, tidak banyak yang tahu bahwa di balik ejekan itu, sejatinya ada satu hal yang membuat persahabatan kami menjadi erat. Ejekan di atas hanyalah sebuah bumbu, atau produk yang dihasilkan dari sebuah perjalanan panjang yang menjadikan dua orang merekatkan diri saling bersahabat.

Cerita ini dimulai pada tanggal 22 Maret 2015. Di Minggu pagi yang tenang, tiba-tiba ponselku berdering.

“Halo, ada apa e pagi-pagi udah nelepon?” tanyaku.

“Ar, papaku meninggal. Aku harus pulang sekarang ke Sidareja,” kata suara di seberang telepon.

Nadanya kalut. Dari pembicaraan itu aku menangkap seolah masih ada rasa tidak percaya di diri Roland bahwa Tuhan telah memanggil pulang ayahnya hari itu juga.

Sek..sek, kamu tenang dulu. Jangan panik. Aku ke tempatmu ya. Kita cari solusi buat kamu bisa pulang sekarang juga,” kataku mencoba menenangkan.

Pagi itu jam sudah menunjukkan pukul 10 lebih. Aku coba mencari tiket kereta api menuju Sidareja, tetapi semuanya ludes. Kucoba alternatif lain berupa travel, hasilnya pun serupa, ludes. Satu-satunya alternatif adalah dengan mendatangi terminal bis Giwangan dan menanti bus malam Budiman dengan tujuan Pangandaran yang akan berangkat jam 6 sore.

“Gak bisa, Ar. Kalau naik bis, terlalu malam! Sampai di Sidareja baru besoknya. Aku mau lihat papaku sebelum tutup peti,” katanya.

Kedua orangtuaku masih utuh, dan aku pun tidak memilki pengalaman bagaimana rasa duka menyelimuti jika orang yang kita kasihi meninggal dunia. Tapi, sebisa mungkin aku berusaha memahami perasaan temanku itu.

“Udah, aku naik motor aja!” katanya.

“Orang gila lu! Jangan, lah! Kondisi kamu lagi panik, lagi sedih. Apa iya bisa konsentrasi naik motor? Bahaya! Ntar bisa-bisa kamu ditabrak bis malah,” jawabku.

Kemudian Roland bergeming. Dia tertegun, sementara air matanya mulai menetes. Aku tidak mungkin membiarkan dia yang dalam kondisi seperti itu mengendarai sepeda motor dari Jogja menuju Sidareja di perbatasan Jawa Barat yang jaraknya lebih dari 200 kilometer. Dulu, aku pernah naik motor sendirian dari Jogja ke Sidareja. Dalam keadaan biasa saja dibutuhkan waktu sekitar 7 jam untuk tiba di sana.

“Ya sudah, kalau kamu memang mau naik motor, aku ikut. Kita pakai motorku, aku yang setir!” kataku memberi solusi.

“Tapi…gak bisa dong Ar, besok kan kamu harus kerja dan kuliah,” keluhnya lagi.

“Ya mau gimana lagi. Aku bisa kok. Wong Jogja-Bandung PP naik motor aja aku sanggup. Ke Sidareja doang mah bisa,” kataku percaya diri supaya dia menurut.

Akhirnya, kami sepakat untuk mengendarai motor ke Sidareja. Jam dua belas siang, dengan persiapan seadanya kami bertolak meninggalkan Yogyakarta menuju Sidareja. Sebisa mungkin, aku berkendara dengan hati-hati, tidak ngebut, tapi juga tidak terlalu lambat.

Satu jam pertama aku merasa oke-oke saja. Memasuki jam ketiga berkendara, aku mulai mengantuk karena sisa-sisa begadang semalam. Akhirnya kami menepi sejenak di SPBU pinggir jalan. Waktu itu kami sudah tiba di Kebumen dan masih membutuhkan waktu 3-4 jam lagi untuk tiba di Sidareja. Setelah melemaskan badan, kami melanjutkan perjalanan. Tapi, kami kurang beruntung. Cuaca tidak berpihak kepada kami dan hujan deras pun turun. Kami kembali menepi dan kali ini segera mengenakan jas hujan.

Hujan yang turun membuat perjalanan semakin melelahkan. Dalam hati aku bergumam, “Ya Tuhan, ini Sidareja masih jauh. Moga aku kuat dan nggak kenapa-napa.”

Memasuki daerah Banyumas, tepatnya di kecamatan Sampang, tiba-tiba Roland menepuk pundakku dan berteriak.

“Ar, itu kayaknya mobil saudaraku yang dari Jakarta, deh. Coba kamu susul,” katanya.

Hah, tau dari mana kamu itu mobil saudaramu?” tanyaku.

“Aku hapal plat nomornya.”

Segera, kupacu gas motor dan kusejajarkan posisiku di samping mobil itu. Roland membuka kaca helmnya dan melambai-lambaikan tangan ke jendela mobil. Sontak, penumpang di dalam mobil itu terbelalak. Ternyata, benar bahwa mereka adalah saudaranya Roland. Kemudian kami menepi sejenak. Doaku dijawab Tuhan. Roland akhirnya masuk ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan ke Sidareja bersama sanak saudaranya.

Tersisalah aku sendirian dan kehujanan di tepi jalan raya Sampang-Kebumen. Walaupun sudah menggunakan jas hujan, air tetap tembus dan membuat bajuku basah semuanya. Supaya tidak masuk angin, aku coba menepi ke sebuah SPBU yang kebetulan ada angkringan di depannya. Selama beberapa saat, aku mengisi lambungku dengan segelas teh panas, dua bungkus nasi kucing, dan sebuah jamu “tolak angin”. Setelah kurasa cukup kuat, aku kembali memacu sepeda motorku untuk kembali ke Yogyakarta.

Jam sebelas malam, dengan kondisi basah kuyup, aku tiba di kos dan langsung terkapar. Berkendara ratuasan kilometer sambil diguyur hujan mau tidak mau menjadikan tubuhku akhirnya terserang flu, meriang, dan sakit punggung. Keesokan harinya, aku kembali melakukan rutinitasku: pagi-pagi bekerja, kemudian siang masuk kuliah, dan malamnya rapat di kampus.

Sejatinya, perjalanan nan melelahkan di hari Minggu kelabu itu menjadi sebuah tonggak bersejarah. Sejak hari itu, kami akhirnya mengecap sendiri buah dari persahabatan. Kadang, kami bertanya-tanya: apa yang membuat waktu itu kami begitu nekat motoran ke Sidareja? Kalau mengingat kejadian itu kembali, kami hanya bisa tertawa kecil menyadari betapa nekatnya kami. 

Memang, pada mulanya persahabatan kami dimulai dengan sesuatu yang tidak elok, yaitu ejekan. Tetapi, siapa sangka bahwa dari balik ejekan itu, tersimpan sebuah hati yang mau saling tulus menolong. Ketulusan itu hanya bisa terjadi ketika masing-masing menganggap temannya adalah sahabatseorang yang spesial, yang Tuhan berikan untuk mewarnai kehidupan.

Dua tahun lebih sejak peristiwa itu, masing-masing kami berpencar ke kehidupannya sendiri-sendiri. Namun, persahabatan kami masih berlangsung. Masih ada tawa canda dan diskusi yang kami lakukan di sela-sela aktifitas kami. Tatkala akhir pekan tiba, biasanya aku akan bertandang ke Sidareja yang jaraknya sejauh 9 jam perjalanan menggunakan KA Serayu dari Jakarta.

Pada akhirnya, seperti sebuah quote tentang percintaan yang berkata bahwa: cinta sejati itu dibentuk, bukan ditemukan. Aku pikir, persahabatan juga sama. Sahabat sejati itu dibentuk, bukan tiba-tiba ditemukan. Pilihan untuk menjadikan seseorang hanya sekadar teman biasa atau sahabat adalah keputusan kita.

Menutup tulisan ini, ada sebuah kutipan bijak dari masa lampau yang berkata:

Berdua lebih menguntungkan daripada seorang diri. Kalau mereka bekerja, hasilnya akan lebih baik. Kalau yang seorang jatuh yang lain dapat menolongnya. Tetapi kalau seorang jatuh, padahal ia sendirian, celakalah dia, karena tidak ada yang dapat menolongnya. (Pengkhotbah 4:9-10 BIS).

Sahabat hadir sebagai kepanjangan tangan Tuhan untuk menolong kita dalam masa sukar, dan berbagi tawa dalam masa sukacita.

3 pemikiran pada “Ketika Ejekan Jadi Perekat Persahabatan

  1. Temenku juga banyak yg gg manggil nama asli. Tapi ya gitu udah biasa, malah kita semakin deketen 😀 tulisannya benar2 menginspirasi

      1. Iyaa bener. Kalau aku mah dengernya biasa cuma kadang ortu yg protes. Kok kmu dipanggil kayak gitu?? Susah mau neranginnya, takut nggak syukur atas nama yg dikasih ortu hehe

        Sama sama mas 😁

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s