Duka itu masih ada, terselip di tengah denyut nadi kota. Tiga belas tahun silam, tatkala gelombang raksasa datang menyapu daratan, semua luluh lantak tak bersisa. Satu-satunya bangunan yang selamat dari kedahsyatan gelombang tsunami adalah Masjid Raya Baiturrahman. Sekarang, Banda Aceh telah bangkit dari kepedihan itu. Namun, di balik geliatnya, jejak nestapa itu masih dapat kita saksikan.
Ketika kapal ferry yang kami tumpangi bertolak dari pelabuhan Balohan, kami memikirkan destinasi mana yang akan kami singgahi selama di Banda Aceh. Sambil duduk-duduk di atas dek kapal, kami membuka catatan perjalanan yang sebelumnya sempat kami tuliskan. Dari hasil diskusi singkat, rencana perjalanan satu hari selesai disusun.
Tatkala ferry semakin mendekati pelabuhan Ulee-lheue, langit yang semula cerah mendadak kelam. Jam masih menunjukkan pukul 08:00, namun seketika terasa seperti sore hari. Hujan turun dengan lebatnya. Penumpang yang berdiri di dek paling atas melarikan diri mencari tempat berteduh. Kapal bergoyang hebat ke kanan dan ke kiri. Pengalaman ini adalah pengalamanku pertama kali, jadi wajar apabila aku merasa takut. Kupejamkan mata seraya berdoa supaya badai ini segera berlalu.
Badai itu hanya berlangsung kurang dari setengah jam. Setelahnya, langit kembali terbuka. Matahari kembali menampakkan wujudnya. Sekarang, pelabuhan Ulle-lheue terlihat jelas. Sebentar lagi perjalanan mengapung di atas lautan ini akan segera berakhir.
Kembali ke Banda Aceh
Seperti biasa, tatkala kapal telah bersandar sempurna dan pintu dibuka, puluhan bapak-bapak merangsek masuk. Mereka menawarkan jasa angkutan. Lagi-lagi ransel kami selalu menjadi penanda bahwa kami adalah turis. Mereka langsung mengerubungi kami dan meminta kami menggunakan jasa mereka. Satu-satunya jawaban yang bisa kami berikan kepada mereka hanya senyum dan gelengan kepala.
Setelah kami keluar dari kapal, mas Tri sudah menjemput kami. Mobil kolt buntungnya sudah siap mengantar kami berkeliling Banda Aceh. Berhubung hari itu masih bulan Ramadhan, jadi kami singgah sejenak di kediaman mas Tri. Di rumahnya, mas Tri tinggal bersama istrinya dan dikaruniai oleh sepasang anak perempuan kembar. Kami merasa sangat terbantu akan kebaikan mas Tri. Hari itu dia menunda pekerjaannya selama sehari penuh untuk menemani kami berkeliling Banda Aceh. Sebenarnya kami menolak. “Sudah mas, kami bisa jalan-jalan sendiri. Jalan kaki gak apa-apa kok.” Tapi, mas Tri tidak peduli dengan alasan kami. Baginya, kami adalah tamu yang harus disambut dan dijamu dengan sepenuh hati.




Mas Tri bersama istrinya, Yuliana menyediakan penganan sederhana dilengkapi dengan kopi Aceh, nikmat sekali rasanya. Sambil menyantap makan siang, kami mendengarkan penuturan mas Tri dan istrinya tentang apa yang menyebabkan mereka bisa memutuskan untuk tinggal di Aceh. Singkatnya, bagi mereka Aceh adalah suatu panggilan hidup, lebih dari sekadar mimpi. Mas Tri aslinya dari Solo, sedangkan istrinya dari Toraja. Mereka dipertemukan secara tidak sengaja, jatuh cinta, kemudian memutuskan untuk menikah. Mereka berdua memiliki satu visi yang sama, yaitu melayani sesama. Visi itulah yang pada akhirnya membawa mereka melanglang buana hingga ke Tanah Rencong.
Sebagai pendatang, awalnya mereka mendapat penolakan karena berbagai hal, salah satunya karena iman yang mereka anut. Namun, warga lambat laun menerima bahkan menyambut baik kehadiran mereka karena Mas Tri dan keluarganya tidak pernah melakukan hal buruk di masyarakat. “Ya, awalnya ada penolakan, tapi lama-lama semua bisa menerima kami, bahkan sekarang ibu-ibu kalau mau minta air langsung masuk ke dalam rumah tanpa sungkan lagi,” jelas Yuliana.
Mas Tri mengelola sebuah koperasi simpan pinjam yang dinaungi oleh Yayasan Rebana. Koperasi ini memberikan kredit ringan kepada warga sekitar Ulee-Lheue untuk mengembangkan usaha mereka. Uniknya, kebanyakan anggota koperasi adalah perempuan. Mengapa perempuan? Karena jika uangnya diserahkan ke bapak-bapak biasanya akan habis untuk ngopi.
Dari koperasi inilah warga sekitar Ulee-lheue yang merupakan wilayah terparah dampak tsunami ini mulai menata hidup. Warga belajar membiasakan diri untuk mengelola uang secara bijak, mengingat uang dari koperasi pada dasarnya adalah pinjaman, bukan hibah. Pasca tsunami memang banyak sekali bantuan berdatangan, dan hal itu membuat warga sulit membedakan antara uang hibah dengan pinjaman.
Beberapa tetangga Mas Tri ada yang mengembangkan usaha warung kopi, toko kelontong dan juga bengkel motor dari pinjaman koperasi. Atas dasar itulah warga menganggap kehadiran Mas Tri sebagai seorang yang memiliki niatan tulus untuk menolong tanpa tedeng aling-aling.
Dengan mobil kolt buntungnya, mas Tri mengajak kami berkeliling kota. Tujuan pertama kami adalah museum tsunami, sebuah bangunan megah yang didedikasikan untuk mengenang peristiwa dahsyat yang mengubah sejarah Aceh untuk selamanya. Kami diturunkan di depan musem, sementara itu mas Tri pamit sebentar. “Kalian masuk saja, nanti kalau sudah selesai jalan kaki ke Baiturrahman juga bisa. Nanti kalau sudah selesai sms saya aja,” katanya.
Museum Tsunami dibangun dengan arsitektur yang luar biasa indah dan megah. Di dalamnya terdapat diorama mengenai perjuangan rakyat Aceh sebelum tahun 1945, Gerakan Aceh Merdeka, juga detik-detik serta pasca tsunami. Pengelola museum juga menyediakan ruangan audio-visual untuk pengunjung menyaksikan langsung momen-momen dahsyat terjangan gelombang tsunami. Di bagian bawah museum terdapat sebuah lobby yang di langit-langitnya tergantung banyak bendera negara-negara yang turut membantu proses revitalisasi Aceh dari bencana tsunami.





Jika kita mencari di YouTube, memang ada banyak video amatir yang menggambarkan bagaimana kepanikan saat gelombang tsunami menyerang. Namun, menyaksikan video-video itu langsung di tanah pusat bencana membuat hatiku bergetar. Aku tak dapat membayangkan bagaimana paniknya suasana saat itu. Bagaimana duka mendalam yang harus dirasakan dari kehilangan orang tercinta. Bagaimana sakitnya bertahan hidup dengan tubuh yang terluka parah. Bagaimana menahan mual dari aroma jenazah-jenazah manusia yang membusuk. Semua kengerian itu terangkum sempurna dalam sebuah tayangan yang tak sekadar tayangan, tapi juga menegur dan menyadarkan kita bahwa di hadapan murka alam, kita bukanlah siapa-siapa.
Selepas dari museum kami menyambangi monumen PLTD Apung. Monumen ini sejatinya adalah kapal pembangkit listrik yang pada Minggu, 26 Desember 2004 pagi bersandar di tepi pantai. Kala itu gelombang tsunami menerjang dengan dahsyatnya dan menghanyutkan kapal raksasa ini ke tengah kota. Seusai gelombang surut kapal itu pun terdampar dan tidak memungkinkan dikembalikan ke laut. Sekarang, kapal itu difungsikan sebagai monumen dari peristiwa tsunami.

Sayang sekali, waktu kami berkunjung ke PLTD apung, lokasi ini sudah tutup karena kami sudah melewati batas waktu kunjungan. Tapi, satpam di sana berbaik hati. Mereka tetap mengizinkan kami untuk masuk dan mengambil foto, tapi tidak boleh naik ke atas kapal. Kesempatan ini segera kami manfaatkan. Lumayan masih boleh masuk ke pelataran monumen, daripada tidak sama sekali. Melihat besarnya kapal ini membuatku tercengang. Jika kapal sebesar ini mampu terhanyut sejauh 5 kilometer dari bibir pantai, lantas seberapa besar gelombang tsunami itu sesungguhnya? Aku tak sanggup membayangkannya.
Selain PLTD Apung yang terdampar, ada juga perahu nelayan yang tersangkut di atap perkampungan. Mas Tri bertutur, katanya perahu yang tersangkut itu telah menyelamatkan nyawa 36 warga. Ketika gelombang tsunami datang dan mulai meninggi, kapal yang berlabuh di pelabuhan itu ikut hanyut masuk ke dalam perkampungan. Warga yang terkatung-katung mencari pertolongan itu berusaha naik ke atas kapal dan akhirnya nyawa mereka terselamatkan. Ketika gelombang surut, kapal itu terdampar di atas atap sebuah rumah yang sudah porak poranda. Sekarang, posisi kapal itu tidak dipindahkan, melainkan dijadikan sebuah monumen yang dapat kita kunjungi tanpa dikenakan bea masuk.

Waktu sudah semakin senja. Jam buka puasa juga semakin mendekat. Kami mengakhiri perjalanan hari itu dengan berpamitan kepada Mas Tri dan seluruh keluarganya. Kami tidak bermalam di kediaman mas Tri karena tidak ingin mengganggu mereka. Jadi, selepas dari perjalanan keliling singkat, kami bermalam di sebuah hotel di kawasan Pasar Peunayong. Kamarnya nyaman dan sejuk walau tanpa AC, dan kami cukup membayar sebesar Rp 80.000,- untuk satu malam.
Pilihan untuk bermalam di sini nampaknya pilihan yang tepat. Setelah jam berbuka tiba, jalanan yang semula sepi berubah menjadi gemerlap. Puluhan lapak-lapak kaki lima berjejeran menyajikan aneka jenis kuliner, mulai dari pecel lele, sate padang, hingga nasi goreng Aceh. Semuanya beraroma sedap. Pilihan kami jatuh kepada nasi goreng Aceh yang harganya Rp 15.000,- per porsi. Selain perut kami kenyang, kami juga puas karena selain mengisi pengalaman dengan menapak tilas, setidaknya kami menyantap makanan khas Aceh.
Perjalanan malam itu kami akhiri dengan tertidur pulas di atas kasur hotel. Keesokan harinya kami harus melanjutkan perjalanan ke Takengon, Aceh Tengah. Walau hanya satu hari, Banda Aceh menorehkan kesan yang begitu dalam di hati kami. Dari balik geliat kota yang hidup, tersimpan memori kelam yang tak akan pernah bisa dilupakan oleh generasi lintas generasi.

mantap mas…ceritana lengkap banget. saya malah gak sempat liat PLTD yg kedampar waktu itu. ikut tercengang juga baca blog ini. jadi inget kejadian horor di hotel selama beberapa hari di Aceh…wkwwkk
Hehehe. Iya mbak, wktu di PLTD aku takjub. Gak kebayang gelombangnya segede apa sampai kapal raksasa bisa hanyut ke tengah kota. 😄😄
Ho’oh mas. Mobil derek ajaa belom tentu bisa nyeret itu PLTD yaakk..hihihii
Harus pake kekuatan Superman 😄😄