Hal Terbodoh yang Pernah Kulakukan

Ketika aku membuka kembali kumpulan foto-foto lama di hardisk-ku, pandanganku terhenti di sebuah foto ketika aku berpose di depan sebuah mobil pikap.  Di atas pikap itu, ada kasur, lemari, dan puluhan perabotan lainnya yang siap diangkut. Seingatku, foto itu diambil pada hari Sabtu—hari di mana aku amat sumringah karena akan pindah ke rumah kos yang baru.

Sebelum hari pindahan itu tiba, selama satu bulan penuh aku sudah berkeliling mencari tempat kos yang baru yang paling sesuai. Sebenarnya, kos lamaku itu sudah lebih dari nyaman. Tidak ada yang perlu aku keluhkan selain dari harganya yang lumayan tinggi untuk ukuran Jogja (waktu itu harganya 400 ribu). Jaraknya ke kampus juga hanya 200an meter, jadi aku tidak perlu takut terlambat datang kuliah. Tapi, segala kenyamanan itu tidak membuatku ingin bertahan lebih lama. “Pokoknya aku harus pindah!” kataku. Ketika tahu aku akan pindah, hampir semua temanku mencegahku. “Mbok dipikir dulu, Ry. Kita udah enak sama-sama di sini, masa mau pindah?” Aku tetap pada pendirianku untuk pindah.

Setelah mendapatkan rumah kos yang kurasa pas, tanpa pikir panjang aku segera pindah. Waktu itu aku tidak memberitahukan ke orang tuaku kalau aku ingin pindah, juga tidak meminta uang kepada mereka. Uang pindahanku bulan itu murni kuambil dari jatah bulananku.

Satu jam setelah setiap perabotanku tiba di kamar kos baru, rasanya aku amat bahagia. Akhirnya, aku bisa menikmati suasana baru setelah tiga tahun mendekam di kos lama. Walaupun kos baruku ini jauh dari kampus, tapi suasananya enak. Lokasinya di persawahan utara bandara Adisucipto, Yogyakarta. Ketika sore tiba, sinar matahari senja memancar hangat. Tidak perlu jauh-jauh menikmati sunset ke pantai kalau dari kos saja pemandangannya sudah indah.

Namun, sukacitaku pindah ke kos baru ternyata tidak bertahan lama. Menjelang malam, ada perasaan bersalah yang menghantuiku. Perasaan itu memaksaku untuk mengusut kembali niat dan motivasiku di balik kepindahan kos hari itu.

Sebenarnya, ada satu alasan yang membuatku nekat pindah. Di kos lamaku, ada 19 penghuni. Aku terlibat konflik dengan satu orang penghuni yang kamarnya persis ada di seberang kamarku. Waktu itu aku tidak tahu apa salahku sehingga dia marah. Karena sifatku yang tidak ingin memiliki musuh, maka aku coba datangi temanku itu. Aku tanya baik-baik dan aku minta maaf. Tapi, bukan penjelasan yang kudapat, malah amarah dan tendangan. “Keluar lu dari kamar gua!” teriak temanku itu ketika aku coba menanyainya baik-baik. Sontak, aku heran dan kecewa. “Apa salahku?” aku bertanya-tanya dalam hati.  

Semenjak kejadian itu, aku jadi tidak nyaman berada di kos. Setiap hari temanku itu selalu membanting pintu kamarnya. Satu dua hari pertama aku mencoba bersikap cuek.  Tapi, lama-lama aku stres sendiri. Kepada teman-teman lainnya, aku coba bercerita tentang masalah ini dan mereka mencoba untuk membantu proses rekonsiliasi. Alih-alih menerima saran itu, aku malah enggan jika teman-teman lainnya ikut campur. Aku takut jika masalah ini akan merembet ke banyak orang. Selidik demi selidik, akhirnya aku tahu alasan temanku itu marah. Waktu itu aku pernah berjanji untuk mengajaknya pergi ke supermarket. Tapi, aku lupa janji itu dan malah pergi ke Surabaya untuk traveling sendirian. Ketika aku tahu alasan di balik marahnya temanku itu, sungguh konyol pikirku. Tapi, apa daya, apa yang konyol buatku bisa jadi sesuatu yang menyakitkan buat orang lain.

Singkat cerita, daripada stres, aku membulatkan tekad untuk pindah. Aku meninggalkan 18 teman kos lainnya hanya karena 1 teman kos yang tidak baik kepadaku. Belum sampai satu hari penuh aku di kos baru, sepanjang malam aku dihantui rasa bersalah.

“Gila lu ry, lu tinggalin teman-teman lu cuma karena 1 orang yang gak baik?” pertanyaan ini terngiang-ngiang di benakku. Sebisa mungkin aku coba menepis pertanyaan itu. Aku mencoba tidur, tapi tetap saja aku terjaga.

Keesokan harinya, di hari Minggu, dalam sebuah ibadah di gereja, aku merasa kembali ditegur akan keputusan hari itu. Aku lupa apa pesan khotbah yang disampaikan oleh pendeta di ibadah Minggu itu, tapi yang jelas aku merasa bahwa keputusanku untuk pindah kos itu salah, amat salah. Sebelum terlambat, aku harus memperbaiki kesalahan ini. Akhirnya, setelah ibadah usai, aku segera pulang ke kos baruku. Tanpa berpikir lama-lama, aku telpon kembali supir pikap yang kemarin mengangkut barang-barangku.

“Halo, pak. Ini saya, yang kemarin sewa pikap. Nanti jam 3 bapak bisa ke Maguwo, kos yang kemarin?”

“Bisa mas, memangnya ada apa lagi? Ada yang ketinggalan po?

“Oke pak, nanti ke sini ya pak. Saya mau pindah kos lagi.”

Hah? Pindah? Bukannya baru kemarin pindahan ya mas? Kok wes mau pindah lagi?” 

Pertanyaan itu membikin aku malu. Aku tidak tahu mau menjawab apa. Tak hanya kepada supir pikap, ibu kos baruku pun matanya terbelalak ketika tahu aku yang belum sampai 24 jam kos sudah mau pindah lagi. Mungkin di benaknya dia pikir aku ini orang sinting, pindah kos cuma semalam, kenapa gak sewa hotel aja? 

Ya, kalau mau pindah lagi monggo mas. Tapi, uangnya maaf ndak bisa kembali,katanya.

Aku ikhlas, uangku sebesar 600 ribu melayang. Hari itu, aku seolah-olah jadi orang kaya. Untuk menginap hanya semalam di kos baru, aku membayar 600 ribu!

Ketika mobil pikap yang kutumpangi tiba di depan kos lamaku, teman-teman kosku menghambur keluar. Sambil terheran-heran, mereka malah bertepuk tangan dan berteriak-teriak, seolah aku baru pulang dari medan laga.

“Gila, Ary! Rekor ini rekor, pindah kos cuma sehari! Hahahaha!” tawa mereka mengejek. Tapi, aku tidak tersinggung. Tawa dan ejekan mereka menjadi penghiburku bahwa keputusan untuk balik lagi ini adalah keputusan yang terbaik. Aku harus pulang, menyelesaikan masalah, bukannya lari dari padanya. 

Kembali ke kos lamaku, aku mengambil komitmen untuk tidak membenci teman yang marah padaku. Alih-alih membencinya, aku mau memaafkan dia terlebih dahulu. Aku tidak mau membalas perbuatannya yang terkesan jahat itu dengan kejahatan lainnya.

Sejak hari itu, setiap kali dia membanting pintu, aku akan membalasnya dengan senyuman. Pintu kamarku selalu kubuka. Tiap kali papasan dengannya, selalu kulemparkan sapaan. Satu dua hari berlalu, lama-lama aku jadi terbiasa. Aku jadi tidak peduli lagi dengan respons buruk yang dia berikan, yang aku tahu hanyalah aku harus tersenyum dan menyapa.

Tiga bulan berlalu, tidak ada yang berubah dari temanku itu. Keputusanku untuk memaafkan itu mungkin terlihat tidak berdampak apa-apa buat temanku, tapi ternyata berdampak besar buat diriku sendiri. Aku mampu hidup dengan tenang, juga tak ada ruang kebencian yang tersisa di hatiku. Hingga suatu ketika, kalau tidak salah di bulan Agustus 2015 ada sebuah sms masuk ke ponselku. Isinya adalah permohonan maaf anonim. Ketika kubalas pesan itu dan kutanya siapa, ternyata dia adalah temanku itu, teman yang pernah menendangku dan membuatku stres hingga akhirnya aku memutuskan pindah kos. Hari itu, dia mengakui bahwa dia telah salah. Aku tidak marah, aku bilang padanya kalau jauh sebelum dia meminta maaf, aku sudah terlebih dulu memaafkannya.

“Haha, ya sudah, sudah berlalu. Kita tetap berteman kok. Lain kali kalau ada masalah, ada baiknya itu diceritakan langsung ke orangnya. Kalau kamu gak cerita, gimana caranya orang itu bisa tahu kalau dia salah?” kataku. Ketika pesan sms itu dikirimkan, aku sedang berada di Jakarta untuk magang selama satu setengah bulan.

Setelah magangku usai dan aku kembali ke Jogja, hubungan kami menjadi damai seperti sedia kala. Seandainya, jika dahulu aku tetap bersikukuh untuk menetap di kos baruku, mungkin aku tidak akan pernah belajar untuk melepaskan keegoisanku. Waktu itu aku terlalu egois. Yang aku pikirkan hanyalah diriku seorang. Aku melupakan kebaikan 18 temanku yang lain hanya karena 1 orang yang membuatku stres. Untuk menegurku, Tuhan mengizinkan aku melakukan hal bodoh, yaitu pindah kos hanya satu malam. Uangku habis bulan itu, jadi aku harus utang kepada temanku yang lain.

Tapi, dari pengalaman bodoh ini, aku tidak menyesal, malah aku tertawa. Pengalaman itu memang mahal harganya, dan pengalaman adalah guru terbaik. Aku bisa saja menolak saran dan nasihat dari orang lain, tetapi, ketika Tuhan mengizinkanku mengalami suatu pengalaman yang kualami sendiri, di situlah akhirnya aku belajar dan paham.

Teman-teman di kos lamaku adalah keluargaku. Bahkan, ketika sekarang kami telah dipencar ke berbagai daerah, kenangan akan tinggal 4 tahun di bawah atap yang sama selalu membuat kami rindu untuk suatu saat bisa mudik bersama ke kos kami tercinta, di pinggiran sawah jalan Babarsari. 

 

11 pemikiran pada “Hal Terbodoh yang Pernah Kulakukan

  1. Waa 😭😭 saya juga sempat mengalami hal yang mirip begini dengan kawan kos. Tapi sekarang sudah baikan lagi. Setelah berbulan-bulan tentunya. Fyuuuhh

  2. Aku juga pernah salah paham dengan temen kos. Aku juga sempat bertanya apakah ia marah denganku? Karena sikapnya ke aku beda dengan yg lain. Tapi gegara aku sering dngan anak kos yg lain dia sempat juga ngediemin anak sekos. Bedanya nggak selama dengam mas yang smpai 3bulan dicuekin. Bedanya juga aku ngga sempet pindah kos, walau pikiran itu muncul berkali-kali. Kita ngobrol in banyak hal, mencoba untuk berbicara dri hati ke hati. Dan alhamdulillah nya kita baikan, bersyukur pula tambah deket walau kepisah jarak. #jdi ikut curhat

    1. Hahaha. Pengalaman yang menarik mba 🙂

      Memang, hidup di rumah kos yang penghuninya saling mengenal dan akrab ya seperti ini. Kadang bisa jadi ada salah paham. Tapi, ini sih seninya dari hidup nge-kost hehehe.

      Gegara kejadian ini, aku jadi sayang banget sama kosku, dan bahkan jadi tambah akrab dengan penghuni lainnya 😀

      1. Bersyukur bisa ngekos ya. Aku jga gitu Alhamdulillah makin deket sama anak kos walau udah balik ke kampung masing2 🙏😊
        Kalau gg gitu gg ada certa ya hehe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s