Sumatra Overland Journey (9) | Menggapai Puncak Sibayak

 

Hujan abu menyambut kami di Berastagi. Langit berwarna kelabu. Suasana kota terlihat muram dan orang-orang di jalan hampir semuanya mengenakan masker. Sehari sebelumnya, Gunung Sinabung kembali muntah-muntah. Kali ini muntahannya yang berupa abu halus terjatuh hingga ke tengah kota Berastagi. Perasaan kami seketika was-was, jika besok cuaca tidak membaik, mungkin kami harus mengurungkan niat untuk mendaki ke puncak Sibayak.

Tidak banyak yang kami tahu tentang Berastagi selain udaranya yang dingin, Gunung Sinabung, dan Sibayak. Belakangan ini nama Sinabung jadi terkenal setelah erupsinya yang terus menerus terjadi. Berbeda dengan gunung berapi lainnya, “batuk” Sinabung ini cukup akut, lama pulihnya. Kerusakan yang ditimbulkan dari erupsinya pun tidak main-main. Ribuan orang di desa-desa sekitarnya harus kehilangan tempat tinggal dan mengungsi untuk jangka waktu yang lama.

Di sebelah Sinabung yang ganas itu, walau sama-sama berstatus sebagai gunung berapi, Sibayak relatif lebih tenang. Sejarah mencatat letusan terakhir Sibayak terjadi pada tahun 1881, hampir dua abad yang lalu! Karena lebih ‘jinak’ dibandingkan saudaranya, Sibayak menjadi primadona bagi tiap wisatawan yang berkunjung ke Berastagi. Biasanya, turis-turis asing menargetkan Puncak Sibayak sebagai tujuannya, sedangkan bagi turis-turis yang hanya ingin bersantai, kaki Sibayak menyediakan kolam-kolam rendam air panas yang amat nyaman untuk dinikmati.

Gunung Sinabung yang tertutup awan

Kami beruntung. Di hari kedua kami di Berastagi, hujan abu telah berhenti sempurna. Di malam sebelumnya juga hujan lebat datang mengguyur, melenyapkan abu-abu yang menempel di atap rumah, jalanan, dan daun-daun. Jam 6 pagi kami sudah menyiapkan perbekalan berupa 3 liter air mineral dan dua bungkus roti. “Abang nanti naik angkot saja yang ada tulisannya ‘Kama’ di depannya, nanti kasih saja empat ribu,” kata penjaga penginapan tempat kami bermalam. Berbekal petunjuk singkat darinya, kami beranjak mengawali perjalanan ke puncak Sibayak.

Setelah jalan sedikit dari penginapan, kami bertemu dengan angkot bertuliskan “Kama”. Aku sendiri tidak tahu apa arti dari “Kama” itu, tapi katanya itu adalah nama perusahaan atau asosiasi angkot di Berastagi. Hanya kami berdua yang jadi penumpang di angkot, jadi kami bisa leluasa mengobrol dengan sang sopir. Tak terasa, kami telah tiba di depan gerbang masuk Gunung Sibayak. Sebelum memulai pendakian ke atas, kami harus membayar retribusi dan mendaftarkan diri beserta kontak ponsel. Kalau sampai jam lima sore kami tak kembali, petugas akan mengontak kami untuk memastikan supaya kami selamat.

Dua minggu sebelumnya, aku mengikuti trekking di gunung Leuseur. Trekking ini mengasyikkan, tapi juga mengerikan buatku yang baru pertama kali tiba di hutan Sumatra. Dalam imajiku, pendakian ke puncak Sibayak mungkin akan mirip-mirip dengan trekking di gunung Leuser. Setelah proses registrasi selesai, kami mulai berjalan, melangkah setapak demi setapak menuju puncak. Berdasarkan peta yang diberikan, katanya jarak dari pos menuju puncak adalah 4 kilometer.

Sebenarnya, ada dua rute menuju puncak Sibayak, rute aman dan dan rute menantang. Untuk rute yang menantang, kami tidak diperbolehkan berjalan sendirian, harus menyewa pemandu. Di rute menantang ini ada banyak sekali jalur yang bisa ditempuh. Walaupun tinggi gunung Sibayak hanya sekitar 2.094 meter, tapi trek menantangnya cukup ganas. Gunung Sibayak menyimpan catatan kelam tentang pendaki-pendaki yang hilang atupun tewas di sini. Di tahun 2013, seorang pendaki asal Jepang dinyatakan hilang saat mendaki Sibayak seorang diri, dan termutakhir, di tahun 2017 ini seorang turis Jerman ditemukan tewas di jalur pendakian menuju puncak Sibayak. Jasadnya ditemukan tanpa busana dan terhimpit batu di air terjun. Butuh waktu lebih dari tujuh hari untuk bisa menemukan jasadnya itu.

Pentuturan demi penuturan tentang seramnya Sibayak sudah cukup buat kami. Sekalipun kami ingin sesuatu yang menantang, tapi kami mencoba bijaksana. Saat itu kondisi fisik kami tidak begitu prima. Johannes baru terkena diare di malam harinya, sedangkan aku sendiri sedang meriang. Jadi, dengan senang hati kami memilih jalur pendakian pertama, yang tidak menantang, tetapi tetap bisa mengantar kami menuju puncak.

Setelah pos masuk, jalur pendakian masih berupa jalanan beraspal. Semakin jauh kami berjalan, jalan aspal berubah menjadi jalan berbatu dan menanjak. Tak ada siapapun di jalan itu selain kami berdua. Untuk memecah keheningan, kami menyanyi dan mengobrol. Tiba-tiba ada suara berisik di belakang kami. Saat kami menoleh ke belakang, rupa-rupanya kawanan monyet hutan sedang beraksi. Mereka turun ke jalan dan berlari cepat ke arah kami. Kami berusaha untuk tetap tenang karena tidak membawa apapun selain minuman dan roti yang disimpan dalam tas. Tapi, entah mengapa monyet-monyet itu tampak mengerikan. Mereka berlari cepat seolah ingin mengeroyok. Akhirnya, kami berdua memilih berlari cepat dan monyet-monyet itu menghilang kembali ke dalam hutan. Pengalaman yang mengerikan, tapi cukup konyol. Dua manusia dikejar-kejar oleh monyet dan ketakutan.

Setelah satu jam berjalan, Johannes meminta berhenti. Perutnya sakit dan dia butuh duduk sejenak. Akhirnya kami membuka perbekalan dan bertanya-tanya, apakah kami kuat sampai di puncak? Saat itu, ada dua orang lelaki yang berjalan mendekati kami. Sepertinya mereka adalah orang yang bekerja untuk proyek pembuatan jalan di sini. “Bang, boleh minta air?” tanyanya. Aku menatap Johannes. Pasalnya, kami hanya membawa dua botol air untuk sampai di puncak. Johannes memberi isyarat padaku untuk memberi satu botol kepada orang itu. Tampaknya mereka berdua sangat kehausan, air satu botol itu hanya tersisa seperempatnya saja. Mereka ingin mengembalikan air itu, tapi kami menolak dan meminta mereka membawanya saja.

Kami kembali berjalan, kali ini nafas kami semakin tersengal-sengal dan akhirnya kami kembali berhenti. Dari jauh kami mendengar seperti ada suara mobil yang melaju. Suara itu semakin lama semakin keras. Dari balik tikungan, sebuah angkot kosong melaju ke arah kami. “Kok horror ya?” gumamku dalam hati. Di jalanan nan sepi seperti ini ada angkot, siapa penumpangnya? Angkot itu berhenti. Kuperhatikan kaca depannya, kalau-kalau bukan manusia yang berkendara di situ. Seorang bapak tua membuka pintu angkot dan menyapa kami. Aku kurang paham bagaimana caranya angkot itu berada di sini, tapi bapak itu menawari kami tumpangan sampai ke atas. “Naik ini aja, saya kasih 80 pulang-pergi, sampai kota Berastagi,” katanya. Karena kondisi fisik kami yang sedang tidak prima, kami menerima tawaran itu. Rupa-rupanya perjalanan ke puncak Sibayak tidak seekstrem yang kupikir. Sampai ke titik atas, ada jalanan berbatu yang bisa dilalui mobil, bahkan ada parkiran mobil juga di sana.

Setibanya di parkiran, kami masih harus berjalan kaki selam 30 menit sampai satu jam untuk tiba di puncak. Trek di sini tidak terlalu mengerikan, tapi cukup berbahaya. Jalanan berbatu dan menanjak curam, jadi kami harus selektif memilih langkah. Aku sendiri merasakan kakiku gemetar karena aku masih trauma akibat trekking di taman nasional Gunung Leuser.

Trek menuju puncak Sibayak

Baru setengah jalan, aku merasakan kakiku bergetar makin hebat. Mungkin aku bisa naik, tapi yang aku takutkan sebenarnya adalah perjalanan pulang. Bisa-bisa aku jatuh guling-guling nih, pikirku. Johannes sudah berjalan jauh di depan. Melihat aku berhenti, dia ikut berhenti, kemudian turun ke arahku. “Just go, I’ll wait you here,” kataku. Eh, mendengar perkataaanku dia malah marah-marah. Katanya, dia sudah mengajakku jauh-jauh ke sini, aku malah menyerah sebelum puncak. “Ah, come on, you can do it!” sambil mengajakku bangkit berdiri. Akhirnya aku menurut. Aku merayap pelan-pelan seperti cicak terkena stroke. Dan, akhirnya, aku tiba di puncak Sibayak.

Pemandangan dari puncak membuatku takjub dan beprikir. Seandainya tadi aku menyerah, mungkin pemandangan ini tak pernah kulihat. Johannes mentertawakanku. Katanya, rugi besar jika aku menyerah dan tidak pernah sampai ke puncak. Johannes memang benar, aku sudah pergi sejauh ini, masak aku menyerah hanya karena takut jatuh terguling? Perjalan ke Sibayak ini jadi sebuah perjalananku untuk menumpas rasa takut berlebih.

Solfatara mengepul

DCIM100GOPROG0311169.

Di atas puncak, kami hanya duduk di atas sebuah bongkahan batu. Tak ada siapa-siapa di atas selain kami. Sementara angin sejuk berhembus, kami menatap sekeliling sambil menghirup nafas dalam-dalam. Bau belerang masih menyengat, dan asap-asap solfatara masih mengepul dari punggung kawah. Di hadapan kami tersaji sebuah lanskap nan agung ciptaan karya Tuhan. Gunung Sinabung juga menampakkan diri kepada kami dari atas puncak Sibayak. Tapi, sayang sekali karena puncak Sinabung ditutupi gumpalan awan tebal.

Sementara kami menghabiskan waktu di puncak, sopir angkot tadi setia menanti kami di parkiran mobil. Ketika kami tiba di bawah, dia sedang merokok sambil menyeruput kopi. Cepat-cepat dia teguk kopinya dan mematikan rokok. “Sudah selesai bang? Kok cepat kali?” Sebelum kembali ke Berastagi, kami mampir sejenak di kolam air panas. Kolam-kolam ini dimiliki oleh warga dan ada banyak kolam yang bisa kita jumpai di kaki Sibayak. Sopir angkot merekomendasikan kami di sebuah kolam yang cukup nyaman. Tarifnya hanya 3,000 saja per orang dan kami bebas berendam sepuasnya.

Aku tidak tahu perkiraan pasti berapa suhu air panas di sana. Jika kubandingkan dengan air panas di Ciater yang suhunya sekitar 42 derajat Celcius, sepertinya suhu air di Sibayak mirip-mirip. Jika di Ciater airnya berwarna bening, di Sibayak air panasnya berwarna tosca dan aroma belerangnya lebih menyengat. Cukup 30 menit saja kami berendam, karena kalau lama-lama juga tidak baik untuk tubuh.

Perjalanan hari ini begitu menyenangkan. Sehabis berlelah-lelah mendaki ke puncak, kami dimanjakan dengan berendam air panas yang membuat tubuh kami rileks dan nyaman. Tenaga kami seolah dipulihkan dan kami siap kembali ke kota Berastagi.

Kolam rendam air panas di kaki gunung Sibayak

 

2 pemikiran pada “Sumatra Overland Journey (9) | Menggapai Puncak Sibayak

    1. Nah, sedihnya adalah aku gak motret pas di jalan sampai ke parkiran. Bahkan, angkotnya pun gak kupotret.

      Dulu belum terlalu mikir kalo dokumentasi itu penting banget 😦

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s