Dari Perbukitan Menoreh, Kami Belajar Arti Hidup

 

Jam telah menyentuh pukul satu dini hari. Delapan anak tergopoh-gopoh memasuki rumah seraya kedinginan, kelaparan, dan kelelahan akibat hujan-hujanan di lapangan kecamatan. Simbah yang telah tertidur jadi terbangun. Tak tega melihat kedelapan anaknya kedinginan, ia pun melupakan kantuknya, bergegas ke dapur, membuat perapian, dan memasak mie rebus untuk kami berdelapan.

Kami yang sibuk mengantre wc seolah dipanggil ke ruang makan karena aroma mie rebus itu. Ketika mie selesai dimasak, sambil tersenyum Simbah membawa satu panci besar mie rebus ke meja makan. Dalam bahasa Jawa yang halus beliau meminta kami untuk segera memakan mie itu sebelum dingin. Seraya berkata, Simbah mengeluarkan air mata. Ia menangis. Melihat air matanya menetes, kami tak tahu harus berkata apa. Kami hanya mampu terduduk seraya menanti kata-kata apa yang akan Simbah lontarkan.

“Dimakan, ayo cepat, nanti keburu dingin. Kalian berdelapan ini sudah saya anggap sebagai anak saya sendiri,” ucapnya terisak-isak. Kalimat yang Simbah ucapkan seolah menghantam kami. Menyadarkan kami bahwa Simbah bukan sekedar orang yang tulus, melainkan luar biasa tulus. Ia tak pernah hitungan dalam segala hal. Ia tidak peduli konsumsi listrik yang meningkat, makanan yang selalu habis dan rumah yang selalu berisik.

Kejadian tengah malam di ruang makan itu mengingatkan kami kembali akan perjalanan selama satu bulan yang dilalui. Kami berdelapan adalah mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang ditempatkan di pedukuhan Jumblangan XIV, kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo. Secara geografis, letak pedukuhan kami ke pusat kota Yogyakarta hanya berkisasr 50 Km. Namun, kondisi fisik di pedukuhan ini masih amat terbatas.

Segala fasilitas ala kota harus ditinggalkan. Sekalipun lingkungan sekitarnya masih hijau, tetapi untuk mendapatkan akses air bersih cukup sulit. Setiap harinya, warga dusun mengandalkan dua mata air yang terletak di atas bukit. Dengan selang kecil, air dialirkan ke rumah-rumah warga. Apabila musim hujan, tentu air berlimpah dan tidak jadi masalah. Tapi, ketika kemarau datang, satu truk tangki air bersih harus didatangkan oleh pemerintah kabupaten untuk menjaga kelangsungan hidup warga.

Apabila air sedang susut, sumber air inilah yang kami manfaatkan untuk mandi dan cuci baju. Airnya juga direbus untuk keperluan minum
Setiap hujan turun, jalanan dusun berubah menjadi trek berlumpur yang amat licin jika harus mengendarai motor
Kondisi alam yang berbukit-bukit rawan terjadi longsor. Ketika hujan tiba, tebing di jalan dusun kami ambrol dan menutup akses dari dan ke dusun.

Tak hanya air, kondisi listrik juga masih seadanya. Hampir setiap malam listrik di pedukuhan kami putus dan menyisakan malam yang gulita. Dalam keadaan gelap, terkadang pikiran kami ikut-ikutan menjadi gelap karena terbayang kisah-kisah mistis. Jadi, jika salah seorang mau pergi ke wc yang terletak di belakang rumah, ketujuh teman lainnya harus pergi menemani.

Terlepas dari segala sesuatu yang kami alami, satu hal yang membuat KKN kami terasa begitu istimewa adalah Simbah. Beliau memiliki nama Ngatilah dan tinggal bersama seorang suami dan seorang cucu lelakinya. Rumah berlokasi di atas bukit dan tidak memiliki tetangga. Bagi Simbah, kesepian adalah hal yang biasa. Suaminya pulang larut malam dari kantor desa setiap hari, cucunya jarang berada di rumah, lebih sering main bersama temannya. Bahkan, dengar-dengar dari tetangga sih katanya suami Simbah telah menikah lagi sehingga jarang sekali pulang. “Sekarang sih rajin pulang, kan ada mas-mas mbak-mbak KKN,” tutur seorang warga. Oleh karena itu, ketika ada delapan mahasiswa KKN yang “nyangkut” di rumahnya, Simbah tidak merasa terganggu, malah bahagia karena ada yang membuat rumahnya ramai.

Di usianya yang sudah lansia, layaknya warga desa lain beliau tak mengenal lelah untuk naik turun bukit. Pagi-pagi buta Simbah sudah bangun untuk memasak, siang sudah mengarit untuk pakan ternak, sore kembali lagi memasak, dan malam hari selalu ia habiskan untuk mengobrol dengan kami. Sekalipun Simbah tinggal di Indonesia, tapi beliau tidak bisa berbahasa Indonesia. Jadi, mau tidak mau kamilah yang harus melatih diri berkomunikasi dalam bahasa Jawa Krama.  “Lek do maem riyen mas, mbak,” kalimat yang paling sering simbah ucapkan, mengajak kami untuk jangan pernah kenyang untuk menyantap masakannya.

Makanan sederhana buatan Simbah, tetapi nikmat.
Kebersamaan bersama Simbah setiap malam.

Tak hanya Simbah, hampir seluruh warga usia lanjut di pedukuhan tidak mampu berbahasa Indonesia. Kalaupun bisa, bahasanya campur aduk, dan tetap lebih banyak bahasa Jawanya. Satu minggu pertama, aku bercakap-cakap dengan simbah hanya dengan modal senyum dan kata “nggih”. Apapun yang Simbah ucapkan, jawabanku hanya senyum sumringah sambil berkata, “Nggih, simbah” atau dalam bahasa Indonesia artinya “Iya, simbah” hehehe. Tak hanya dengan Simbah, ketika aku berpapasan dengan warga lainnya pun yang bisa kulakukan hanya senyum dan kata nggih.

Pedukuhan Jumblangan XIV dihuni oleh 97 Kepala Keluarga yang rumahnya tersebar di bukit-bukit. Tak ada penerangan jalan, tak ada jalan aspal keras, hanya jalanan setapak berlumpur yang hanya bisa dilalui kaki. Tapi, cobalah berjalan kaki. Pasti setiap warga akan menyapa. Ketika kami melakukan perkenalan sekaligus pendataan untuk pembuatan peta monografi, kami mengunjungi hampir 120 rumah. Hampir di setiap rumah selalu diajak masuk dan disuguhi makanan. Buat kami yang adalah anak kost, ini adalah anugerah tak terkira. Tapi, ketika harus minum puluhan gelas teh manis cukup membuat kami mabuk.

Kebanyakan rumah warga belum berupa bangunan bertembok.
Kalau pak Kades datang, beliau minta dipijat.

Satu hal lagi yang unik dari tradisi warga adalah mengenai “Perayaan”. Waktu itu simbah meminta kami turun bukit untuk mengikuti “perayaan” katanya. Kami kira yang dimaksud dengan perayaan adalah acara kondangan. Beberapa rekan malah bersiap untuk mandi dan berganti baju. Namun kami salah total, bagi warga Jumblangan XIV, perayaan adalah kerja bakti bersama, bukan kondangan.

Imaji kami untuk berdandan rapi buyar ketika kami diminta membawa sekop dan pacul. Ternyata, kami berdelapan diminta turut kerja bakti membuka jalan desa yang tertutup longsor semalam. Warga pedukuhan hanya butuh dua jam untuk membersihkan satu sisi longsoran. Kami berdelapan butuh waktu tiga jam, itu pun belum ditambah istirahat per sepuluh menit karena sakit pinggang. Tapi, pada akhirnya semua longsoran berhasil disingkirkan dan kami dihadiahi satu teko teh manis panas dan sebakul gorengan buatan Simbah.

Satu hal lainnya yang membuat kisah KKN kami terlalu sulit untuk dilupakan adalah karena penyakit yang menyerang kami. Di sebelah rumah Simbah, terdapat kandang sapi dan kambing. Dan, tepat di sebelah kandang itu adalah WC tempat kami sehari-hari melakukan aktivitas mck. Dua hari pertama, aku merasa sela-sela jariku gatal. Kupikir itu hanya gatal biasa dan cukup kuoleskan kayu putih. Tapi, gatal itu tidak hilang malah menyebar ke teman-teman lainnya. Gatal itu menimbulkan luka dan seperti bisul-bisul. Untuk berobat, kami harus menunggu hingga hari Sabtu tiba karena puskesmas di desa Banjarsari hanya buka setiap hari Sabtu.

Selain salep, kami juga menggunakan bedak anti gatal

Setibanya di Puskesmas, mantri di sana tertawa. “Howalah, ini sih biasa. Penyakitnya anak-anak KKN di sini.” Katanya, kami terserang penyakit kutu sapi. Kutu-kutu dari hewan ternah itu terbang ke air di WC yang kami gunakan mandi. Alhasil, semua terkena penyakit gatal itu. Untuk mengobatinya, kami diberi salep kudis yang untuk membelinya kami harus berkendara ke kecamatan sebelah karena waktu itu di kecamatan Samigaluh tidak ada apotek.

Pada awalnya kami tidak melaporkan gatal ini kepada Simbah karena tidak mau membuatnya khawatir. Tapi, lama-lama Simbah heran melihat kami setiap malam saling garuk menggaruk seperti kawanan kera. Akhirnya kami jujur kepadanya. Simbah malah merasa bersalah karena dia pikir dia tidak mampu memberikan tempat tinggal yang layak untuk kami. Simbah membuat kami terharu. Dia selalu memikirkan yang terbaik untuk kami.

***

Satu tahun lebih telah berlalu sejak kali terakhir kami bertemu Simbah. Sekarang, kami berdelapan telah bekerja dan berpencar. Belajar bahasa Krama, mencangkul, bahkan hingga sakit kutu sapi, semuanya mengajari kami bahwa sesulit apapun hidup, jika dinikmati maka tentu akan berkesan. 

9 pemikiran pada “Dari Perbukitan Menoreh, Kami Belajar Arti Hidup

  1. Pengalaman berharga sekaligus pembelajaran.
    Di desa saya juga masih sering jadi tempat KKN. Jadi saling belajar, lucu pas ngajarin bahasa krama, ada yang ikut ke sawah. Seru 🙂

  2. KKN yang sungguh mengajarkan akan kesederhanaan hidup mas. apalagi sosok simbah yang sudah seperti ibu sendiri bagi anak2 KKN. Pengalaman hidup yang berkesan sekali ya 🙂

  3. ya ampun benar2 bakalan jadi pengalaman yang berkesan, sampai kena penyakit kulit segala…

  4. Ane jadi gak bisa mw komentar apa, bang. Yang pasti, kenangan KKN-nya bakalan sulit terlupa. Simbahnya baik banget. Moga, KKN tahun depan, ane dapet kisah seru yang sama seperti di Jumblangan. Btw, foto pas mijetnya itu keliatan udah pro tuh, bang. hehehehe

    1. Wah, masih mahasiswa gan?
      Amin! Ane doakan semoga dapat pengalaman KKN yang manis dikenang.

      Soal pijet, itu skill khusus yang tidak diajarkan dari 144 sks di kampus 😀

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s