Hampir dua abad lalu, gunung Patuha adalah gunung penuh misteri. Konon katanya gunung ini sangat angker, setiap burung yang terbang melintasi puncaknya niscaya akan mati. Tatkala orang-orang pada masa itu mengamini misteri ini, ada seorang lain yang malah menentang kepercayaan masyarakat bahwa gunung ini angker. Untuk mencari tahu alasan logis di balik cerita mistis itu, dia melakukannya dengan cara mendaki ke puncak.
Orang itu adalah Dr. Franz Wilhelm Junghuhn, seorang ahli botani berkebangsaan Jerman yang pada tahun 1837 menemukan ‘harta karun’ dari gunung Patuha. Ketika Junghunn sampai di puncak, dia mendapati ada sebuah danau kawah beraroma belerang nan indah. Danau kawah ini tercipta dari letusan dahysat gunung Patuha yang terjadi pada abad ke-10. Selain menghancurkan, letusan dahsyat itu juga menciptakan keindahan. Junghuhn menyadari bahwa mitos tentang burung yang katanya akan mati jika terbang melewati puncak itu bisa jadi benar adanya. Tapi, burung-burung itu mati bukan karena makhluk halus, tetapi karena aroma belerang yang begitu kuat dari kawah. Kawah itu kemudian dikenal dengan nama Kawah Putih.
Satu setengah abad setelahnya, pemerintah mengembangkan Kawah Putih sebagai kawasan wisata. Promosi dilakukan dan jalan aspal pun dibangun hingga mendekati bibir kawah. Setiap pengunjung yang hendak menyambangi kawah tak perlu susah-susah mendaki seperti yang Junghuhn lakukan dulu. Seiring berjalannya waktu, Kawah Putih semakin tersohor namanya, baik di kalangan turis lokal maupun mancanegara. Selain sebagai lokasi wisata, Kawah Putih juga amat digemari sebagai lokasi untuk pengambilan foto-foto pre-wedding. Kombinasi antara bebatuan putih, warna kawah yang tosca, dan tebing-tebing yang gagah dirasa cocok untuk menghasilkan paduan foto romantis yang sempurna.
Di tahun 2009, aku pernah berkunjung ke Kawah Putih bersama dengan tiga orang teman. Waktu itu sepeda motor yang kami kendarai bisa diparkir di lahan parkir yang terletak dekat dengan bibir kawah. Aku lupa berapa tiket masuk yang dibanderol waktu itu, tapi yang kuyakin adalah harga tiketnya pasti murah karena suasana kawah amat ramai oleh pengunjung, bahkan mirip pasar. Di mata turis lokal yang dulu bukan penikmat fotografi sepertiku, Kawah Putih memang luar biasa indah dan menyihir tiap pengunjung untuk betah memandanginya terus-menerus.
Delapan tahun sejak kunjungan pertama itu, Sabtu kemarin (29/7) aku kembali berkunjung ke Kawah Putih. Kali ini aku berkunjung bersama teman-teman sekantor dari Jakarta dan kami mengendarai mobil. Setibanya di gerbang masuk Kawah Putih, kami cukup kaget karena harga tiket masuknya fantastis. Tiket untuk satu orang adalah 20 ribu rupiah. Tetapi, tiket untuk parkir mobil di parkiran dekat bibir kawah adalah 150 ribu per mobil! Tarif parkir yang memang mahal.
Sebelum membayar, kami sempat hitung-hitungan terlebih dahulu.
Kalau parkir di parkiran bawah, harganya jadi berapa, teh? Tanyaku.
Kalau parkir di bawah, tarifnya 15.000. Nanti ke atasnya bisa naik mobil ontang-anting, 35.000 per orang bolak-balik, jawab petugas loket.
Berhubung kami pergi berlima, jadi kami tetap memilih opsi pertama, membayar 150 ribu untuk parkir di atas. Opsi ini masih jauh lebih hemat dan mudah daripada kami harus membayar 35 ribu + 20 ribu dikali lima orang.
Awalnya aku sempat merasa heran dengan tarif mahal yang dipatok oleh pengelola. Jika aku bandingkan dengan pengalamanku hilir-mudik objek wisata di Jogja dulu, harga masuk Kawah Putih memang mahal. Tapi, setelah kupikir-pikir lagi tentu pihak pengelola memiliki pertimbangan di balik harga masuk yang selangit itu.


Dari pos masuk menuju parkiran dekat bibir kawah, ada jarak sejauh 4 kilometer yang harus ditempuh. Motor tidak diperkenankan untuk naik hingga ke atas. Oleh karena itu, pengelola menyediakan angkutan wara-wiri bernama Ontang-Anting yang bertugas mengantar jemput pengunjung dari parkiran atas ke loket masuk dan sebaliknya. Jalanan aspal hingga ke puncak begitu mulus, sangat kontras dengan 8 tahun lalu di mana jalanannya masih berbatu dan rawan untuk dilalui. Waktu itu sepeda motor masih bebas melanggeng di jalanan ini.
Ketika kami tiba di parkiran atas, area parkir juga sudah ditata lebih rapi. Mobil-mobil diparkir berderet, dan ada sekitar lima orang petugas parkir yang berjaga di sana. Walaupun hari itu adalah akhir pekan dan banyak pengunjung, tapi suasana tetap terasa nyaman, tidak kumuh. Dari parkiran menuju kawah utama, kami berjalan melewati anak tangga yang telah dibangun dengan rapi. Di sepanjang tangga itu, puluhan warga lokal menjajakan aneka jualannya. Ada yang menjual batu belerang, masker, hingga menyewakan payung.
Kami kurang beruntung karena kabut tebal menutupi seluruh kawah. Sepanjang mata kami memandang, hanya putih, membuat Kawah Putih hari itu benar-benar putih sempurna. Walaupun kabut turun, tetapi para fotografer lokal di sana tidak menyerah. Mereka tetap menawarkan jasa foto langsung cetak kepada tiap-tiap pengunjung, termasuk kami. Untuk satu kali foto, mereka mematok harga 20 ribu. Harga yang terjangkau, mengingat upaya mereka untuk naik ke Kawah Putih mengais rezeki juga tidak mudah.
Setelah 30 menit berada di bibir kawah, angin berhembus dan mengusir kabut putih yang menggelayuti kawah. Seiring dengan perginya kabut, pemandangan indah Kawah Putih akhirnya tersingkap. Kami, bersama ratusan pengunjung lainnya bergerak cepat untuk mengambil gambar dengan berbagai cara, swafoto, berfoto bersama, atau sekadar memotret pemandangan.


Di pinggir kawah, saat aku menatap air yang berwarna tosca, aku menemukan jawaban dari mengapa tarif masuk menjadi begitu mahal. Di satu sisi aku sempat mengeluh. Mahalnya tarif masuk di kawah ini membuat pengunjung tentu merasa keberatan, apalagi pengunjung dengan budget pas-pasan. Tapi, di lain sisi jika mahalnya tarif ini digunakan untuk memaksimalkan potensi dan pengelolaan kawasan sekitar kawah, mengapa tidak? Sisi positif lainnya dengan mahalnya tarif ini adalah jumlah pengunjung yang berkurang. Kadang, banyaknya jumlah pengunjung sering mengakibatkan alam menjadi tak berdaya. Alih-alih datang untuk menikmati alam, pengunjung seringkali malah merusaknya dengan berbagai cara. Entah itu membuang sampah seenaknya atau melakukan vandalisme. Satu hal yang aku bisa tangkap dari mahalnya tarif ini adalah aku belajar untuk menghargai alam. Jika untuk suatu benda saja aku berani membayar mahal untuk membelinya, demikian juga dengan alam. Alam adalah mahakarya dari Sang Pencipta yang Agung, adalah tugas kita untuk menjaganya dan memberikan yang terbaik dalam merawat ciptaan-Nya.
Kunjungan ke Kawah Putih hati itu memang membuat kantongku meringis, tetapi setidaknya jiwaku terhipnotis oleh keindahannya. Masuk Kawah Putih memang mahal, tetapi di baliknya, tetap ada keindahan menawan yang menanti untuk disapa.
Aku termasuk orang yang paling suka ke suatu tempat yang pas ngga lagi rame, biasanya banyak harga yang isa ditekan. kawah putih yang sekarang sudah hits hingga mancanegara makanya rame beudh yak
Iya, risiko kalau tempat wisata makin tenar, makin ramai sama pengunjung. Mungkin salah satu tujuan dari melonjaknya tarif masuk Kawah Putih supaya jumlah kunjungan tidak membeludak 😄
mahal banget ternyata….jarak dari parkiran bawah ke kawah, jauh banget, bang?
Ndak mbak. Dari parkiran ke kawah cuma 100 meteran, itu pun sudah disediakan tangga 😄
jadi kenapa banyak mobil yg memilih parkir di atas, bang?
Krna kalau parkir di bawah, untuk naik ke atasnya harus naik angkutan lagi. Satu orang tarifnya 35ribu, itu belum termasuk tiket masuk per orangnya 20ribu.
Jadi, kalau banyakan, lebih irit bawa mobil sampai ke atas
hoalaaah gitu tho. makasih bang tulisannya bermanfaat. siapa tahu nanti aku bisa ke sana.
Sama-sama mbak 😀
Kalo di pikir2 memang masuk kawah putih itu mahal. Tapi cukup sebanding dg fasilitasnya. Lalu juga kebersihannya juga sangat terjaga. Semoga tetap seperti ini.
Iyap. Ada harga ada rupa 😄
Saya juga habis ksana kmarin, sempet kaget juga dengan tarif parkir mobil yg mihill 😂😂
Iya. Awalnya aku baca di blog-blog orang, katanya tarif parkirnya 150 ribu. Kupikir itu bercanda, taunya beneran hahaha.
Tapi, ya walau mahal, Kawah Putih tetap worthed buat dikunjungi 😀