Masa libur lebaran sudah mendekati ujungnya. Jalanan di daerah Puncak tumpah ruah dengan aneka jenis kendaraan. Ada yang berkendara untuk segera tiba kembali di kota perantauan, tapi tak sedikit pula yang pergi untuk mencari tempat pelesir. Jalanan yang hanya terdiri dari dua lajur berlawanan arah pun akhirnya kewalahan menampung beban ribuan kendaraan.
Mengawali hari pertama di bulan Juli, kami mengagendakan sebuah perjalanan tetirah ke selatan Jakarta, tepatnya kawasan pegunungan di Puncak, Bogor. Sebenarnya kami cukup ragu untuk pergi ke daerah Puncak karena hari itu jalanan pasti macet total. Di akhir pekan biasa saja jalur Puncak sudah macet parah, apalagi di masa-masa libur lebaran. Bisa-bisa macetnya berkali-kali lipat.
Pukul 07:00 kami bertolak meninggalkan Jakarta ke arah Bogor. Untuk menghindari macet, kami menjajal jalur yang sedikit memutar, yaitu via Tangerang – Gunungsindur – Parung. Secara jarak, jalur ini memang lebih jauh daripada jalur konvensional via Jalan Bogor. Tapi, lalu lintas di sini lancar jaya. Sekalipun padat tapi tidak sampai bertumpuk kendaraan.
Dalam dua jam, kami tiba di kota Bogor. Sempat bingung, apakah kami akan melanjutkan ke Puncak dan menerjang macet, atau mengakhiri perjalanan dengan duduk-duduk di Kebun Raya? Kami melirik ke arah jam tangan. Ternyata jam baru menunjukkan pukul 09:00. “Okelah, kita cari soto dulu baru pikir lagi nanti ke mana,” kataku. Semangkuk soto di pinggir jalan Pajajaran, Bogor mengisi perut kami yang keroncongan. Setelah perut kenyang dan hangat, tenaga kami pulih. “Lanjut Puncak aja deh,” sahutku.
Pucuk dicinta ulam tiba. Saat itu di jalur Puncak sedang dilakukan buka tutup. Jalur yang dibuka adalah jalur dari Jakarta menuju Puncak, jadi kami tidak terjebak macet hingga memasuki daerah Cisarua. Menjelang memasuki area kebun teh, jalanan mulai padat. Kendaraan arah Jakarta diam membisu karena lajurnya ditutup. Mesin-mesin mobil dimatikan, pengendaranya menghambur di warung-warung kopi sepanjang pinggiran jalan. Melihat kemacetan parah yang mengular, aku bersyukur karena menaiki sepeda motor yang tetap bisa melaju sekalipun jalurnya ditutup.
Sebenarnya pilihan kami siang itu adalah Kebun Raya Cibodas, tapi memasuki daerah Ciloto, Cianjur, jalanan macet parah di kedua lajur. Tidak bisa bergerak sama sekali. Bahkan, ratusan motor akhirnya ikut terjebak tak mampu berkutik. Alternatif kedua segera ditemukan. Kami berbalik arah dan berbelok menuju sebuah jalan kecil berbatu. Seorang petugas menagih tiket sebesar Rp 20.000,- per orang untuk retribusi. Tibalah kami di tujuan yang tak terduga sebelumnya, Telaga Warna.


Sebelumnya, nama Telaga Warna tidak asing di telingaku. Telaga seluas 1,5 hektar di ketinggian 1,400 meter dpl ini pernah dimuat di majalan National Geographic enam tahun silam. Gambar telaga yang dicetak di atas kertas itu begitu memukau. Lanskapnya hijau merona, juga ada halimun tipis yang menggantung rendah di atas permukaan airnya.
Dalam bahasa Sunda halus, petugas karcis mengatakan bahwa Telaga Warna masih harus ditempuh sejauh 400 meter. “Ada pertigaan ambil kiri,” katanya. Tak jauh dari pos retribusi, jalanan bercabang dua dan sesuai petunjuk dari petugas itu, kami ambil arah ke kiri. Jalanan kian menanjak dan berbatu, tapi tak ada tanda-tanda ditemukannya telaga. Kami penasaran, tapi tak ada orang untuk ditanya. Juga, tidak ada papan penunjuk arah yang menunjukkan di mana lokasi telaga.
Saat kebingungan itu, kami melihat ada sebuah warung kecil berdiri di tikungan jalan. “A, punten, upami bade ka Telaga Warna ka pali mana?” tanyaku dalam bahasa Sunda menanyakan jalan mana yang harus kami tempuh. Ternyata, kami salah jalan. Seharusnya, dari pertigaan pertama kami tidak ke kiri, tapi berbelok ke kanan. Entah telingaku yang salah dengar, atau memang si petugas karcis di depan tadi yang memberi informasi sesat. Akhirnya, kami kembali menyusuri jalan berbatu dan mengikuti arahan dari pemuda penjaga warung.
Tibalah kami di Telaga Warna. Jika di depan kami sudah membayar retribusi, di depan telaga kami juga dimintai biaya lagi. Kali ini tarifnya Rp 8.500,-. “Ini buat tiket telaga a, kalau yang di depan mah buat tiket kebun teh,” ucap penjaga karcis. Telaga Warna letaknya tersembunyi. Di tengah hamparan kebun teh, agak menjorok ke tebing, di sanalah lokasi telaga berada. Telaga ini kecil, juga sunyi. Airnya amat tenang, tak tampak ada riak di permukaannya. Di sekelilingnya, tebing-tebing penuh pepohonan menjadi pagar telaga.



Hari itu bukan hari yang terbaik untuk berkunjung ke telaga karena ada ratusan orang yang bertandang. Semuanya adalah wisatawan lokal. Lokasi telaga berubah menjadi pasar dadakan. Ada penjual gemblong, baso goreng, cilok, kupluk, dan aneka cindera mata. Masa liburan memang menjadi berkah bagi warga lokal untuk meraup rejeki lebih banyak daripada hari biasanya. “Iya a, seminggu ini mah laris jualannya,” ucap penjual gemblong sambil menyelipkan gemblong-gemblongnya ke dalam kantong plastik.
Di antara keriuhan pengunjung, ada puluhan monyet ekor panjang yang berkeliran. “Byuurr” seekor monyet jatuh nyemplung ke dalam telaga setelah kalah berebut makanan dari monyet lainnya di atas pohon. Monyet-monyet itu ada yang jinak, tapi ada pula yang ganas. Keramaian pengunjung di Telaga Warna tidak serta merta membawa berkah bagi alam. Beberapa pengunjung dengan santainya membagi-bagikan aneka makanan kepada kawanan monyet. Padahal, menurut peraturan, seharusnya wisatawan dilarang memberi makan satwa liar. Perilaku memberi makan ini akan mengubah pola perilaku monyet-monyet. Alih-alih mencari makan di alam bebas, mereka akan menjadi bergantung dan agresif terhadap kehadiran manusia.

Saat kami sedang mengamati telaga dari sudut yang cukup sepi, tiga ekor monyet datang mendekat. Dua diantaranya membawa bayi yang menempel di tubuh sang induk. Karena kami tidak membawa makanan apapun, mereka hanya termangu. Tapi, seorang pengunjung di dekat kami membawa banyak perbekalan. Kemudian, monyet itu merampas tas berisi roti dan aneka camilan.
Di balik keriuhan pengunjungnya, Telaga Warna tetap menyimpan aura ketenangan yang abadi. Airnya yang tenang menampilkan wujud kesyahduan alam. Berdiam diri di Telaga Warna yang tenang mampu mengusir segala kepenatan dari rutinitias. Hirup udara sejuknya perlahan-lahan, pejamkan mata, pasang telinga akan suara-suara alam di sekitarnya. Sungguh, Telaga Warna adalah sebuah destinasi tetirah yang terlalu apik untuk dilewatkan.
Tatkala arus pengunjung semakin banyak, kami mengundurkan diri dari bibir telaga. Kami berjalan kaki menuju hamparan perkebunan teh, menggelar alas, dan merebahkan diri untuk tertidur selama satu jam lebih.



——–
Telaga Warna:
Lokasi:
Jika dari arah Bogor/Jakarta, ikuti jalan raya Puncak. Menjelang area perkebunan teh dan restoran rindu alam, pelankan kendaraan. Di kiri jalan tepat saat tikungan, terdapat jalanan kecil berbatu dan papan penunjuk arah “Telaga Warna”. Berbeloklah ke jalan itu.
Wah ada juga telaga warna selain di dieng hehe.
Tapi monyet2nya mengingatkanku pada goa kreo di semarang, sebuah bukit yg ada guanya skrg di kelilingi sebuah waduk buatan.
Ada mas, kupikir juga telaga warna cuma punya Dieng. Cuma, telaga warna di sini gak benar-benar warna. Ijo lumut doang 😀
Goa kreo? Aku baru denger nih.
yang aku tahu sendang kreo di Jogja sebelah kali Progo 😀
pembangunan bungalow-bungalow di sisi kiri telaga itu benar-benar merusak suasana telaga warna. dulu sebelum ada itu, telaga warna lebih alami krn dikelilingi hutan.
sekarang.. ah payah
Iya sih.
Sewaktu ke sana, bungalow-bungalow itu masih ditutup. Katanya sih direnovasi. Jadi, akses ke ujung telaga juga ikut ditutup. Akibatnya pengunjung menumpuk semua di dekat gerbang masuk. Sampah juga banyak berserakan di mana-mana.
ternyata selain di Dieng, telaga warna juga ada di jabar tapi lebih syahdu yang di sini deh kayaknya, dikelilingi pepohonan yang lumayan lebat, apalgi datangnya pas bukan musim liburan
Iya. Tempatnya sepi, tenang. Tapi ya itu, banyak ketek 😄
gpp ada kethek daripada banyak orang pacaran dan cuma ngelihatin doang wkwkwk
Lha, itu di cover photo, isine wong pacaran. wkwk. Aku njepret dari belakang 😦