Menghabiskan senja di kaki gunung adalah momen yang begitu nyaman. Di kaki gunung Ungaran, angin sejuk bertiup lembut dan langitnya berwarna biru muda. Tak ada suara bising kendaraan bermotor ataupun suara klakson yang bersahutan. Satu-satunya suara yang berpadu dengan suasana senja waktu itu adalah lantunan lagu-lagu dari sebuah gereja Katolik yang berada di tengah dusun.
Dusun Golak, sebuah dusun yang terletak di kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Buatku, dusun mungil di kaki gunung Ungaran ini seperti sebuah permainan Harvest Moon. Tiap-tiap rumah di dusun saling terhubung lewat jalanan beraspal yang menanjak. Rumah-rumahnya juga berjejer rapi, lengkap dengan pekarangan di depan dan belakangnya. Di tengah-tengah dusun, sebuah salib dan menara lonceng gereja tinggi menjulang. Setiap jam tiga sore, loncengnya berdentang dan katanya suaranya bisa terdengar hingga ke Ambarawa.
Senja hari itu membawa ingatanku pergi kembali ke tanggal 22 Desember 2013 di mana aku singgah pertama kali di dusun Golak. Waktu itu, temanku di Salatiga memiliki bibi yang tinggal di dusun Golak dan kami diajak untuk mampir ke rumahnya. Rumah bibi temanku ini sungguh menyenangkan. Rumahnya tidak terlalu besar dan arsitekturnya sederhana. Atapnya tidak terlalu tinggi, lantainya dilapisi kayu, dan perabot-perabotnya ditata dengan amat rapi. Di sekeliling rumah, ada hamparan kebun yang ditumbuhi pohon pisang, singkong, tanaman hias, juga rumput-rumput hijau. Dalam imajiku, rumah ini lebih cocok disebut sebagai vila ketimbang rumah tinggal biasa. Sungguh beruntung mereka yang tinggal menetap di rumah ini!
Rumah yang nyaman ini dihuni oleh keluarga bibi temanku yang amat ramah. Sebagai tamu yang baru pertama kali berkunjung, kami disambut begitu hangat dan meriah, bahkan sampai ditawari untuk menginap satu malam. Namun, karena waktu yang terbatas, kami menolak tawaran itu dan melanjutkan perjalanan ke Solo. Pertemuan singkat itu tidak berakhir. Di masa-masa libur semesteran kuliah, aku masih sering diundang untuk mampir sejenak di sana. Semakin sering ke sana, semakin akrab pula kami.
Di kunjunganku yang paling terbaru, tidak banyak perubahan yang terjadi di rumah bibinya temanku ini. Rumahnya tetap mungil dan hangat, tetapi kebunnya menjadi lebih cantik. Di atas hamparan rumput, terdapat sebuah meja piknik yang terbuat dari kayu. Meja ini sengaja diletakkan di tengah kebun untuk bersantai dan mengobrol. Di samping meja itu, terdapat sebuah seng bekas yang dihias dengan hand-lettering. Bendera-bendera segitiga warna-warni juga dipasang untuk menciptakan kesan yang dinamis. Apabila angin berhembus, bendera-bendera itu akan mengalun, bergoyang-goyang seolah ikut menari bersukacita.


Di atas meja, sudah tersaji aneka camilan yang siap mengenyangkan perut. Ada sesisir pisang yang baru saja dipetik dari pohon. Ada satu teko besar teh, lengkap dengan gelas-gelasnya, juga ada toples-toples berisi aneka kudapan. Sambil menyantap aneka makanan ini, kami mengobrol tentang banyak hal. Mulai dari nostalgia tentang pertemuan pertama, hingga curhat mengenai pekerjaan yang tengah kugeluti sekarang. Di tempat yang begitu nyaman ini, obrolan kami yang amat panjang menjadi tidak terasa. Tahu-tahu, langit sudah mulai gelap. Birunya langit kini telah berubah menjadi pekat, dan di balik pekatnya itu mulai terpancar pendaran kelip bintang-bintang. Semakin malam, bintang-bintang itu terlihat semakin jelas.
Seiring dengan matahari yang pulang ke peraduan, udara menjadi semakin dingin. Untuk menghangatkan kembali suasana, kami menyalakan lampu-lampu temaram yang dibuat dari kaleng bekas. Kaleng-kaleng bekas itu dilubangi titik-titik kecil yang membentuk sebuah kata. Ada kata Hope, Faith, Love, dan Bless. Kaleng-kaleng itu dirangkai menggunakan tali, dan di dalamnya masing-masing, kami menempatkan sebuah lilin kecil. Ketika seluruh kaleng telah menyala sempurna, tulisan-tulisan itu menjadi bercahaya. Pendaran cahaya lilin dari dalam kaleng membuat suasana malam begitu syahdu dan romantis. Rupa-rupanya, barang bekas pun bisa disulap menjadi berguna dan estetis selama ada otak kreatif.
Di dalam suasana syahdu, kodok dan jangkrik mulai bernyanyi. Suara mereka menciptakan harmoni alam yang mesra. Tapi, temanku malah melompat takut tatkala dia melihat sebuah kodok. Alih-alih terkesima, rasa takutnya kepada kodok membuatnya merasa risih dan enggan untuk duduk bersama kami.
Menutup pertemuan senja kali itu, sebuah sup hangat disajikan di atas meja kami. Sambil kami bersantap, alunan musik dari speaker memecah keheningan. Jam delapan malam, aku harus kembali bertolak ke Jogja, meninggalkan kesyahduan dusun Golak. Senja yang singkat dan sederhana ini menjadi bahan bakarku untuk semangat bekerja. Walaupun di Jakarta sulit menemukan senja yang syahdu, tapi setidaknya kenangan ini bisa membuat hatiku tenteram.
kerennn …. bener2 instagramable banget deh …
pengen punya halaman belakang rumah seperti ini 🙂
Rumahnya adem, di kaki gunung.
Kalau tinggal di sini, rasanya tiap hari itu seperti liburan mas 😀