Surat untuk Temanku yang Tak Lagi Bujang Hari Ini

 

Aku masih tidak menyangka bahwa obrolan ngalor-ngidul di pelataran Candi Barong tahun 2013 lalu itu menjadi kenyataan. Waktu itu, kami saling mengejek diri kami masing-masing sebagai seorang jomblo. Johannes, alias Paijo, pernah berpacaran di negerinya, kemudian putus. Senada dengannya, bahkan lebih tragis lagi, aku belum pernah berpacaran sama sekali.

Waktu itu, di semester tiga kuliah, tatkala teman-temanku mulai memiliki gandengan tangannya, aku masih sendiri. Sejujurnya, sempat ada rasa sedih. Ditemani udara sore yang sejuk, aku dan Johannes saling berbagi cerita tentang kisah hidup masing-masing. Kepadanya, aku juga bercerita tentang bagaimana rasanya jika nanti aku punya pacar. Ada satu hal yang membuatku tersentak, jawaban Johannes.

“If you have already a girlfriend now, maybe we are not here today,” ucapnya. Jawaban itu membuatku terdiam. Sambil menatap langit, aku berpikir. “Iya juga sih.” Jika saat itu aku telah memiliki seorang pacar, mungkin saja aku tidak akan bisa memanfaatkan tiap-tiap waktu luangku untuk traveling bersama Johannes. “Just, enjoy the journey, and rejoice in everything,” tambahnya.

Aku tidak setuju dengan pernyataannya yang terakhir. Bagaimana caranya kita bisa bersukacita setiap saat dan di setiap keadaan? Johannes menjawabku dengan terkekeh. “I don’t know he..he..he, but it is what the Bible tell us, rejoice always!” Kemudian, dia menambahkan dengan cerita pengalaman hidupnya. Sebagai seorang bule, Jo bukanlah orang yang kaya. Ayahnya yang bekerja sebagai seorang akuntan, kini telah pensiun. Ibunya bekerja sebagai perawat di sebuah kota kecil di Jerman. Sementara itu, kakak perempuannya telah menikah dan adiknya pergi merantau untuk sebuah pelayanan sosial di Bangladesh.

Buatku, Jo adalah teman yang unik. Dia adalah seorang bule yang gaptek. Dia hanya memiliki akun Facebook. Tidak ada Instagram, LINE, ataupun Whatsapp. Untuk apa banyak-banyak media sosial jika dengan satu saja kita bisa tetap terhubung? Itulah filosofinya. Tiap kali traveling, tatkala aku sibuk mencari sinyal, Johannes dengan tenang melarutkan dirinya dalam perjalanan, tanpa gelisah sedikitpun karena sinyal hilang.

Untuk bisa tiba di Indonesia dan melakukan internship selama enam bulan, Jo menabung dengan tekun. Dia berhemat setiap hari. Tidak pergi ke mal, tida belanja barang-barang yang tidak penting, tidak pergi dugem, apalagi sampai mabuk. Dia adalah bule yang sangat alim!

Sore hari itu, pembicaraan kami melantur ke mana-mana. Ketika aku menyinggungnya soal menikah, dia hanya terkekeh. “So, will you marry Indonesian?” pertanyaanku itu dijawabnya dengan gelengan kepala. Dia berkata tidak tahu. Dia bilang kepadaku, tidak usah terlalu berfokus mencari pacar, fokuskan dirimu menjadi lelaki yang baik, itu cukup katanya.

***

Empat tahun berselang, lewat sebuah pesan Facebook, Jo mengirimkan aku foto seorang perempuan. Di pesannya, dia memintaku untuk membantu mendoakannya. Dia sedang mendekati seorang perempuan yang dia kenal di gerejanya. Dia jatuh cinta kepada perempuan itu dan mungkin inilah saatnya untuk dia menjalin hubungan berpacaran.

Dengan senang hati aku mendoakannya hingga di penghujung 2016, Johannes meminta alamat rumahku di Indonesia dan berkata kalau dia ingin mengirimkan sebuah paket. Beberapa minggu berselang, aku tersentak. Sebuah amplop berisi undangan didatangkan langsung dari Jerman. Ternyata, Johannes memutuskan untuk menikah dengan seorang perempuan yang menerima diri berpacaran dengannya.

Setelah undangan itu diterima, tak lama dia mengirimi aku sebuah pesan kembali di Facebook. “Aku tahu kamu tidak dapat datang ke Jerman, dan aku juga tidak punya cukup uang untuk membelikan tiket, hehe. Tapi, lewat undangan ini aku mau kamu tahu bahwa kamu adalah tamu spesial buatku yang kehadirannya kunantikan. Kamu adalah saudaraku.” Pesan itu membuatku terharu. Amat terharu. Tidak pernah terpikirkan olehku untuk memiliki seorang sahabat beda bangsa yang peduli akan hal-hal kecil.

Tiap-tiap kilometer yang pernah kami tempuh, memberiku kesan mendalam. Aku mengucap syukur kepada Tuhan karena lewat sebuah pertemuan tak sengaja di pinggir jalan, hidupku berubah. Aku belajar banyak dari seorang bule Jerman. Belajar bahwa perjalanan tidak selalu tentang tujuan, tapi tentang bagaimana kita menikmati perjalanan itu.

Hari ini, 17 Juni 2017, Johannes telah resmi melepas masa lajangnya. Dia telah menjadi seorang suami dari istri yang amat mencintainya. Aku turut berbahagia atas satu tahap yang boleh terlewati dalam hidupnya.

Selamat menempuh hidup baru, Jo. Sekiranya kelak kita bisa kembali traveling.

Terima kasih, Paijo!

3 pemikiran pada “Surat untuk Temanku yang Tak Lagi Bujang Hari Ini

  1. senang dan terharu rasanya punya teman yang seperti ini, semoga kalian terus bisa berkomunikasi : ), btw pas tau bule ini alim, hemat, jadi gimana gitu, sudah terkonsep kalau bule ya kebalikannya

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s