Lima puluh kilometer di selatan Ibukota, Bogor tak hanya sekadar rumah bagi para komuter yang mencari nafkah di Jakarta. Di tengah pemukiman yang kian padat dan jalanannya yang semerawut, Kebun Raya Bogor masih menjadi paru-paru alami yang terjaga, sebuah warisan masa lalu dari masa kolonial.
Kali pertama aku mengunjungi Kebun Raya Bogor adalah tahun 2006. Waktu itu, sebagai bocah kelas VII SMP, kebun yang rimbun dengan pepohonan ini sama sekali tidak tertarik buatku. Sebelas tahun berselang, aku kembali singgah. Bersama dua orang rekan kantor, kami bertolak menggunakan kereta komuter dari Jakarta. Jika di hari-hari biasa itu mustahil untuk mendapatkan duduk di kereta, hari itu kami beruntung. Pilihan untuk pergi di tanggal merah menjadikan gerbong kereta seolah milik kami pribadi karena tak banyak penumpang di dalamnya.

Tepat di tahun ini, Kebun Raya Bogor genap berusia 200 tahun. Usia yang cukup panjang. Sepanjang berdirinya, Kebun Raya ini telah merasakan berbagai macam gejolak politik dan perjalanan panjang bangsa kita. Sejak Bogor masih benar-benar kota hujan hingga kini menjadi kota sejuta angkotpun, Kebun Raya Bogor tetap berdiri teguh. Kehijauannya di tengah kota yang kian sesak ini setidaknya menyisakan kenangan bahwa tanah berbukit di selatan Batavia ini masih dan tetap layak untuk kita kunjungi.
Datang di bulan Ramadhan dan tanggal merah, Kebun Raya Bogor tidak seriuh hari-hari libur lainnya. Tak ada antrian di gerbang masuknya, juga hanya sedikit pedagang yang menjajakan jualannya di pelataran loket. Sebenarnya, tujuan kami waktu itu adalah ingin bersepeda dan menghirup udara segar. Kebun ini amat luas, rasa-rasanya tidak mungkin bisa dijelajahi seluruhnya jika hanya dengan berjalan kaki. Tapi, sepertinya kami kurang beruntung karena seluruh sepeda ludes disewa. Kami harus menunggu selama setengah jam hingga sepeda lainnya kembali.
Sebagai sebuah oase keteduhan di tengah kota, Kebun Raya adalah tempat yang amat baik untuk melepas penat. Untuk pekerja kantoran sepertiku yang setiap harinya hanya menatap layar komputer, melihat tumbuhan hijau menghampar adalah sukacita tak terkatakan. Mataku yang jenuh seolah segar kembali. Aku bisa menatap jauh ke depan, menelisik tiap-tiap celah pohon, mengamati daun-daun berguguran, dan memejamkan mataku sejenak sambil merasakan tiupan angin sepoi-sepoi.
Tatkala kami menunggu, rupanya ada dua sepeda yang telah rampung disewa. Dengan segera, kami mengayuh sepeda itu dan menelusuri ruas-ruas jalanan kebun yang teduh. Kami melawan arah turis, mencari tempat-tempat yang sepi untuk bersepeda santai. Sepeda ini disewakan dengan harga Rp 15.000,- per jam. Berhubung waktu telah menunjukkan pukul 13:30, kami hanya diperbolehkan menyewa satu jam saja karena jam 14:30 loket persewaan akan tutup.
Satu jam mengayuh adalah tantangan iman buat kami. Awalnya, kami amat semangat menelusuri jalan-jalan di kebun, apalagi saat jalan tersebut menurun. Kami tak perlu mengayuh, dengan sendirinya sepeda akan melaju seturut kekuatan gravitasi. Tapi, kebahagiaan itu seketika sirna tatkala kami harus mengayuh kembali ke arah loket. Jalanan menanjak, dan di sinilah wujud asli kami keluar. Kami beriman untuk kuat mengayuh, tapi apa daya, di usia yang masih kepala dua, ternyata fisik kami sudah loyo. Nafas tersengal-sengal, keringat mengalir deras membasahi pakaian kami. Lama kelamaan kayuhan kami semakin melambat, hingga di titik nadir, kami memilih untuk menuntun saja sepeda sampai tiba di loket.

Duduk di kantor setiap hari memang bukan sesuatu yang baik bagi kesehatan, apalagi jika kita lalai berolahraga. Tatkala fisik tidak dilatih, lambat laun kekuatannya pun akan menurun. Kami bersyukur, walaupun harus bersusah payah untuk mengayuh sepeda, tetapi setidaknya hari itu kami melatih tubuh kami untuk berkeringat.
Salah satu bagian dari kebun raya yang kami sukai adalah kolam ikan yang menghadap ke istana. Di atas kolam berair coklat inilah kami mengagumi bunga-bunga teratai yang amat lebar. Saking lebarnya, seorang temanku malah menggagas untuk lompat dan duduk di atas teratai itu. Kolam ini juga dipercantik dengan kursi-kursi di tepiannya, juga area pedestrian yang amat nyaman untuk dilalui.
Langkah kaki kami terus terayun dan tibalah kami di sebuah makam Belanda. Sunyi, sepi, tak banyak orang yang niat berkunjung dan duduk berlama-lama di sini. Ingatanku segera terbang ke cerita-cerita magis yang pernah hinggap di Kebun Raya Bogor. Sewaktu majalah Misteri sedang laris-larisnya, salah satu edisinya membahas tentang penampakan sesosok perempuan gaib di kebun raya. Seorang turis yang katanya sedang sial tidak sengaja mengambil foto yang di dalamnya ‘terselip’ makhluk halus. Akibat insiden itu, turis itu jatuh sakit hingga kemudian meninggal. Entah itu benar atau tidak, tapi cerita itu cukup membuat bulu kudukku merinding. Tapi, aku tidak melangkahkan kakiku untuk segera beranjak dari kuburan ini.

Suara pohon bambu yang tertiup angin membuat suasana di kuburan semakin magis. Nisan-nisan besar berwarna putih disusun berjejer. Jauh sebelum kebun raya berdiri pada tahun 1817, makam-makan ini telah lebih dahulu hadir. Ada 42 makam secara keseluruhan, tapi hanya 38 di antaranya yang memiliki identitas. Ada nisan yang diberi nama, tapi, ada pula yang tidak. Orang-orang yang dimakamkan di sini kebanyakan adalah kerabat dekat dari gubernur Hindia Belanda kala itu, DJ. De Eerens yang menjabat pada kurun waktu 1836-1840.
Di salah satu makam, ada dua orang ahli burung yang meninggal muda pada tahun 1820-an, kemudian mereka dikuburkan dalam satu makam. Makam tertua di kompleks ini adalah makam seorang administrator toko obat berkebangsaan Belanda yang wafat pada 1784, sedangkan makam termuda adalah milik Prof. Dr. A.J .G.H, seorang ahli botani Belanda yang menjadi WNI dan wafat pada 1994.
Makam-makan ini tak mampu bicara. Tapi, nisan-nisan putih itu memberiku pesan tersirat. Di balik tulang belulang yang terbaring di bawahnya, sesungguhnya alam tengah berbicara bahwa manusia tidaklah abadi. Ketika tiba waktunya untuk kematian menyapa, tak ada satupun yang dapat mengelak. Segala nama besar, kehormatan, dan kenangan akan terangkum hanya dalam untaian kata di batu nisan, yang mungkin seiring berjalannya waktupun akan dilupakan.
Jika dicoba bandingkan, rata-rata usia manusia paling mencapai usia 80-an, walaupun ada pula yang sukses hingga mencapai angka di atas 100 tahun seperti seorang jemaat di gerejaku, tapi kebanyakan telah berpulang di usia sebelum 80-an. Jika dibandingkan dengan pohon-pohon yang berdiri kokoh di kebun raya, tentu kita bukanlah apa-apa. Tatkala kita menjadi renta dan siap mencium tanah, pohon-pohon itu tetap berdiri kokoh, menyajikan oksigen bagi anak cucu kita, juga menjadi rumah bagi aneka binatang yang bersemayam di tiap bagiannya.
Langit menjadi semakin pekat, pertanda kami harus segera beranjak dari makam itu. Langkah kaki kami mengalun cepat, berpacu dengan waktu, namun rupa-rupaya hujan turun lebih cepat dari perkiraan kami. Tak ada bangunan permanen untuk kami berteduh, namun, puji syukur karena sebelum menghujam bumi, tetesan-tetesan airnya jatuh di antara lebatnya dedaunan, memuaskan dahaga pohon-pohon yang haus dan kami tidak kebasahan.
Di usianya yang telah genap 200 tahun, kami mengucap syukur karena kehadiran kebun raya bukan hanya sebagai hiasan semata di tengah padatnya kota Bogor. Kebun raya telah memuaskan dahaga kami akan keteduhan, menepi sejenak dari hiruk-pikuk Jakarta yang melelahkan sekaligus mengingatkan kami bahwa di usia kepala dua ini kami harus terus berolahraga.
Selamat ulang tahun, Kebun Raya Bogor! Semoga, kelak anak cucu kami dapat terus bercengkrama denganmu.
