Cerita Tentang 3 Sahabat

Layar ponselku menyala. Tampak sebuah pesan masuk di grup LINE.

“Gw udah beres interview, katanya sih keputusan malam ini,” tulis Iko.

Pesan itu disambut dengan balasan-balasan pertanyaan lainnya dariku dan seorang lainnya bernama Yoses. Hari itu, Iko baru saja menyelesaikan tahapan interview yang menentukan ke mana hidupnya akan menuju setelah lulus jadi sarjana. Satu hari berselang, Iko pun diterima bekerja. Ia harus segera berkemas pindah dari Bandung, kota yang mempertemukan dan membesarkan persahabatan kami bertiga.

Dimulai dari ejek-mengejek

Cerita persahabatan kami dimulai pada tahun 2001. Waktu itu kami bertiga masih bocah. Aku duduk di kelas I SD, sedangkan mereka berdua masih duduk di bangku TK. Kami bertemu di gereja, tepatnya di kelas Sekolah Minggu. Tapi, waktu itu kami bukanlah teman main yang dekat. Kami hanya saling tahu tanpa saling mengenal.

Kami baru mulai saling mengenal di tahun 2004. Waktu itu, di pertengahan tahun, gereja kami mengadakan acara tahunan yang disebut sebagai Sekolah Injil Liburan (SIL). Acara ini khusus diselenggarakan untuk mengisi kegiatan anak-anak yang sedang libur sekolah. Dalam salah satu sesinya, seorang pembicara memberikan kesempatan kepada anak-anak yang ingin dibaptis untuk mengangkat tangan dan maju ke depan. Awalnya aku tidak mau mengangkat tangan, tetapi karena hampir semua anak saat itu mengangkat tangan, aku ikut-ikutan. Di antara banyak anak-anak yang mengangkat tangan itu, ternyata ada Yoses dan Iko juga.

Selama tiga bulan setelahnya kami mengikuti kelas Sekolah Minggu khusus untuk persiapan baptisan, atau dalam istilah Kristen disebut “Katekisasi”. Durasi katekisasi ini berbeda, tergantung dari denominasi gerejanya. Di sinilah kami mulai lebih sering bertemu, bercanda, bermain, dan tak lupa saling memberi julukan dan mengejek. Pada masa itu, ejekan yang sedang populer di kalangan bocah-bocah seusia kami adalah memanggil dengan sebutan nama orang tua.

“Lek, Alek!” mereka memanggil nama bapakku.

Tak terima, aku membalas mereka.

“Yanto”, nama bapaknya Yoses. 

“Wijaya,” nama bapaknya Iko. 

Kami tahu kalau perbuatan ini memang tidak sopan. Tapi, apa daya, panggilan semacam ini telah menjadi trend  yang berkembang kala itu. Alih-alih tersinggung, ejekan-ejekan ini malah membuat kami tertawa ngekek, dan anehnya membuat persahabatan kami semakin erat.

Jika mengejeknya di luar, tentu tidak masalah. Namun, menjadi masalah tatkala kami saling berkunjung ke rumah masing-masing. Tak jarang salah seorang dari kami suka keceplosan. Alih-alih memanggil nama sebenarnya, malah jadi memanggil nama bapaknya.

Melewati masa puber

Saat usia kami memasuki masa-masa puber, kami larut ke dalam dunia pencarian jati dirinya masing-masing. Waktu itu aku tumbuh jadi kutu buku dan sangat anti terhadap olahraga. Bertolak belakang denganku, Yoses mencari jati dirinya lewat bermain basket dan pacaran. Sedangkan Iko, dia mulai mencintai segala hal berbau Jepang-jepangan, mulai dari musik hingga film berbahasa Jepang yang bagiku suaranya mirip bahasa planet lain.

Walaupun kesukaan kami berbeda, tetapi ada dua hal yang menyatukan kami, yaitu warnet dan sepeda. Waktu itu, game online sedang marak-maraknya. Setiap Sabtu sore kami selalu meluangkan waktu untuk pergi ke warnet selama tiga jam demi bertarung Dota, Audition, atau Counter Strike. Awalnya hanya setiap Sabtu, lama-lama kami jadi semakin intens bermain di warnet. Bahkan, di kala liburan sekolah berlangsung, kami sempat mengikuti paket nyubuh di warnet, dari jam 9 malam sampai jam 5 pagi. Jika saat ini kami mengingat-ingat kembali masa itu, rasanya sungguh konyol meluangkan waktu sepanjang malam hanya untuk bermain game.

Selain warnet, satu hal lain yang menyatukan kami adalah sepeda. Kami belum memiliki motor waktu itu, jadi sepeda adalah transportasi andalan kami. Setiap liburan tiba, sejak jauh-jauh hari kami sudah merencanakan tempat mana yang akan kami tuju. Biasanya, setelah bersepeda kami akan menginap di rumah salah satu dari kami.

Walaupun saat itu emosi kami sebagai anak remaja masih sering labil, tapi kami selalu saling menjaga. Ketika yang satu hubungan pacarannya putus, kami menghiburnya dan mengajaknya ke gereja, bukan diskotik. Ketika yang satu terjebak ke dalam pergaulan di sekolahnya yang mulai menyimpang, kami menegurnya. Ketika yang satu mengalami keluarga broken-home, kami tetap merangkulnya, mengajaknya sekadar berjalan-jalan atau menginap untuk menghiburnya.

Harus dipencar

Selama bertahun-tahun kami selalu melewatkan hari bersama, hingga tibalah waktunya di tahun 2012. Waktu itu aku memutuskan untuk pergi merantau dari Bandung ke Jogja, meninggalkan kenangan yang telah dipupuk sedemikian rupa. 30 Juli 2012, satu hari sebelum kepindahanku ke Jogja, kami saling mengikrar janji untuk terus saling berkomunikasi. Hari itu kami bertiga menangis. Bukan karena sedih, tetapi karena terharu menyadari bagaimana tiga manusia yang saling berbeda ini pada akhirnya bisa saling melengkapi sebagai sahabat.

Lima tahun kemudian, tepatnya di tahun 2017 ini, satu dari kami harus ikut kembali dipencar. Iko telah diterima bekerja di Jakarta dan harus meninggalkan Bandung. Memang, jarak antara Jakarta dan Bandung itu tidaklah jauh. Namun, jarak tetaplah jarak. Jarak memang sengaja diciptakan untuk membatasi dan memisahkan, namun karena jarak juga, rindu, harapan, dan doa bisa tumbuh. Ketika jarak mengakibatkan kehilangan secara fisik, di sinilah jembatan emosional terhubung. Walau masing-masing kami telah berpencar, tetapi grup kami di LINE tetap sering berkicau. Selalu ada obrolan, entah penting ataupun tidak penting yang dibahas di sana.

Waktu telah menguji persahabatan kami selama belasan tahun. Jika dahulu kami dibentuk bersama-sama, sekarang, waktu menakdirkan kami untuk berpencar mengerjakan ladang kami masing-masing. Aku menekuni ladang pekerjaanku sebagai editor. Iko mengasah bakat seninya dan sekarang menjadi seorang yang amat ahli dalam urusan desain grafis dan animasi. Sedangkan Yoses, dia memilih untuk menekuni ilmu tentang pariwisata dan saat ini sedang meniti jalannya untuk menemukan karier terbaik.

Saat aku merenungkan kembali cerita perjalanan persahabatan ini, aku teringat akan sebuah kutipan orang bijak yang berkata:

Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya.

Waktu kami untuk selalu berkumpul bersama mungkin telah usai. Sekarang, tibalah waktunya bagi kami untuk berpencar dan berkarya. Kelak, pada kesempatan selanjutnya kami akan kembali bertemu, membawa segudang kesan dan cerita dari perjalanan hidup masing-masing.

12 pemikiran pada “Cerita Tentang 3 Sahabat

  1. yakinlah suatu saat bisa ketemuan lagi, macam teman lama jaman sma yang udah beberapa tahun tak ketemu dan beberapa hari yang lalu ketemu lagi : )

Tinggalkan Balasan ke aryantowijaya Batalkan balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s