Candi Barong: Ketika Inspirasi Datang dari Loka Bersejarah

 

Sewaktu masih mengerjakan skripsi dulu, salah satu kegiatan yang paling kusuka adalah mencari inspirasi. Alih-alih mencari inspirasi di layar komputer atau perpustakaan, aku lebih suka mencarinya di dalam keheningan. Maka, pergilah aku mencari tempat-tempat yang sepi untuk sekadar duduk atau membaca buku.

Sewaktu aku hendak pergi ke arah timur kota Jogja, kebetulan aku bertemu dengan dua orang temanku di kampus. “Sore ini ada acara ke mana, Ry?” tanya mereka. “Ke candi,” jawabku, “Kalian mau ikut gak?” Mereka mengangguk setuju. Tanpa perlu persiapan panjang, kami bertiga segera pergi ke daerah pinggiran Prambanan.

Tujuan kami adalah candi Barong. Tak seperti Prambanan atau Borobudur yang begitu populer dan saban hari disambangi ribuan orang, candi Barong begitu sepi. Hanya segelintir orang yang datang berkunjung ke sini di hari biasa. Selain karena namanya tidak populer, mungkin juga karena lokasinya yang agak mblusuk yang membuat orang segan untuk menyambanginya. Hanya membutuhkan waktu 20 menit saja dari kampus untuk tiba di candi Barong. Tapi, sebelum tiba di lokasi, aku menyempatkan diri membeli salak 1 kilo di pinggir jalan untuk bekal menikmati sore.

Sebenarnya, tak sulit untuk menemukan candi Barong. Dari jalan raya Jogja-Solo, hanya tinggal lurus mengikuti jalan hingga tiba di pertigaan Pasar Prambanan. Dari sini, kita harus berbelok kanan masuk ke jalan raya Piyungan-Prambanan. Tinggal ikuti jalan saja sampai bertemu rel kereta api. Tak jauh dari rel, ada jalan kecil ke kiri. Beloklah ke situ dan ikuti saja papan petunjuk arah. Mendekati area candi, pemukiman penduduk berubah menjadi hamparan sawah dan kebun milik warga. Suasana begitu sepi, hanya satu atau dua kendaraan saja yang melintas.

Candi Barong sampai saat ini pengelolaannya masih dipegang oleh pemerintah, dalam hal ini adalah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Oleh karena itu, kita tidak dipungut biaya retribusi di sini. Cukup menuliskan daftar hadir di pos satpam, kita sudah bisa masuk ke area candi dengan bebas. Tapi, bebas bukan berarti asal. Tetap harus menjaga ketertiban, seperti membuang sampah pada tempatnya karena candi adalah peninggalan sejarah yang amat berharga.

Sewaktu kami tiba di parkiran, tak ada satu pun motor yang terparkir. Berarti, sore itu tak ada pengunjung lain selain dari kami bertiga. Yeayy! Candi milik pribadi! Di bagian depan, terdapat sebuah papan informasi tentang sejarah candi. Candi Barong adalah sebuah candi Hindu yang diperkirakan dibangun pada abad 9 dan 10. Sebenarnya, nama asli candi Barong adalah candi Suragedug. Tapi, karena di bagian depan candi terdapat hiasan kala (sosok raksasa seram) yang menyerupai Barong, maka warga sekitar lebih senang menjulukinya dengan sebutan candi Barong. Secara geografis, candi Barong terletak di desa Sambirejo, kecamatan Prambanan, Yogyakarta.

Berbeda dengan candi-candi lain yang memiliki ruangan di dalamanya, candi Barong tak memiliki ruang apapun untuk dimasuki, tapi pelatarannya amat luas. Untuk bisa mencapai pelataran itu, kita harus berjalan mengitari candi dan menaiki undakan-undakan kecil. Ketika dibuat dahulu, candi Barong didedikasikan sebagai tempat untuk menyembah Dewa Wisnu dan Dewi Sri yang dipercaya berkuasa atas kesuburan oleh masyarakat Hindu. Mungkin, mereka amat memohon kesuburan karena daerah di sekitar candi merupakan daerah karst yang dipenuhi oleh cadas-cadas.

Candi Barong nan sepi
Dari atas undakan ini, kita dapat melihat bagian tengah candi yang menyerupai lapangan

Ketika kami menapaki tiap-tiap undakan menuju candi, kami membayangkan betapa hebatnya teknologi masa lampau. Walaupun pada masa itu tidak ada peralatan secanggih sekarang, namun entah bagaimana mereka mampu menciptakan bangunan nan kokoh ini. Tidak tanggung-tanggung, mereka membuatnya dari batu-batu kali yang amat berat. Di bagian tengah candi yang mirip seperti lapangan bola, kami berhenti sejenak. Aku mengeluarkan kamera dan mulai memotret, sementara kedua temanku menatap sekeliling. Sambil memotret, aku mencoba mengamati dengan teliti setiap sudut candi. Tak ada satupun relief-relief yang diukir di batu candi. Juga, tak ada satupun arca yang tersisa di sini. Candi Barong begitu sederhana. Tapi, walaupun tanpa relief dan arca, candi Barong tetap layak disebut sebagai candi.

Bangunan candi yang tak memiliki rongga untuk dimasuki
Cara kami menikmati senja, duduk, makan salak, mengobrol.
Salak-salak manis

Di undakan paling atas kami duduk dan membuka perbekalan. Aku sendiri paling suka dengan candi Barong karena posisinya yang dibangun menghadap ke barat, arah matahari pulang ke peraduan. Momen senja ini adalah momen terbaik untuk menciptakan obrolan yang ngalor-ngidul. Sembari kami duduk mengobrol dan memakan salak 1 kilo, sinar matahari menyirami kami dengan begitu hangat, ditambah dengan angin semilir yang berhembus. Kilau keemasan matahari membuat suasana senja di candi Barong begitu memikat dan begitu syahdu. Rasa-rasanya, aku tidak mau pulang, ingin duduk-duduk lebih lama di candi.

Sore itu aku memang tidak mendapat inspirasi berupa ide kata-kata untuk dituangkan ke dalam skripsi. Tapi, candi Barong memberiku inspirasi untuk semangat. Ya, semangat untuk mengerjakan skripsi supaya kelak aku bisa bekerja dan memiliki uang untuk datang kembali menyambanginya.

Ah, Barong, engkau begitu eksotis. Tunggu aku, aku kan duduk di dekatmu dan nikmati senja bersama.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s