“Ayah! Jangan turun,” Rosi berteriak sambil meraih tangan ayahnya. Wajahnya yang semula sumringah berubah jadi takut ketika ia mendengar kalau ayahnya mau turun sebentar, padahal kereta masih belum berangkat. Rosi adalah bocah perempuan berusia lima tahun. Ia dan ayahnya duduk di depan saya, dan mereka akan jadi teman perjalanan selama 9 jam menuju Jakarta di atas kereta api Progo.
Satu jam sebelum kereta berangkat pada pukul 14:45, rangkaian KA Progo sudah tersedia di peron nomor 3 Stasiun Lempuyangan. Rangkaian KA hari itu membawa 8 kereta ekonomi dan satu kereta makan plus kereta pembangkit. Semua kursi di masing-masing kereta penuh. Rute Yogya-Jakarta memang rute yang gemuk, okupansinya selalu tinggi, apalagi kalau akhir pekan. Untuk perjalanan hari itu saya bahkan sudah memesan tiketnya hampir tiga bulan sebelum hari keberangkatan.
Saya duduk di kereta ekonomi-8, kursi nomor 24E yang berhadapan dengan kursi nomor 23 D dan E. Rosi dan ayahnya duduk di situ. Sementara di sebelah saya duduk seorang mahasiswa yang sedari naik sudah irit bicara, ia mengenakan headphone, bermain ponsel, dan menutup wajahnya dengan masker.
“Turun mana, mas?” ayah Rosi bertanya.
“Saya di Senen mas. Kalau masnya?”
“Jatinegara,” jawabnya sambil mengelus kepala Rosi.
Duduk berhadapan dengan penumpang yang membawa anak kecil itu ada untung dan ruginya. Sepanjang perjalanan, Rosi berbicara terus. “Ayah, ayah! Itu sawah!” teriaknya keras sambil jarinya menunjuk-nunjuk. Lalu ia berdiri di atas kursi dan mengajak ayahnya bercanda. Ayah Rosi menanggapinya santai. Ia kemudian membuka tas yang sudah dijejali aneka perbekakalan: ada kue, buah-buahan, minuman, juga permen.
“Monggo mas, ini dimakan bareng-bareng,” kata ayah Rosi sambil menyodorkan seplastik apel yang sudah dikupas.
Inilah rezeki dari naik kereta ekonomi! Keakraban yang dibangun sedari kereta belum berangkat berbuah camilan cuma-cuma.

Sekilas tentang KA Progo
KA Progo diresmikan layanannya pada tahun 2002. Sampai detik ini, entah sudah berapa ribu manusia yang ia antarkan bolak-balik Jogja Jakarta. Sebelumnya, layanan KA Progo bernama KA Empu Jaya, yang namanya merupakan singkatan dari Lempuyangan-Jakarta. Sepanjang perjalanannya, KA Empu Jaya mengalami beberapa kecelakaan yang merenggut korban jiwa. Di tahun 2001, KA Empu Jaya menabrak lokomotif Cirebon Ekspress di daerah Brebes. Tabrakan ini mengakibatkan 31 nyawa meninggal dunia. Lokomotif KA Cirebon Ekspress juga hancur karena ditabrak dalam kecepatan tinggi.
Setelah kecelakaan itu, pihak kereta api memutuskan untuk mengganti nama Empu Jaya menjadi Progo. Nama “Progo” dinilai lebih berkonotasi baik daripada “Empu” yang dalam bahasa Jawa diasosiasikan sebagai pembuat keris. Progo sendiri adalah nama sebuah sungai yang membelah provinsi D.I Yogyakarta.
Sekarang ini untuk bepergian ke Yogya dari Jakarta ada banyak pilihan layanan kereta. Tapi saya sendiri menyukai KA Progo karena beberapa alasan. Pertama, tarif KA Progo masih lumayan terjangkau, sekitar 120-150 ribu per sekali jalan. Harga ini memang lebih mahal dari KA Bengawan yang tarifnya 74 ribu. Tarif KA Bengawan disubsidi oleh pemerintah, sedangkan Progo tidak lagi disubsidi.
Selain KA Progo dan Bengawan, jalur antara Solo-Yogyakarta dan Jakarta juga diramaikan oleh kehadiran kereta-kereta lainnya. Di kelas ekonomi plus terdapat duet mesra KA Bogowonto dan Gajahwong, yang nama keduanya diambil dari nama sungai pula. Untuk kelas premium terdapat KA Mataram Premium dan Senja Utama Solo. Kelas Eksekutif terdapat KA Taksaka, Argo Lawu, dan Argo Dwipangga. Dan yang tersisa satu-satunya adalah KA Fajar dan Senja Utama Yogyakarta yang masih menggunakan rangkaian kelas bisnis.
Alasan kedua saya menyukai KA Progo adalah jadwal berangkatnya yang pas. Dari Pasar Senen, KA Progo berangkat pukul 22:20, jadi untuk yang bekerja tidak perlu mengajukan izin atau cuti pulang lebih awal. Dari Yogya ke Jakarta pun jadwalnya pas. Berangkat jam 14:45, dan tiba di Jakarta sebelum jam 12 malam. Kalau sedang selow memang enak naik KA Progo dari Lempuyangan. Tapi kadang juga jadwal ini dirasa masih terlalu siang, apalagi kalau sedang asyik-asyiknya menikmati Jogja.

Ayah Rosi juga mengungkapkan pendapat yang sama dengan saya. Bagi dia, KA Progo adalah jembatan penyambung rindunya. Setiap liburan dia selalu membawa Rosi pulang ke Yogyakarta untuk mengunjungi kakek dan neneknya.
“Maunya sih naik argo mas, yang enak. Tapi harganya yang gak kuat,” kata ayah Rosi. Kalau soal kenyamanan, KA Progo ini lumayan pegal karena posisi kursi yang tegak dan berhadap-hadapan. Tapi, buat penumpang yang kantongnya tidak tebal, soalan kursi bukan masalah. Yang penting bisa pulang, bertemu orang terkasih dan menuntaskan segala rindu yang terpendam di Jakarta.
Kembali ke Jakarta
Pukul 18:10, KA Progo yang saya tumpangi tiba di Stasiun Purwokerto, lebih cepat lima menit dari jadwal semula. Soal ketepatan waktu, KA Progo tidak diragukan. KA Progo adalah kereta dengan pemberangkatan paling awal untuk rute ke arah Jakarta. Dari Lempuyangan, KA Progo berangkat pukul 14:45. Butuh waktu 8 jam dan 57 menit buat KA Progo tiba di Pasar Senen pada pukul 23:42.

Saat malam hari, kepadatan kereta di lintas Bekasi-Jatinegara jauh lebih lengang karena layanan KRL berhenti beroperasi. Jelang subuh kepadatan meningkat. Kereta api jarak jauh lainnya harus antre masuk emplasemen Jatinegara. Dan kalau sudah lewat jam 4 pagi, siap-siap berbagi jalur kembali dengan KRL. Kondisi ini akan terselesaikan apabila proyek jalur dwiganda selesai.
Selepas Stasiun Purwokerto, Rosi dan ayahnya tertidur pulas. Suasana kereta yang tadinya riuh jadi lebih senyap. Saat penumpang sedang terlelap, laju kereta meningkat. Selepas Purwokerto hingga Cirebon, rel telah dibangun ganda, jadi tidak ada lagi acara tunggu silang berbagi jalur. Di lintasan Cirebon-Jatinegara, laju kereta api bisa dipacu pada kecepatan maksimal. Untuk KA Progo, karena keretanya berspesfikasi “D”, maka laju maksimumnya adalah 90 km/jam.

Tepat pukul 23:42, KA Progo mengakhiri perjalanan dinasnya hari itu. Dua jempol untuk manajemen KAI. Saya dan ayah Rosi berpamitan. Perjalanan saya masih jauh. Di tengah malam itu saya masih harus naik ojek ke perbatasan barat Jakarta.
Terima kasih KA Progo, tanpa kehadiranmu, datang ke Jogja mungkin hanya akan jadi sekadar angan buat saya.

Kedua kalinya malam ini setelah terakhir th 2015 naik kereta dr p senen itupun cm sampe stasiun tawang secara tujuanku mau ke solo,,dengan alasan yg sama demi quality time daripada tidur dibasecamp mendingan otewe pengen cepetan ktemu keluarga besok pagi,mesti full exiting utk bisa naik kereta ini,mulai dari berburu tiket..ujung ujungnya mesti minta bantuan agen dalam itungan jam udah dapet kode boking,mantengin sendiri online siang malem yg ada habis melulu,dateng ke stasiun jam 7.30 kbetulan dapat driver kopami p12 mobat mabit,tau sendirilah jalur tomang senen jam jam segitu,,gak bisa diprediksi,,oke lanjut antri di mesin cetak tiket,jam 8.15 duduk manis siap jadi santapan malam nyamuk nyamuk senen,lumayan lah donorku,kereta laju masih 2 jaman lebih,,semoga kedepan naik kereta gak perlu serumit ini,kaya mo masuk ke negara orang…semoga
Amin. Semoga ya mas, kereta api terus berbenah. Tidak berhenti sampai di sini 🙂
Sungguh perjalanan yang sangat menyenangkan, tapi ada satu sisi yang sama dengan perjalanan saya yaitu ketemu orang yang pelit suara dan sibuk dengan hpnya haha.
Hehehehe. Iya mbak.
Kalau ketemunya generasi yg seumuran, biasanya mereka sukanya main hape sih. Kalau ketemu yg lebih sepuh, sukanya cerita
Iya tuh serayu, murah. Dan pemandangan petak cikampek sampe banjar pas siang pula. Ga nyesel hehehe.
Bener banget.
Ada jembatan Citiis, Cikubang, Cirahong, dan the best viewnya Stasiun Lebakjero
Wkwkwkwkwk
Senen harga naek mas, buruan sebelom kehabisan.
Dari PWT naik Serayu ke PSE mas, 70,000 buat 12 jam perjalanan wkwk
mungkin terdengar aneh, aku belum pernah sekalipun naik kereta api hahaha, tapi sudah ada rencana sih, jalan2 naik kereta api
Whoahahaha
Mbok dicoba mas, sblm harga sepur semakin tidak merakyat haha
sebelum senin, harga naik ya? hahahaaha…iya udah diniatin kok