Sumatra Overland Journey (5) | Kelana di Pulau Terbarat Indonesia

Makan, tidur, jalan-jalan, dan snorkeling. Selama lima hari, tak ada aktivitas lain yang bisa kami lakukan selain empat hal tersebut. Keindahan Sabang seolah membawa kabur kami dari segala kemelut dunia. Tak ada televisi, tak ada internet. Dunia menjadi amat damai karena yang kami lihat hanyalah alam yang memanjakan mata.

Sekalipun lokasinya memang cukup terpencil, tapi sebenarnya sinyal ponsel masih ada di beberapa titik pulau Weh. Sebuah perusahaan operator raksasa pelat merah menancapkan menara-menara pemancar sinyalnya di sini. Hanya, tarif yang dibanderol membuat kantong menjerit. Tepat sehari setelah tiba di Sabang, paket data ponselku habis total. Ketika hendak memperpanjang, ternyata tarifnya berubah berdasarkan lokasi geografi. Jika dulu di Jogja untuk paket data 3G sejumlah 2GB dipatok sekitar Rp 50 ribu, di Sabang tarifnya menjadi 95 ribu. Terlalu mahal. Akhirnya kupendam saja niatan membeli paket internet. “Coba nikmati alam tanpa gadget,” pikirku.

Setiap hari di Pantai Iboih, hanya turis-turis asing yang rajin berlalu-lalang. Aku sendiri bertanya-tanya. Ke mana turis Indonesianya ya? Ah, mungkin karena itu bulan puasa jadi orang malas berwisata. Atau, bisa jadi juga karena jarak Pulau Weh yang terlalu jauh sehingga turis-turis dari kota enggan datang. Terlepas dari spekulasiku, waktu itu benar-benar hanya aku seorang diri yang menjadi turis lokal di Pantai Iboih.

Inilah lokasi Pulau Weh, di ujung barat Indonesia, berbatasan langsung dengan laut Andaman di utara yang merupakan teritori India
Homestay Yulia. Homestay ini terletak di paling ujung pantai Iboih dan kebanyakan tamunya adalah turis barat. Harga yang dipatok untuk menginap per malamnya di kisaran Rp 75.000 – 250.000,-

Ada puluhan homestay yang bertengger di bukit-bukit sepanjang garis pantai Iboih. Di dekat pintu masuk adalah area untuk homestay yang bangunannya modern. Untuk seorang backpacker, menginap di situ bukanlah pilihan yang tepat. Tarifnya di atas Rp 200 ribu per malam, bahkan ada yang sampai 500 ribuan. Terlepas dari harganya, fasilitas yang ditawarkan memang sebanding. Ada pendingin udara, televisi parabola, dan air panas. Tapi, untuk apa jauh-jauh ke pantai kalau hanya ingin menikmati fasilitas kota?

Berjalan sekitar dua ratusan meter dari area parkir, homestay yang lebih ramah kantong mulai bertengger, salah satunya adalah rumah yang kami tempati. Di homestay-homestay ini, hampir semua penghuninya adalah bule. Entah kebetulan atau bukan, waktu kami berkunjung hampir semua turis bule yang kami temui adalah dari Jerman. Selidik demi selidik, berdasar penuturan mereka ternyata nama Pulau Weh itu terkenal di kalangan backpacker muda.

Ketika makan malam tiba, aku bersama Johannes duduk di warung makan Mamamia. Hanya kami berdua yang ada di pondokan kecil itu. Namun, di tengah kegelapan malam kami melihat cahaya senter memancar. Rupa-rupanya, tiga orang turis perempuan juga hendak makan di warung yang sama dengan kami. Dari pandangan pertama, aku bisa menebak kalau mereka adalah turis Jerman.

Tebakanku benar. Tatkala mereka masuk ke pondokan, mereka segera menyalami Johannes. Tapi, tidak satupun dari mereka yang menyalamiku hingga Johannes berkata, “This is my friend, Ary, bla .. bla .. bla” Aku tersenyum kecut. Bukan kali ini saja, tapi sejak kali pertama tiba di Bukit Lawang aku selalu dilewati tatkala sesi berjabat tangan datang. Turis-turis barat itu tidak mengira kalau aku adalah seorang backpacker juga. Mereka mengira kalau aku adalah orang lokal yang disewa Johannes untuk menemani perjalanannya. Alih-alih menjadi bad mood, segera kuhilangkan prasangka buruk itu dan turut membaur dalam percakapan.

Anja, Judith, dan Hanna. Tiga perempuan Jerman berusia 25-an ini cukup tangguh. Dengan gaya backpacker, mereka menempuh perjalanan ribuan kilometer dari Eropa untuk membuktikan apa yang ditulis Lonely Planet tentang Indonesia. Sabang adalah destinasi pertama mereka, kemudian sesuai rencana mereka akan bertolak ke Pulau Banyak. Aku penasaran dan bertanya, “Why don’t you go to Bali?” Mereka tertawa. Sebenarnya, mereka mau dan penasaran juga tentang Bali. Tapi, kata mereka Bali itu sudah terlalu terkenal, jadi mereka ingin mencoba petualangan yang baru di tempat-tempat yang belum terlalu populer.

Ketika obrolan kami semakin hangat, Hanna tiba-tiba menjerit. Di gelas minumannya dia melihat ada tiga jentik nyamuk sedang asyik berenang. Tangannya gemetar, matanya terbelalak. “Oh my God!” Kemudian dibawanyalah gelas itu ke dapur tempat sang empunya warung memasak. Aku coba menjelaskan dalam bahasa Indonesia kepada sang nenek pemilik warung. Nenek itu meminta maaf dan mengambilkan kami air yang baru. Tapi, air yang baru pun serupa, penuh dengan jentik nyamuk.

Bule-bule itu seketika syok. Mereka membuang air di gelas dan berjalan pulang ke homestay masing-masing untuk mengambil air mineral kemasan. Aku dan Johannes saling pandang. Kami berdua malah sudah menenggak satu gelas penuh dan tidak menyadari kalau ada jentik nyamuk di air itu. Tawa kami pun pecah menyadari ketidakjelian kami. “Paling nanti nyamuknya mati sendiri di lambung,” kataku menghibur diri.

Air tawar memang bukan sesuatu yang berlimpah ditemukan di Pantai Iboih. Warga sekitar menggali sumur-sumur untuk keperluan sehari-hari, tapi air sumur itu tidak sepenuhnya tawar. Aku mencicipi air keran dan rasanya agak asin. Setelah kejadian jentik nyamuk di dalam gelas itu, kami menjaga diri supaya lebih selektif dan higienis. Pasalnya, jika sampai jatuh sakit bisa gawat. Rumah sakit terdekat jaraknya 45 kilometer, dan sudah tentu kantong kami akan terkuras apabila sampai harus diopname.

Berhubung waktu itu adalah bulan puasa, tidak ada satupun warung yang buka di siang hari. Kami salah karena malam sebelumnya kami tidak menyiapkan perbekalan terlebih dahulu. Karena terlalu asyik mengobrol hingga larut, kami lupa untuk singgah sejenak di warung dan akhirnya pulang ke penginapan tanpa membawa apapun.

Perut yang keroncongan membawa kami memacu sepeda motor berkeliling pulau. Tanpa helm dan tanpa tahu arah, kami mencoba tiap-tiap jalan. Pulau Weh ini kecil, sehingga kalau tersesat ya pasti di situ-situ saja, pikir kami. Satu jam berkendara, kami tidak menemukan ada tanda-tanda warung makan yang buka. Di beberapa desa kami berhenti, namun semuanya sunyi. Motor terus dipacu hingga tibalah kami di bagian selatan pulau Weh.

Jalan raya di Pulau Weh, mulus tak berlubang, tapi tak ada pengendara yang lalu-lalang.
Sepeda motor sewaan yang kami peroleh di pelabuhan Balohan seharga Rp 75.000,- per 24 jam
Jalanan meliuk menuju lautan membiru

Kami memarkirkan sepeda motor dan duduk-duduk di tepian pantai. Sungguh, perut kami amat keroncongan. Waktu sudah menunjukkan pukul 14:00 tapi sejak semalam tidak ada satupun makanan yang masuk ke perut kami. Sambil diterpa angin laut, kami berharap supaya adzan maghrib yang masih lima jam jauhnya itu segera tiba. Di lokasi kami duduk sebenarnya ada banyak pondok warung-warung makan, tapi semuanya tutup. Akhirnya kami pun melamun, tapi tiba-tiba ada suara garang yang memanggil kami. “Hey, kamu, ngapain di sini?” Tanya seorang pria bertubuh gempal. Johannes menggelengkan kepalanya sementara aku terhenyak. Lelaki itu adalah seorang bule tapi bertanya pada kami dalam bahasa Indonesia.

Aku mengenalkan diriku dan Johannes kepada lelaki itu. Nada bicaranya menurun dan jadi lebih lembut setelah mengetahui bahwa kami berdua hanyalah wisatawan yang sedang keroncongan. “Kalian mau makan?” tanyanya. Sontak ekspresi kami menjadi cerah, senyum tersungging lebar sambil mengangguk-angguk “ya”. Lelaki itu mengajak kami masuk ke sebuah pondok kayu yang ternyata adalah miliknya.

Lelaki itu bernama Philip, seorang warga negara Perancis yang sudah puluhan tahun tinggal menetap di Pulau Weh, bahkan jauh sebelum tsunami menerjang. Di Perancis sana, Philip tidak menikah dan bekerja sebagai tukang bersih-bersih cerobong asap. Pekerjaannya itu bukanlah pekerjaan sepanjang waktu. Membersihkan cerobong asap hanya bisa dilakukan saat musim panas. Jadi, ketika musim dingin datang, Philip menjadi pengangguran. Di sela-sela waktu penganggurannya itulah dia datang ke Indonesia. Waktu itu kota yang dia kunjungi adalah Medan. Pucuk dicinta ulam tiba, dia jatuh cinta kepada seorang perempuan yang waktu itu bekerja sebagai kasir di sebuah toko swalayan.

Mereka pun berkenalan dan menjalin kisah mesra. Setelah beberapa lama, Philip kembali ke Perancis untuk menunaikan pekerjaannya dan kembali lagi ke Indonesia kala musim dingin datang. Di kunjungannya yang kesekian, mereka pun menikah. Philip memutuskan untuk menjadi mualaf dan menetap selama sembilan bulan di Indonesia dalam satu tahun. Sampai detik ketika aku bertemu dengannya, dia mengakui kalau dalam satu tahun, dia masih pulang ke Perancis selama tiga bulan untuk membersihkan cerobong asap.

Cerita Philip membuatku terkesima. “Lalu, kok bisa nyasar di Sabang?” tanyaku. Philip kembali bertutur panjang, kali ini sambil tangannya memotong batang-batang sayuran. Dia tidak betah dengan kehidupan di Medan, apalagi keluarga istrinya itu katanya terlalu ‘berisik’. Karena Philip suka memancing, akhirnya diboyongnyalah sang istri ke Sabang. Di sini, Philip membaktikan hidupnya jadi seorang nelayan. Dengan bangga dia menunjuk-nunjuk beberapa perahu kayu yang katanya adalah miliknya.

Usaha dari menangkap ikan ternyata tidak cukup mendatangkan penghasilan yang besar. Sementara itu, istrinya juga tengah mengandung. Dari pemasukan membersihkan cerobong asap dan menjadi nelayan, Philip kemudian membangun sebuah pondok makanan ini. Penghasilannya kini lumayan, cukup untuk menghidupi satu istri dan dua orang anak.

Philip sangat suka berkata kasar. Selama satu jam perbincangan, tidak terhitung berapa umpatan-umpatan yang dia lontarkan. Dia adalah orang yang skeptis dan amat berhati-hati mengambil keputusan. Walaupun sudah berpuluh-puluh tahun tinggal di Indonesia, tapi dia tetap tidak mau melepas kewarganegaraan Perancisnya. “Indonesia is suck,” tuturnya sambil tangannya memegang rokok. Sekalipun begitu, dia pun tidak suka dengan Perancis. Katanya, orang-orang di sana individualistis.

Rokok di tangannya membuatku mengernyit. “Loh, gak puasa?” Dia menjawabnya dengan tertawa. Status mualaf yang disandangnya ternyata tidak membuatnya ikut menjalankan ibadah puasa. Sambil rokok dihisap, Philip berjalan ke arah jendela dan pintu. Dia memastikan tiap ruangan dikunci supaya tidak ada orang yang melihatnya merokok. Di bulan Ramadhan sebelumnya, Philip pernah ‘dihukum’ karena ketahuan tidak berpuasa di depan publik. Dia tidak menjelaskan rinci apa hukumannya, namun, yang jelas dia mendapatkan stigma dari masyarakat.

Hari itu, dia sangat berhati-hati untuk berperilaku. “Kalian harus hati-hati, dunia ini banyak orang jahat,” tuturnya berapi-api. Nasihat demi nasihat terus terucap dari mulutnya, sementara tangannya dengan cekatan memasak mie goreng yang hampir jadi. “Kalian mau sirsak?” tanyanya. Kami mengangguk. Kemudian, dua gelas jus sirsak dan dua piring mie goreng tersaji di hadapan kami.

Dengan lahap, kami menyantap dua menu itu. Rasanya nikmat bukan kepalang. Kesegaran jus sirsak turun membasahi kerongkongan, sementara mie goreng yang gurih turun memenuhi lambung kami yang sudah meronta-ronta sejak pagi.

Dalam hatiku, aku berpikir bahwa Philip ini baik sekali karena mau memberikan kami makanan. Setelah piring kami bersih, dia bertanya. “Sudah makannya? 50 ribu satu orang.” Kami tercengang. Aku sempat berpikir kalau siang itu adalah rejeki nomplok, tapi ternyata bukan. Akhirnya kami membayar selembar uang seratus ribu kepadanya. Sebenarnya kami tidak terlalu kecewa dengan harga yang dipatok karena memang masakan Philip itu enak dan mungkin juga dia membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Philip tidak mengizinkan kami untuk memotret apapun, termasuk berfoto dengannya.

Kami berpamitan dan sepanjang jalan pulang menuju penginapan kami berpikir tentangnya. Kisahnya terdengar seperti fiktif, tapi mungkin saja benar. Namun, tetap saja kami bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang bule Perancis terdampar di pulau ujung barat Indonesia ini?

Lima hari yang kami lewati di Sabang hampir usai. Tiga perempuan Jerman telah lebih dahulu meninggalkan kami. Mereka segera bertolak menuju Pulau Banyak yang terletak di kabupaten Aceh Singkil. Di malam terakhir, kami bertemu dengan seorang turis laki-laki Jerman bernama Markus. Dia tinggal tepat di pondok di bawah penginapan kami.

Sekilas, tampang Markus itu menyeramkan. Tatto dan tindikannya ada di mana-mana. Tapi, ketika dia bicara, suaranya amat halus dan ternyata dia seorang yang amat mellow! Di penghujung senja, dia duduk seorang diri di teras penginapannya. Matanya memandang laut seraya tangannya bergerak lincah, menorehkan gambar-gambar artistik di atas sebuah kertas. Setelah gambar itu usai, tangannya kembali menari. Kali ini dia menulis cerita dan refleksi apa yang dia dapatkan sepanjang hari itu. Semuanya dia tulis begitu rapi di dalam sebuah buku harian. Dia tidak menuliskannya untuk ditayangkan di blog.

Bersama Markus Semrau (kiri) dan Johannes (kanan)

Di usianya yang ke-31, Markus bertutur kalau ia tentu akan kembali lagi ke Jerman, tapi belum tahu kapan waktu terbaik untuk kembali lagi ke sana. Katanya, dia masih ingin menikmati masa-masa travelingnya. Sekembalinya ke negeri asalnya, dia harus mencari pekerjaan kembali dari awal. Demi sebuah perjalanan panjang, dia melepas pekerjaannya terdahulu.

Ketika obrolan dengan Markus usai, suasana jadi amat sepi. Ketiga perempuan Jerman sudah pergi, dan Johannespun sudah terlelap. Aku masih tidak ikhlas kalau besok harus pergi dari kelana di tanah surga ini. Mataku tak dapat terpejam dan akhirnya aku menyerah. Untuk membunuh kebosanan, akhirnya aku membeli paket internet yang pada awalnya kutolak. Sembilan puluh lima ribu melayang dari akunku demi sebuah koneksi internet. Ah, aku memang belum sepenuhnya bisa terlepas dari ponsel. Di penghujung waktu-waktuku di tanah surga, aku kembali menyerah kepada ketergantungan semula, ponsel dan internet.

Pemandangan yang lumrah ditemui di sekeliling Pulau Weh

 

Saat kami sedang asyik menikmati laut, dua orang warga lokal dengan ramah mengajak kami mengobrol. Di akhir obrolan, mereka ingin difoto bersama dengan bule.

11 pemikiran pada “Sumatra Overland Journey (5) | Kelana di Pulau Terbarat Indonesia

  1. Ralat ya Mas, pulau terbarat Indonesia itu bukan Pulau Weh ya, secara astromonis akan terlihat bahwa Pulau Breuh (Beras) adalah yang terbarat ya 😀

    Iyup, saya juga sempat heran mengapa ada banyak WNA yang ada di Sabang, sebagian ada yang menetap di tepian-tepian menjauh dari kota. Entah mereka terlacak semua oleh pihak imigrasi atau tidak, entahlah….

    1. Iya. Sebenernya di hari ketiga udah bosen. Tapi, waktu itu si Jo temenku mau snorkeling di pulau-pulau lain sekitaran Weh, jadi nunggu arus yang pas. Alhasil, 5 hari kita mangkrak.

      Di next episode, kami malah mangkrak 2 minggu di Samosir krna gak dapet angkutan ke Padang

  2. awalnya seperti mau membantu tapi tau2nya harus bayar….kemudian berpikir, hari gini gratisan (langka) hehehe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s