Sekelumit Ceritaku Sebagai Seorang Editor

Pekerjaan adalah panggilan hidup. Kalimat ini sekilas terdengar klise buatku yang waktu itu masih tidak tahu apa panggilan hidupku sebenarnya. Menjelang lulus kuliah, panggilan hidupku adalah untuk bekerja mencari gaji besar, hidup mapan, membahagiakan orang tua, dan pokoknya mengejar segala yang baik. Tapi, lewat waktu demi waktu, lambat laun aku mulai menyadari apa yang menjadi panggilan hidupku sebenarnya.

Singkat cerita, perjalanan hidupku berlabuh di depan sebuah laptop–aktivitas yang juga dulu aku lakukan semasa kuliah. Tapi, kali ini berbeda. Jika dulu aku duduk di depan laptop untuk menyusun untaian kata-kata di paper atau skripsi, kali ini tugasku adalah memoles tulisan-tulisan yang dikirimkan oleh banyak penulis. Bisa tebak apa pekerjaanku? Pekerjaanku adalah seorang content-developer. Aku bertanggung jawab atas segala konten dalam sebuah website dan aktivitas utama yang aku lakukan adalah mengedit dan mengedit.

Sebagai seorang yang hobinya keluyuran, awalnya aku protes dengan pekerjaan ini. Usiaku masih 20-an, usia di mana mimpi seorang pemuda sedang meletup-letup. Ingin S-2lah, ingin keliling dunia, beli kamera, juga ingin menikah. Tapi, setelah menerima pekerjaan ini aku malah bertanya-tanya. Bagaimana caranya aku mewujudkan mimpi-mimpi itu kalau diriku hanya terkurung setiap hari di dalam sebuah ruangan kotak bernama kantor?

Melihat pencapaian teman-temanku yang lain kadang membuatku tergoda untuk iri. Tapi, aku mengingatkan kembali diriku bahwa setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing. Gaji yang besar belum tentu memberikan kebahagiaan kalau seluruh waktu harus dihabiskan dalam pekerjaan. Bekerja di tempat yang beken juga belum tentu memberiku rasa bangga kalau setiap harinya aku dibebani oleh rasa stres yang tidak berujung.  Ada temanku yang sering curhat kalau dia begitu lelah dengan pekerjaannya. Jangankan liburan, hari Minggu saja dia harus tetap bekerja. Gajinya boleh besar, tapi dia merasa jadi seperti robot yang kerja diforsir.

Lima bulan pertama menggeluti pekerjaan ini, hidupku naik turun tidak karuan. Setiap hari selalu terlintas di benak bagaimana caranya resign dan mencari pekerjaan baru. Tapi, di saat aku memikirkan untuk keluar dari pekerjaan ini, aku mengingat lagi mengapa dulu aku membuka hatiku untuk menerima pekerjaan ini. Waktu itu alasanku adalah aku ingin mencari pengalaman.

“Baru kerja sebentar memang dapat pengalaman apa? Berani kamu mau resign?” gumamku dalam hati. Akhirnya, aku mengurungkan niatan untuk resign dan mencoba menikmati pekerjaan ini.

Dalam upayaku untuk menikmati pekerjaan ini, sebenarnya tidak ada yang berubah selain dari pola pikirku. Setiap tulisan yang kuedit tetap saja ada yang ditolak dan harus direvisi ulang oleh atasanku. Hari-hariku tetap saja duduk membatu di hadapan layar laptop. Tapi, ada sesuatu yang perlahan tapi pasti mulai berubah. Pikiranku mulai menjelajah. Ya, ketika aku membaca tiap tulisan yang dikirim oleh penulis dari berbagai daerah dan latar belakang, aku seolah dibawa masuk untuk menyelami cerita mereka. Lama-kelamaan, aku merasa asyik dan rasanya ragaku turut pergi ke dalam pengalaman si penulis. Cerita-cerita penulis itu unik. Kadang aku bisa terharu ketika membaca penulis yang menceritakan kisah sedih mereka. Tapi, aku juga bisa jengkel melihat tulisan penulis yang amburadul dan tidak jelas sama sekali.

Jelek atau bagus tulisannya, aku mencoba untuk menelaah setiap kata-katanya. Kadang, ada tendensi untuk tidak peduli ketika secara sekilas aku melihat tulisan yang dikirim itu buruk. Tapi, aku coba untuk memberikan pelayanan terbaikku. Sebagai seorang editor, aku mau menghargai setiap jerih usaha si penulis untuk menulis. Oh ya, satu lagi. Editor juga harus selalu belajar setiap hari. Seperti seorang anak sekolah, setiap hari aku membuka kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Tak cuma kamus, editor juga harus berpegangan pada EYD yang baik dan benar. Jadi, seperti anak SD, aku harus mengulang kembali pelajaran bahasa Indonesia yang sudah bertahun-tahun kulupakan.

Ketika aku mulai menemukan titik kenikmatan dari pekerjaan ini, lambat laun aku mulai bisa paham bahwa pekerjaan ini mungkin juga adalah panggilan hidupku, setidaknya untuk saat ini. Aku ingin mencari pengalaman, maka aku diberikan cerita-cerita tentang pengalaman orang lain yang aku baca setiap harinya. Aku ingin menjadi seorang editor yang handal, maka Tuhan kirimkan semakin banyak tulisan untuk aku edit. Aku suka jalan-jalan, maka lewat pekerjaan ini aku diberi kesempatan untuk pergi sendiri ke beberapa kota untuk menjalin relasi dengan penulis-penulis.

Salah satu sukacita terbesar dari seorang editor adalah melihat tulisan yang dieditnya memberkati banyak orang. Waktu itu ada salah satu tulisan yang berhasil menembus hit view. Sebagai editor, aku senang akan pencapaian itu karena pesan yang ingin disampaikan penulis bisa diterima oleh pembaca. Tugas pembaca adalah membaca dengan saksama dan mendapatkan inspirasi dari artikel yang mereka baca. Mereka tidak perlu tahu siapa yang mengedit tulisan itu.

Ini hanyalah sekelumit cerita tentang pekerjaanku sebagai editor. Baru tujuh bulan berlalu, masih ada hari-hari nan panjang di depan yang harus dilalui.

Well, jadi pekerjaan adalah panggilan hidup? Buatku sih untuk saat ini ya. Tiap kita tentu memiliki pekerjaannya masing-masing. Dan masing-masing kita memiliki caranya sendiri untuk menikmati pekerjaan itu. Tidak masalah jika hari ini belum menemukan panggilan hidup, tapi, jangan pernah menyerah. Tetap berharap dan lakukan yang terbaik sampai ada kesempatan baru yang dibuka. 

22 pemikiran pada “Sekelumit Ceritaku Sebagai Seorang Editor

  1. Saya bercita-cita igin menjadi editor buku, tapi belum punya pengalaman sebagai editor, mau jadi editor buku karena emang suka baca.
    tapi susah cari lowongannya, sekalinya ada,kualifikasinya harus punya pengalaman dibidang editor. mau coba beljar edit naskah, tapi aku gak punya naskah. sampai mau nyerah ngambil cita-cita ini, bang.

    ini aku mau curhat aja. hehehe.
    kira-kira ada gak sih bang kelas editor?

  2. Bikin cerita fiksi dong mas.. kalau ada.. mau baca dong..

    Mau lihat seliar apa imajinasinya..

    Dan pasti menarik nih.. kalau gaya bahasanya.. alus dan mengalir.. begini..

    Hehehe… Pantas

    Mas.. editor rupanya

  3. Jadi editor adalah orang yang ngebenerin kata-kata yang pengetikannya keliru, salah konteks dst. Menurut saya

  4. Lagi cari-cari informasi tentang dunia kerja blogger editor itu gimana, eh nemu tulisan ini. Kagetnya, baca tulisan ini kaya baca isi hati, curhatan sendiri. Bedanya cuma dibidang pekerjaannya aja. Hehe. Kalau boleh tahu, apa sekarang masih menggeluti bidang ini (copy/content writer)? Atau sudah menemukan panggilan hidup yang baru/sesungguhnya?

    1. Hai Mbak Velis.
      Dulu aku nulis tulisan ini sambil mengharu-biru, antara senang atau sedih kerja ndablek di depan laptop sambil bokong menyatu dengan kursi hahaha.

      Sekarang sudah hampir dua tahun, masih di pekerjaan yang sama. Sebenarnya kerjaan utamaku adalah Content Developer, jadi tugasku adalah mengelola dan mengembangkan konten dari suatu website. Kebanyakan konten datang dari luar, jadi salah satu tugas utamaku adalah mengedit konten-konten itu supaya senada dengan standar dari website yang kami pegang, lalu tayang.

      Begitulah kura-kura.
      Kalau soal panggilan hidup sih, panggilanku ya jalan-jalan ya hahahaha. Jadi sebulan sekali aku pasti keluyuran. Cuma, sekarang sudah bisa menerima dan menikmati pekerjaan yg sangat bertipe kantoran ini.

  5. Mas, apa sih panggilan hidup itu?

    Saya sudah lulus kuliah 6 tahun yang lalu, saya lulusan eknomi manajemen, lulus kuliah sama lah kaya mas, suka nya nyari penghasilan, ingin jalan-jalan.

    Saya pun bekerja, jadi seorang process engineer di perusahaan multi nasional. Tahun demi tahun berjalan, gaji naik signifikan. Tuntutan pun berdatangan.

    Gaji saya sekarang hampir 10X lipat gaji pertama saya, tapi uang tak juga cukup. Cita-cita keliling dunia pupus sudah, berganti dengan kebutuhan untuk keluarga dan masa depan anak dan kebahagiaan orang tua. Dan ternyata, sudah saya korbankan semua mimpi dan harapan… itu masih juga belum cukup. Masih dituntut ini itu.

    Tapi ya sudahlah.

    Orang dengan gampang bilang dengan provokatif, jangan jadi karyawan! Lalu jadi apa? Pengusaha? Pengusaha apa? Saya khawatir jika saya harus banting setir… saya punya hutang yang harus dibayar, saya punya kewajiban untuk menabung bagi anak-anak saya.

    Sementara, saya terus bertanya, apa itu panggilan hidup saya? Apa tujuan saya?

    Ada yang bilang : Kesukaan + Bakat + Penghasilan
    Ada yang bilang : Kesukaan + Potensi + Kecenderungan diri sukanya topik apa?

    Ah, saya tahu diri saya, pengelana sejati! Tidak suka sesuatu yang konsisten! Mengawang-awang, kesepian tapi takut keramaian, ingin tampil tapi takut dikenal, pan bingung saya juga…

    Itulah kenapa saya tidak mau terlalu ngambil resiko untuk maju, sementara saya memilih aman saja meski agak “merana”. Saya lawan lah, dengan bersyukur bahwa saya tidak nyusahin orang dan keluarga saya terjamin dan yah… bisa hidup sesuai agama. Udah Alhamdulillah…

    Saya lihat mas, di usia muda sudah berwawasan banyak , mungkin bisa lah gitu mas sedikit nasihatin bapak-bapak galau ini, hehe

    1. Halo Mas Yusri,

      Terima kasih sudah berkunjung, memberi apresiasi, juga berbagi sedikit ceritanya untuk saya hehehe.
      Kadang saya juga sempat merasa down kok mas, cuma ya itu, saya percaya bahwa jalan hidup masing-masing orang itu berbeda dan punya cerita masing-masing. Jadi, saya coba untuk maksimalkan dan menikmati perjalanan saya sendiri begitu. 🙂

      Salam kenal ya mas.

  6. Baru juga tujuh bulan mas hehehe dinikmati dulu. Banyak yg mash bisa dipelajari kok. Apalagi menjadi editor spt anda, banyak pengalaman orang lain yg bisa dibaca dan dijadikan pembelajaran.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s