Satu minggu sebelum keberangkatan ke Banyuwangi, kami bertiga masih menebak-nebak destinasi mana yang sekiranya paling baik untuk dikunjungi. Sebagai kabupaten yang pariwisatanya tengah naik daun, Banyuwangi punya segudang tempat dan atraksi yang terlalu sayang untuk dilewatkan.
Ketika hari keberangkatan tiba, kami bertolak dari stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Perjalanan menuju kabupaten paling timur di pulau Jawa ini ditempuh menggunakan transportasi murah meriah, kereta api ekonomi Sri Tanjung. Dengan jarak tempuh lebih dari 600 kilometer dan 16 jam perjalanan, setiap orang harus membayar ongkos sebesar 100 ribu Rupiah. Jika dibandingkan dengan moda transportasi lain seperti bis, tentu harga tiket Sri Tanjung jauh lebih murah.
Di dalam kereta, kami kembali membuka diskusi tentang destinasi mana yang nanti akan kami sambangi. Sederet nama pun keluar: Gunung Ijen, Baluran, Pantai Bama, Teluk Hijau, Pantai Plengkung, Taman Nasional Alas Purwo, Pantai Boom, dan Grajagan. Seturut rencana, kunjungan kami hanya berlangsung selama 3 hari. Jadi, kami harus mempertimbangkan jarak antar destinasi yang bisa dijangkau dalam waktu tak terlampau lama. Dari diskusi itu, pilihan kami jatuh pada Baluran, kemudian Ijen, Pantai Boom, dan terakhir ditutup dengan mengunjungi Teluk Hijau di Meru Betiri.
Perjalanan menyapa Ijen
Kami sengaja meletakkan Ijen sebagai destinasi di malam kedua. Alasannya, supaya kami bertiga punya tenaga cukup untuk mendaki hingga puncak. Tidak ada satu pun dari kami yang benar-benar ahli dalam urusan daki-mendaki. Walaupun kami pernah mendaki beberapa gunung seperti gunung Prahu, Andong, Lawu, dan Sibayak, tapi mendaki gunung sejatinya bukanlah agenda rutin yang selalu kami canangkan.
Jam sebelas malam, kami memulai perjalanan menuju pos pertama pendakian Ijen. Perjalanan dimulai dengan mengendarai motor menuju pos Paltuding. Perlu diingat, apabila hendak bepergian menggunakan motor sewaan, ada baiknya kita harus mengecek kondisi kendaraan terlebih dahulu. Kami tidak tahu kalau motor matic yang kami sewa kondisinya kurang prima. Di jalanan yang gelap dan menanjak, motor kehilangan gaya dorong dan lampunya meredup. Jantungku was-was. Mulutku berkomat-kamit melayangkan doa supaya motor ini tetap kuat sampai ke gerbang masuk.
Tak terbayang olehku jika malam itu motor ini mogok. Entah harus meminta pertolongan kepada siapa. Suasana bertambah mencekam tatkala kabut turun dan udara dingin menusuk. Rasanya persis seperti di adegan-adegan film horror.
“Anjeerrr. Jangan liat ke belakang!” kata temanku yang duduk di belakang.
Kulirik pandanganku ke spion. Benar-benar gulita. Sinar purnama tak sanggup menembus lebatnya pepohonan. Sepanjang jalan, kami tidak menemukan ada pengendara lain. Ketika jalan semakin menanjak, aku coba mengemudikan motor secara zig-zag. Kemudian, temanku yang badannya cukup gempal, kusuruh untuk memajukan posisi duduknya supaya mengurangi gaya potensial. Cara-cara sederhana ini lumayan efektif. Dengan laju yang amat pelan, akhirnya kami berhasil tiba di pos Paltuding.
Kami datang lebih cepat setengah jam. Gerbang pendakian menuju Ijen baru dibuka pukul setengah satu dini hari. Saat itu sudah berkumpul ratusan orang. Aneh juga, kupikir. Padahal di jalanan tadi kami tidak menjumpai satu pun kendaraan, tetapi tahu-tahu di atas sudah ramai seperti pasar. Gunung Ijen rupanya menjadi magnet yang kuat untuk menarik kunjungan wisatawan, terutama di long-weekend. Ada serombongan turis asal Singapura yang begitu antusias untuk mendaki Ijen. Saking antusiasnya, orang-orang di sekitar pos jadi tertawa kecut. Mungkin karena di negaranya tidak ada gunung tinggi, persiapan mereka mendaki Ijen seperti hendak mendaki Everest atau Kilimanjaro. Ada salah satu dari mereka yang bahkan membawa tongkat pemecah es. “Mungkin mereka di puncak mau main ski kali, hahaha,” kata temanku.
Malam itu sinar purnama amat terang, sampai-sampai kami tak lagi memerlukan senter untuk menerangi langkah. Di etape pertama, kami berjalan semangat. Kami coba bernafas secara teratur dan berjalan membaur dengan rombongan penambang belerang. Salah satu hal yang membuat Ijen menjadi gunung yang unik adalah kehadiran para penambang ini. Mas Suryo, salah satu penambang itu berjalan bersama-sama dengan kami. Usianya masih muda, katanya baru 30 tahun.

“Saya seminggu biasanya 3 kali naik ke atas buat nambang belerang, mas. Kadang, kalau kuat ya bisa lebih. Tapi, tergantung keadaan,” tuturnya.
Mas Suryo sudah menggeluti profesinya sebagai penambang belerang sejak 8 tahun silam. Pundaknya lebar dan otot tangannya terlihat kekar. Bagaimana tidak, menjadi seorang penambang belerang berarti mereka harus siap memanggul beban puluhan kilogram di bahu mereka sendiri. Mas Suryo dan penambang lainnya tak perlu repot-repot mengikuti pelatihan di tempat fitness, toh setiap hari yang mereka lakukan jauh lebih berat daripada latihan-latihan kebugaran badan.
Fisik tidak bisa berbohong. Lama-lama, langkah kami melambat.
“Wah, piye, masih muda kok sudah soak, mas. Hahaha,” ejek mas Suryo.
“Wis mas, monggo duluan saja,” kataku.
Belum sampai etape pendakian pertama tuntas, kami sudah berhenti. Satu menit dirasa kurang, tambah lagi satu menit. Akhirnya, jadi 10 menit kami berhenti. Melangkah lagi beberapa meter, ngos-ngosan lagi, berhenti lagi. Janji awalnya kami hanya akan berhenti selama 1 menit. Tapi, janji tinggal janji. Setiap kali beristirahat, kami membutuhkan lebih dari 5 menit.
Trek menuju puncak Ijen sebenarnya tidak sulit. Tidak perlu juga takut tersesat. Sudah ada jalan tanah yang dibuat hingga ke puncak. Hanya, jalan tersebut tidak ada datarnya, selalu menanjak. Jadi, bagi yang pemula seperti kami memang sudah selayaknya banyak berhenti.
Etape pertama berakhir di pos Bunder. Di pos ini biasanya para penambang belerang akan menimbang hasil tambangnya dan beristirahat sejenak sebelum kembali menambang atau membawa turun belerang hingga ke pos Paltuding.
Dari pos Bunder, tersisa satu etape lagi menuju puncak. Trek di etape ini lebih nyaman dilalui. Ada turunan, dataran, dan juga tanjakan. Jadi, perjalanan tidak terlalu monoton. Tapi, di trek ini juga setiap pejalan harus waspada karena jalurnya sempit dan berbatu. Salah langkah dan terpeleset bisa-bisa masuk ke jurang dan tamat.

Jam setengah empat, kami tiba di Puncak Ijen. Matahari masih belum menampakkan semburatnya. Tatkala kamu menengadah ke langit, betapa takjubnya kami melihat angkasa yang begitu indah. Jutaan bintang berkerlap-kerlip, seolah-olah jaraknya amat dekat dengan bumi. Tapi, kekaguman kami berubah menjadi gertakan gigi. Karena berdiam diri, tubuh kami mulai mengigil. Angin yang bertiup dinginnya bukan main. Satu teman kami yang tidak menggunakan jaket gunung berkata kalau dia tidak kuat.
“Mati aku, dingin banget c*kkkkk!”
Alih-alih iba, kami berdua heran. Katanya, teman kami ini sudah mendaki hingga ke Puncak Lawu yang jauh lebih tinggi dari Puncak Ijen. Tapi, kok kedinginan ya?
Kami coba menghangatkannya dengan segala cara. Pertama, kami keluarkan jas hujan dari dalam ransel dan kami bungkus seluruh tubuhnya. Kemudian, karena katanya dia masih merasa dingin, kami coba mencari tempat yang ada batu besar untuk melindungi dari angin. Lalu, kami peluk dia beberapa saat.
“Kalo kita diem, tambah dingin. Ayo gerak!” kataku.
Kami coba bergerak, berlari-lari kecil, dan mondar-mandir di sekeliling puncak. Gerakan-gerakan yang kami lakukan membuat tubuh kami menjadi lebih hangat. Sampai fajar menyingsing, kami terus mondar-mandir seperti setrikaan. Sebenarnya, kami ingin sekali mengunjungi blue fire, tapi terlalu banyak orang di sana. Alih-alih membayar mahal hanya untuk berdesakan, kami coba mencari tempat terbaik di puncak untuk menyaksikan fajar menyapa.
Menjelang jam 5 pagi, semburat kekuningan mulai terlihat dari ujung timur. Samar-samar mulai terlihat sebuah gunung nan hijau. Kata para penambang, gunung itu dinamai gunung Meranti. Aku tidak tahu apa arti nama Meranti, tetapi yang jelas nama gunung itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan Bolu Meranti yang laris dijual di Medan.

Tatkala langit sudah sepenuhnya terang, pemandangan nan agung pun tersingkap. Setiap pengunjung mengeluarkan jurusnya masing-masing untuk menikmati Ijen. Ada yang berswafoto, ada yang memeluk kekasihnya, ada yang berdiam diri sambil merokok, dan ada pula yang mencoba mengikuti para penambang.
Belum sempat kami membidik pemandangan, kabut segera datang. Kami terlambat. Kaldera kawah Ijen yang kami lihat di internet tak dapat kami lihat jelas dari sini. Alam memang tidak terduga. Tatkala kami mengira cuaca akan terang benderang, tahu-tahu kabut menyambangi. Marah dan kecewa jelas bukan pilihan yang bijak. Apapun yang terjadi, alam tetap menyajikan yang terbaik untuk kami.

Selama dua jam, kami coba untuk menikmati Ijen dalam keheningan, menutup mata dan membiarkan desiran angin merasuk ke tubuh kami.
Pagi itu, Ijen memberikan dua pelajaran berharga kepada kami. Pertama, untuk menggapai puncak, perlu perjuangan. Kedua, perjuangan kami tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan bapak-bapak penambang belerang di sini. Pundak mereka mungkin sudah menjadi sekeras baja. Mereka tak lagi menghiraukan rasa sakit ataupun marabahaya yang bisa kapan saja mengintai mereka. Mereka mengajari kami bahwa naluri dan tanggung jawab lelaki adalah soal bekerja. Peluh yang mereka cucurkan di atas kawah Dieng adalah doa dan harapan bagi keluarga mereka di rumah.
Seiring matahari yang menanjak tinggi, satu per satu pengunjung mulai berjalan pulang. Sementara itu, para penambang belerang tetap bergeming. Tangan mereka tetap terayun memecah-mecah bongkahan bongkahan batu bersulfur. Pundak-pundak mereka tetap tangguh menahan beban yang teramat berat.
Puas dibuat takjub oleh keindahan Ijen dan ketangguhan para penambang, kami memutuskan untuk undur diri.
Terima kasih Ijen.
Jangan putus asa tetap semangat dan coba lagi nanti mas, ya sapa tahu yang kedua dapat view lebih baik lagi, tp wisata alam tidak bisa diprediksi lo ….
Iya nih.
Tahun depan rencana ingin naik lagi ke sana dan meluangkan waktu lebih lama sedikit di puncak. 🙂
Semoga bisa dapat viewnya lebih jelas
ayokk bareng dong kalo mau naek ke Ijen lagi…aku belom pernah soale wkwkwkk
Ayuukk 😀
Masih pingin dapetin view kawah yang gak ketutup kabut.
Tp nunggu smpe dapet cuti dari kantor, taon depan 😀
Kemaren pas ke BWI, sebenarnya ditawari naik ke Ijen. Tp lg peak season makanya agak mahal. Lagipula ga bawa jaket tebel 😅
Wahhh… Sayang banget mas 😦
Tp aku ya pgen naik ke Ijen lagi. Yang ini belum puas, pas sampai puncak kena kabut.
Pemandangannya amazing 😍
Mahakarya Sang Pencipta 😍😍